Mengenal Tradisi ‘Tamuntuak’ di Labuhanhaji

9 Mei 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Selasa, 9 Mei 2023

NURUL HUSNA, Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Desa Hulu Pisang, Labuhanhaji, Aceh Selatan

DI Aceh Selatan, Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1444 Hijriah yang lalu tidak dirayakan serentak pada hari Jumat, 21 April 2023. Ada juga yang merayakannya pada hari Sabtu, 22 April 2023. Walau perbedaan ini nyata terjadi, tetapi tidak menghilangkan rasa toleransi antarwarga yang sudah lama lahir dan menetap di kabupaten yang terkenal dengan banyak legenda ini.

Daerah ini juga mengandung banyak tradisi yang membuatnya semakin unik. Antara satu kecamatan dengan kecamatan yang lain ada yang sama, ada pula yang berbeda tradisinya. Saya tinggal di Desa Hulu Pisang, Kecamatan Labuhanhaji yang bersebelahan dengan Desa Pisang, Kabupaten Aceh Selatan. Di kedua desa ini perayaan 1 Syawal 1444 Hijriahnya sama, yaitu pada hari Jumat 21 April 2023. Momen ini sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang yang sudah melaksanakan puasa Ramadhan selama sebulan penuh.

Tradisi keacehan yang masih dilakoni oleh masyarakat di kedua desa ini banyak. Namun, pada kesempatan ini saya fokus membahas satu tradisi saja yang dalam bahasa Aneuk Jamee disebut “tamuntuak”.

Tamuntuak adalah tradisi bersalaman saat Lebaran dengan memberi hadiah berupa uang kepada menantu baru, baik itu oleh pihak keluarga inti dan lingkungan masyarakat tempat sang istri tinggal, maupun di daerah asal suami.

Tradisi ini berlaku bagi semua pasangan yang baru menikah dan masih bisa dijangkau atau daerah asal istri atau sang suami yang letaknya tidak jauh.

Seorang perempuan yang baru menikah biasanya datang bersalaman ke rumah mertuanya. Lalu, mertua dan para saudara perempuan dari suami yang sudah menikah itu akan memberi hadiah berupa uang saat berjabat tangan untuk pertama kalinya pada hari Lebaran.

Saat pergi ke rumah sanak famili suami ketika hendak pamit ingin pulang barulah sang istri disalami. Kepadanya diberi uang oleh para perempuan di rumah itu yang sudah menikah. Uang tersebut diserahkan saat berjabat tangan.

Tradisi ini juga berlaku saat seorang laki-laki yang menjadi menantu di daerah asal istrinya akan diberi hadiah uang oleh keluarga inti sang istri, seperti ibu dari istri, kakak atau adik kandung perempuan dari istri yang sudah menikah saat pertama berjabat tangan pada hari Lebaran.

Saudara perempuan dan kerabat istri satu kampung atau berbeda kampung dengan sang istri, maupun para wanita yang sudah menikah akan bersalaman dengan laki-laki tersebut setelah pasangan baru pamitan untuk pulang. Kepada pengantin pria tersebut akan diberikan uang langsung di genggaman tangannya.

Uang yang diberikan tidak dipatok jumlahnya, melainkan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan finansial dari setiap rumah yang pasangan pengantin baru tersebut datangi.

Momen tamuntuak ini dilakukan sekali saja, yakni setelah menikah untuk yang pertama kalinya dan biasanya dilaksanakan pada tahun pertama pernikahan. Waktunya dimulai dari hari pertama Lebaran, sedangkan lamanya tergantung dari berapa banyak jumlah rumah yang harus didatangi, bisa 1, 2, bahkan 3 hari. Waktu berkunjung relatif bebas, boleh malam dan siang, tapi tidak boleh persis pada waktu shalat, makan, dan tidur. Kunjungan ini pun hanya sebentar saja.

Tamuntuak ini merupakan tradisi yang dijalani oleh semua pasangan pengantin baru di setiap Lebaran Idulfitri dan Iduladha di Labuhanhaji. Tradisi ini terus bergulir hingga kini.

