Menyaksikan Pameran Aksara Kuno di Museum Aceh

24 Januari 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Rabu, 24 Januari 2024

SYIFA HAMIDAH, Mahasiswi Universitas Djuanda Bogor,  anggota Kelompok Rencong Pertukaran Mahasiswa Merdeka Batch 3 Inbound Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG), melaporkan dari Banda Aceh

Aceh, sebuah provinsi di ujung paling barat Indonesia yang tidak ada habisnya menyuguhkan keindahan alam yang sangat memanjakan mata. Berbeda dengan tempat tinggal saya di Bogor, Jawa Barat, Banda Aceh ini sangat dekat dengan pantai-pantai yang indah. Sangat tepat bahwa saya memilih Tanah Rencong ini sebagai rumah kedua saya.

Sejarah, budaya, tradisi dan syariat agama Islamnya yang kental membuat saya tertarik ikut pertukaran mahasiswa di Serambi Makkah ini. Dan, Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) adalah wadah bagi saya untuk mengeksplor Aceh dengan berbagai keindahannya.

Tak hanya mengikuti perkuliahan selama empat bulan di UBBG, program ini pun memiliki kegiatan Modul Nusantara. Kegiatan ini diikuti oleh peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) untuk menciptakan pemahaman komprehensif yang didesain melalui pembimbingan secara berurutan dan berulang. Tujuannya, untuk memperdalam makna toleransi serta memperkenalkan kekayaan budaya Nusantara yang bersumber dari berbagai perbedaan golongan, suku, ras maupun kepercayaan.

Mengunjungi Museum Aceh adalah salah satu kegiatan Modul Nusantara oleh Kelompok Rencong, tempat saya bergabung selama ikut program PMM di UBBG. Kami berkunjung ke Museum Aceh pada minggu ketiga selama empat bulan di Aceh ini, tepatnya pada 20 September 2023. Kunjung kami ditemani mentor dan dosen Modul Nusantara kami.

Hal pertama yang paling mencuri pandangan saya saat pertama kali memasuki Kompleks Museum Aceh adalah ‘rumoh’ (rumah) Aceh. Letaknya tepat di depan pintu masuk kompleks museum. Bangunannya masih tradisional dan terbuat dari kayu. Terdapat tiang-tiang penyangga yang membuat rumoh Aceh lebih tinggi dan memiliki ‘space’ atau kolong  di bagian bawahnya.

Sebagai generasi Z yang sering dikaitkan dengan ketergantungan terhadap teknologi digital, ternyata besar ketertarikan saya terhadap warisan masa lalu.

Di saat informasi sudah bisa diakses melalui internet, apalagi sudah ada ‘virtual reality’ yang bisa mengantarkan kita ke tempat yang diinginkan dengan hanya bermodalkan alat saja tanpa harus berlelah-lelah datang ke tempat tersebut. Nyatanya saya dan teman-teman berani memilih sekaligus berkesempatan untuk datang langsung, melihat dan  merasakan aroma-aroma masa lalu yang membuat kita semakin bangga terhadap keberagaman Nusantara.

Gedung yang paling pertama saya masuki di kompleks ini adalah gedung pameran temporer regional yang di dalamnya terdapat 75 koleksi filologika milik 17 museum se-Sumatera yang dipamerkan. Museum-museum tersebut di antaranya adalah Museum Aceh, Museum Tsunami Aceh, Museum Pidie Jaya, Museum Bireuen, Museum Kota Langsa, Museum UIN Ar-Raniry, Museum Ali Hasimy, Museum Kota Lhokseumawe, Museum Samudera Pasai Aceh Utara, Museum Sumatera Utara, Museum Sang Nila Utama Riau, Museum Siginjei Jambi, Museum Adityawarman Sumatera Barat, Museum Balaputra Dewa Sumatera Selatan, Museum Sriwijaya, Museum Ruwa Jurai Lampung, Museum Bengkulu.

Letak gedungnya di belakang bangunan rumoh Aceh dan berwarna putih. Museum ini bertemakan rahasia peradaban dalam aksara di mana kita bisa melihat dan mengetahui berbagai berbedaan aksara-aksara unik dari waktu ke waktu di seluruh Sumatera hanya di satu tempat ini.

Aksara yang tertulis tidak hanya terukir di atas kertas modern, tetapi kebanyakan aksara kuno ini justru terukir di kayu yang dibukukan. Ada juga yang terukir di kayu berbentuk tabung dan di kulit kayu alim. Koleksi-koleksi tersebut disimpan rapi di dalam kaca dan terdapat penjelasan di atasnya tentang aksara tersebut.

