Teungku Bantaqiah dalam Kenangan yang Pahit

21 November 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Selasa, 21 November 2023

SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG  Banda Aceh, serta novelis, melaporkan dari Lut Tawar, Takengon, Aceh Tengah

Waktu berlalu begitu lambat pada tahun 1990-1998. Penetapan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh diam-diam menjadi penyumbang nyeri terbesar bagi masyarakat. Operasi yang juga disebut sebagai Operasi Jaring Merah itu menelan banyak korban jiwa. Bahkan banyak orang tak bersalah yang meregang nyawa karena salah tangkap. Eksekusi terjadi nyaris setiap hari. Jerit tangis wanita menyayat kalbu saat tentara menyambangi rumah mereka.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM)  paling parah terjadi di Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur. Namun, beberapa daerah lain turut menjadi sasaran. Salah satu daerah yang terkena imbas dari pemberlakuan DOM ialah pesisir barat Aceh. Khususnya di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya. Letaknya di sebuah lembah yang diapit oleh hutan perawan nan lebat. Mirisnya, surga tersembunyi tersebut pernah menjadi saksi dari pembantaian orang-orang tak bersalah. Mereka adalah santri Pesantren Babul Al-Nurillah yang dipimpin Teungku Bantaqiah.

Teungku Bantaqiah lahir di Desa Ulee Jalan, Keude Sumot, Kecamatan Beutong, Nagan Raya, pada 20 Agustus 1948. Ia mendirikan Dayah Babul Mukarramah pada tahun 1980, kemudian malang melintang menghadapi berbagai fitnah keji akibat sifat konsistennya dalam berdakwah. Akhirnya ia mendirikan Pesantren Babul Al-Nurillah di Desa Blang Meurandeh atas permintaan warga tahun 1999. Lalu, ulama itu diterpa fitnah baru.

Pesantren Babul Al-Nurillah dianggap memfasilitasi anggota gerakan separatis sebagai tempat menyembunyikan alat logistik GAM. Tudingan itu berasal dari informasi yang dibawa oleh bawahan Kolonel Syafnil Armen, Komandan Korem Lilawangsa. Konon ada ratusan pucuk senjata api milik GAM ditanam di sekitar tanah pesantren. Bahkan ulama itu dicurigai memiliki pasukan bersenjata sebanyak 300 personel. Maka terbitlah sebuah kesimpulan bahwa Teungku Bantaqiah bekerja sama dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tanpa menunggu lama, tanggal 15 Juli 1999 pesan dikirimkan melalui telegram kepada beberapa komandan batalion. Isinya berupa perintah untuk menangkap tokoh gerakan simpatisan beserta pengikutnya, hidup atau mati. Pasukan gabungan beranggotakan 215 personel di bawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono berangkat menuju Desa Beutong Ateuh. Hanya para komandan yang tahu akan terjadi tragedi mengerikan di desa itu, sementara pasukan lainnya dibiarkan tak tahu apa-apa.

Pasukan gabungan itu tiba di Beutong Ateuh pada 22 Juli 1999. Tenda-tenda didirikan. Persiapan penyergapan dirancang sedemikian rupa. Warga setempat mengamati kegiatan personel TNI. Mereka cemas bukan main, mengkhawatirkan akan ada korban berjatuhan seperti pengalaman yang sudah-sudah. Naluri yang sudah terasah mengaktifkan alarm bahaya.

Pada tanggal 23 Juli 1999, santri Pesantren Babul Al-Nurillah tengah mengerjakan aktivitas seperti biasa. Tiba-tiba pada pukul 11.00 WIB Letkol Inf Sudjono membawa sekitar lebih dari 215 personel TNI yang berada di Bawah Kendali Operasi (BKO) Korem 011/Liliwangsa memasuki kawasan pesantren. Mereka terdiri atas pasukan Yonif 131 dan 133, dibantu oleh satu peleton pasukan dari Batalion 328. Datang tak diundang, bertamu secara sembarangan, dan melemparkan tuduhan mengerikan.

Beberapa pasukan menyerang psikologis, yakni meneriakkan nama Teungku Bantaqiah dengan penuh kebencian. Hinaan dan cacian dilontarkan tanpa segan. Ratusan santri yang tengah mengaji merasa tegang. Mereka berkumpul di satu titik, menyaksikan para tentara yang beringas. Cacian itu dihentikan saat Teungku Bantaqiah datang bersama seorang murid. Ulama tersebut menyapa dengan ramah.