Jadi, semua perempuan dan laki-laki, yang sudah menikah di desa saya, desa tetangga, bahkan kecamatan hingga kabupaten yang punya tradisi tamuntuak ini di Aceh, dan masih mempraktikkannya, tentu pernah merasakannya meskipun dengan sebutan yang berbeda.

Perempuan dan laki-laki yang sudah lama menikah lalu bersilaturahmi dengan keluarga sendiri dan mertua secara berombongan dengan pasangan dan anak-anak hanya untuk bersalaman dan saling memaafkan saja, yang mendapat hadiah uang ini. Bagi yang sudah lama menikah haknya untuk mendapatkan salam tempel saat tamantuak beralih ke anak-anaknya pada setiap hari Lebaran tiba.

Beberapa tahun lalu, saya mengundang sahabat-sahabat saya yang baru menikah, untuk berkunjung dan bersilaturahmi pada hari Lebaran dengan membawa pasangannya ke rumah saya. Saya hanya bersalaman saat sahabat dan suaminya tiba di depan pintu rumah, lalu menyuruh mereka masuk. Pasangan itu juga bersalaman dengan ibu saya.

Kemudian, saya menghindangkan minuman dan mempersilakaan agar kue yang sudah terhidang di atas meja supaya dicicipi.

Setelah pasangan tersebut minum mereka pun pamit kepada saya untuk pulang, lalu saya meminta tolong kepada ibu saya agar beliau saja yang bersalaman pada suami sahabat saya sekalian mewakili saya dengan memberi hadiah berupa uang.

Ada juga sahabat yang menikah beda kampung dan sama-sama saudara dengan keluarga saya, lalu ibu saya memilih bersalaman untuk memberikan uang hadiah tersebut kepada yang hubungan tali persaudaraannya lebih jauh.

Fungsi dari tamuntuak ini adalah untuk menjaga silaturahmi agar tidak putus, saling kenal dengan anggota baru di keluarga saudara masing-masing, saling berbagi di saat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha dengan hati yang bersih dan ikhlas sesuai dengan kesanggupan dari pemilik setiap rumah yang dikunjungi.

Tradisi ini sudah lama ada dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dijalankan oleh generasi terdahulu hingga sekarang. Sehingga, di setiap momen Lebaran Idulfitri dan Iduladha ada saja saudara yang baru menikah datang ke rumah dengan membawa istri atau suaminya. Kebanyakan ibu-ibu bahagia bila datang bertamuntuak ke rumahnya serta  merasa kecewa jika pengantin baru tidak datang.

Di zaman dahulu semua pengantin yang baru menikah datang ke rumah saudaranya, baik itu jauh, maupun dekat, mampu ataupun tidak, tidak perlu disuruh datang, melainkan datang sendiri karena mereka paham jika tradisi ini harus dilakoni dan semua saudaranya menunggu kehadiran mereka.

Jadi, berkunjungnya bukan karena niat untuk mendapat ‘salam tempel’, melainkan semata-mata untuk menjaga silaturahmi sehingga tidak ada saudara atau kerabat yang kecewa.

Berbeda dengan zaman sekarang, ada sebagian pasangan pengantin baru tidak banyak kenal dengan saudara yang masih tergolong dekat, apalagi yang jauh, maka orang tua harus memberi tahu rumah-rumah yang harus didatangi. Bahkan, ada juga yang harus diundang terlebih dahulu melalui orang tua pengantin baru tersebut agar anaknya berkunjung ke rumahnya. Jika tidak diundang, mereka tidak akan pergi bertamuntuak.

Di tanah kelahiran saya, sebutan untuk menantu ada dua. Pertama menantu, kedua urang sumando (orang semenda) baik itu laki-laki maupun perempuan. Tradisi tamuntuak ini biasanya sekali seumur hidup dirasakan oleh semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jadi, alangkah baiknya momen ini dinikmati serta dijalani saja prosesnya semampu dan sesanggupnya bagi para perempuan yang sedang hamil saat tamuntuak dilakukan. Semoga tradisi ini tetap eksis dan terjaga walau zaman dan tantangannya tak lagi sama.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mengenal Tradisi ‘Tamuntuak’ di Labuhanhaji”, https://aceh.tribunnews.com/2023/05/09/mengenal-tradisi-tamuntuak-di-labuhanhaji?page=all.

Bagikan
Skip to content