Semua aksaranya unik dan tidak bisa saya baca sampai saya menemukan koleksi di bagian kiri ruangan gedung ini, yaitu aksara Arab yang sedikitnya bisa saya baca. Terletak di bagian koleksi milik Museum Islam Samudera Pasai; aksara Al-Qur’an.

Bahannya terbuat dari kertas Eropa dan berukuran 31,5 x 21 cm. Mushaf ini mempunyai tiga iluminasi. Sama seperti mushaf pada umumnya yang sering kita baca, di bagian awal iluminasi Surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah, iluminasi pada bagian tengah yaitu Surah Al-Kahfi dan bagian akhir yaitu Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas.

Masih di bagian koleksi milik Museum Islam Samudera Pasai, mata saya tertuju pada koleksi yang bentuknya terlihat lebih modern dibandingkan dengan yang lainnya, yakni  Kamus Aceh-Belanda jilid 1 dari abjad A sampai L yang diterbitkan di Batavia. Bahannya terbuat dari kertas modern berukuran 27,5 x 17,6 cm menggunakan bahasa Aceh dan Belanda yang dikarang oleh R.A. Dr. Hoesein Djajadiningrat.

Selanjutnya, saya berkeliling gedung melihat-lihat koleksi aksara lainnya. Ada Pustaha Laklak yang merupakan koleksi  naskah milik Museum Sumatera Utara yang letaknya di bagian tengah ruang gedung ini. Naskah tersebut ditulis menggunakan  aksara Batak berbahan kulit kayu alim dengan ukuran panjang 11 cm dan lebar 9 cm, serta tinggi 6 cm.

Di bagian koleksi milik Museum UIN  Ar-Raniry saya dapat melihat Shirat Al-Mustaqim yang dikarang oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniry pada abad 17 M. Isinya merupakan fikih mazhab Imam Syafi’i yang terdiri atas 7 bab utama, 21 subbab, dan 90 pasal. Ditulis menggunakan aksara Melayu/Jawi dan pembahasannya adalah mulai dari bab thaharah, bab shalat hingga bab perburuan dan penyembelihan. Bahannya terbuat dari kertas Eropa berukuran 23 x 7 cm.

Selanjutnya ada Gayah Al-Taqrib yang dikarang oleh Al-Qadi Abu Syuja, menjelaskan fikih ibadah menurut Imam Syafi’i. Bahannya terbuat dari kertas Eropa dengan ukuran 17,5 x 23,5 cm. Ditulis  menggunakan aksara Arab dan Melayu. Koleksi ini milik Museum Ali Hasjmy.

Di bagian tengah ruangan ini terdapat lembaran-lembaran kertas yang dipamerkan dalam satu kaca besar. Terlihat beberapa kertas yang sobek dan kumuh menandakan bahwa koleksi ini merupakan barang kuno yang patut dijaga keberadaannya agar manusia di masa depan tetap bisa melihat, merasakan, dan ikut dibawa ke dalam lembaran sejarah tersebut.

Demikian, penjelasan beberapa koleksi aksara kuno milik beberapa museum yang berbeda di gedung pameran temporer regional ini. Senang rasanya bisa berbagi pengalaman dan informasi kepada teman-teman pembaca.

Besar harapan saya terhadap generasi muda untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai sejarah dan nasionalisme.

Kegiatan Modul Nusantara ini bukan hanya sekadar memperdalam makna toleransi, lebih  jauh dari itu. Makna persudaraan, kekeluargaan, persabatan, dan kebersamaan yang saya dapat selama ini tidak akan luput dari ingatan.

Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini adalah salah satu wadah bagi saya untuk menjadi pribadi yang bisa saling memahami satu sama lain  dan menganggap perbedaan adalah sesuatu yang berharga untuk menjunjung tinggi nilai moral sebagai manusia.

Tidak lama lagi saya akan meninggalkan tanah ini. Tanah yang saya injak selama empat bulan, yang memberikan saya perasaan suka, duka, canda, dan tawa. Terima kasih PMM 3 UBBG telah memberikan saya pengalaman indah ini. Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke Tanah Rencong ini dengan segala keunikan barunya di masa yang akan datang.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Menyaksikan Pameran Aksara Kuno di Museum Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2024/01/24/menyaksikan-pameran-aksara-kuno-di-museum-aceh?page=all.

Bagikan
Skip to content