Letkol Sudjono menyampaikan tujuan anggotanya datang ke pesantren, lalu menghubungi atasannya.
Akibat tak kunjung mendapat jawaban, Sudjono memilih meninggalkan tempat tersebut. Sayangnya, pasukan yang ia bawa telah terpancing emosi. Satu per satu santri laki-laki diminta turun dari balai pengajian. Semuanya diminta berjongkok di halaman. Kartu identitas diperiksa, pakaian dilucuti, menyisakan celana dalam saja. Para santri malang itu mendapat penggeledahan paksa.

Tak lama, Sudjono kembali membawa kemarahan yang sempat padam. Sumber menyebutkan, Sudjono memaksa Teungku Bantaqiah menyerahkan semua pucuk senjata yang ia tanam di halaman pesantren. Dengan penuh wibawa, Teungku Bantaqiah membantah tuduhan. Tak ada senjata di pesantren. Namun, Sudjono bersikeras. Gerakan Aceh Merdeka membawa momok menakutkan terkait ancaman pemberontakan. Apa pun jawaban yang didengar, semuanya terdengar bagai tipuan.

Kesabaran pasukan Sudjono habis. Hal-hal sepele turut dicurigai. Bahkan antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dianggap membahayakan. Salah satu putra Teungku Bantaqiah, Usman, diminta untuk mencopotnya. Berhubung butuh alat agar proses pembongkaran lebih mudah dilakukan, Usman berniat pulang sebentar untuk mengambil perlengkapan. Baru beberapa langkah berjalan, seorang tentara melayangkan pukulan menggunakan senjata api.

Teungku Bantaqiah mendekat, coba memeluk putranya agar berhenti disakiti. Tepat saat itu, terdengar aba-aba untuk menembak. Ulama yang disegani itu pun tersungkur bersimbah darah diikuti suara tembakan membabi buta ke arah para santri. Selang beberapa detik saja, sebanyak 34 santri syahid menyusul gurunya. Santri yang masih hidup dibawa naik truk. Berdalih untuk diobati, rupanya 23 santri yang tersisa itu pun ikut syahid setelah ditembak dengan brutal di tepi jurang tepat di kilometer 7.

Kejadian itu adalah salah satu puncak dari pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Banyak lelaki ditangkap dan dibawa paksa tanpa sebab yang jelas. Penculikan pria dan wanita, penyiksaan keji, penghilangan orang secara paksa, pemerkosaan, dan pembakaran desa. Pelanggaran HAM terjadi secara besar-besaran. Miris sekali, pelakunya adalah serdadu republik. Mereka diturunkan dalam jumlah besar. Hal itu terjadi akibat adanya sekelompok orang yang tergabung ke dalam GAM  menyuarakan keinginan merdeka.

Meskipun pembantaian tersebut telah diproses melalui pengadilan pada tahun 2000, tetap saja keinginan masyarakat Aceh belum terpenuhi. Mereka menginginkan keadilan, bukan hanya pengadilan semata. Diketahui santri Tgk Bantaqiah dimakamkan secara massal di depan Kantor Keuchik Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh, Nagan Raya. Amat disayangkan karena makam tersebut tidak terurus. Berdampingan dengan makam massal para santri yang syahid akibat kebrutalan pasukan tentara, ada Teungku Burhanuddin, sosok yang turut meregang nyawa di hari yang sama.

Peristiwa itu terjadi 23 tahun  lalu, tetapi lukanya masih terasa nyeri hingga kini. Kita rekam di ingatan dalam kenangan yang pahit. Pesantren yang seharusnya menjadi ladang ilmu agama malah menjadi tempat eksekusi. Pemerintah Aceh diharapkan dapat menjaga kebersihan serta kerapian makam massal santri Teungku Bantaqiah sebagai bentuk tanggung jawab penghormatan kepada para syuhada.

Selain itu, keaslian pesantren yang masih dapat dilihat hingga saat ini patut dijaga. Dengan begitu, setiap peziarah dapat melihat sendiri bagaimana rupa tempat yang pernah menjadi saksi bisu pertumpahan darah orang-orang yang tak pernah terbukti bersalah tersebut.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Teungku Bantaqiah dalam Kenangan yang Pahit”, https://aceh.tribunnews.com/2023/11/21/teungku-bantaqiah-dalam-kenangan-yang-pahit.

Bagikan
Skip to content