Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Jumat, 12 Mei 2023
NURUL HUSNA, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
HAMPIR semua orang mengenal atau minimal mengetahui Museum Tsunami Aceh yang berada di Kota Banda Aceh, tepatnya di Jalan Sultan Iskandar Muda Nomor 3, Sukaramai (Blower), Kecamatan Baiturrahman.
Lokasinya strategis dan bangunannya yang megah selalu memanjakan mata orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Dari dahulu hingga sekarang bangunan ini tetap indah dan mentereng walau sudah lama dibangun. Ini karena, bangunan tersebut memang kokoh dan dirawat dengan baik oleh orang-orang yang bekerja di museum satu-satunya di Indonesia itu.
Museum ini sengaja dibangun bukan hanya untuk melestarikan benda-benda yang menjadi saksi bisu saat terjadi peristiwa mahadahsyat, gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, melainkan juga menjadi objek wisata yang dapat dikunjungi pada setiap jam kerja.
Jika sedang musim liburan, museum ini ramai dikunjungi orang secara berombongan. Ada yang datang bersama keluarga, saudara, bahkan teman-teman dari dalam ataupun luar kota.
Jika sekadar ingin berkeliling di sekitar dan di luar museum atau hanya ingin berfoto di papan nama Museum Tsunami Aceh, pengunjung tidak harus membeli tiket.
Tapi, jika ingin masuk ke dalamnya barulah pengunjung wajib membeli tiket. Untuk membeli tiket ini pengunjung harus sabar antrean. Siapa cepat, dialah yang duluan dapat.
Harga satu tiket saat saya berkunjung dengan teman pada hari Sabtu (22/10/2022) lalu hanya Rp5.000 per orang.
Setelah buka pada pai hari, museum ini tutup pada jam istirahat (pukul 12.00 WIB) bagi. Buka kembali siang pukul 14.00 WIB.
Pengunjung saya sarankan jangan terbuai dengan keindahan yang disuguhkan dari luar saja karena keindahan museum ini berada di dalamnya. Sangat indah dan memukau.
Saya dan teman saya adalah orang yang terakhir masuk menjelang jam istirahat pada hari itu. Kami mengunjungi museum ini karena ada tugas kelompok mata kuliah Literasi Budaya dari dosen kami.
Saya memfoto gambar yang ada di dekat pintu masuk ke museum. Sebelum pintu ini kami harus melewati pintu pertama yang dijaga oleh satpam. Pintu masuknya terbuka lebar, kami buru-buru masuk karena tidak lama lagi museum tutup.
Setelah melewati pintu tersebut tampak suasana tidak gelap, tapi agak remang-remang, karena cahaya lampu berasal dari bawah.
Setelah melewati jalan berair terdapat sebuah ruangan yang gelap, tidak berlampu. Kata teman saya, dulu di sini terang. Saat beberapa tahun lalu ia berkunjung, di sini ada lampunya. Kemudian, kami masuk ke ruang Sumur Doa. Beberapa orang tampak mengabadikan suasana khas Sumur Do aitu dengan kamera hanphone.
Teman saya bahkan memvideokan ruangan ini. Saya mengambil foto ruangan yang ada banyak tulisan di dindingnya. Tulisan-tulisan itu berisi nama-nama orang yang meninggal saat tsunami.
Ruangan ini berbentuk sumur, klop dengan namanya Sumur Doa. Ruang ini dulunya agak terang dibandingkan pada hari kami berkunjung.
Pada hari itu ada beberapa lampu menempel di dinding, tetapi suasananya remang-remang.
Kemudian, dari Sumur Doa kami menuju ramp cerobong. Jalannya pertama gelap, kemudian terang, lalu bertemu dengan jembatan yang di bawahnya ada kolam ikan yang sangat indah. Di sekelilingnya terdapat banyak ruangan. Jembatan ini pengganti tangga menuju ke lantai dua. Jembatan ini dinamakan Jembatan Perdamaian, simbolisasi dari tercapainya perdamaian Aceh pascakonflik setelah terjadi tsunami.
Di sini suasananya bagus. Saat itu rata-rata orang berfoto di jembatan ini, termasuk kami. Di ujung jembatan ada ruangan terbuka. Di situ terdapat banyak foto dan satu buah benda seperti monitor. Di bagian tengahnya kami melihat desain rancangan kapal laut lengkap dengan pekarangannya di dalam kaca.
Ada juga beberapa foto yang di sampingnya terdapat ruang kecil tempat berjualan kue kering, minuman, baju koko, beberapa suvenir Aceh, dan lain-lain.
Di sebelahnya tampak dipajang lukisan seperti kain yang bermotif di bagian tengahnya, di situ terdapat gambar bendera dari banyak negara.
Selanjutnya, kami masuk ke ruang Pamer Temporer. Di dalam ruangan ini ada lukisan tentang rumah dan lingkungan yang masih asri, satu lagi lukisan harimau yang sedang berada di dalam hutan.
Ruang ini disulap menjadi seolah-olah hutan, lalu kami bergegas menuju ruang untuk menonton video. Ruangan ini dibuat seperti bioskop mini dengan sofa panjang berwarna hitam yang bisa diduduki oleh banyak orang. Layar monitornya sangat besar. Saat ada tontonan lampu dimatikan.
Video yang diputar bukanlah peristiwa tsunami lagi, tapi lebih kepada mengenang peristiwa mahadahsyat tersebut. Video yang diputar bercerita tentang sejarah tsunami dan proses bangkitnya Aceh setelah tsunami.
Video ini hanya ada di museum saja, tidak disebarluaskan di aplikasi mana pun, sebab di ruangan ini tidak boleh mengambil gambar atau video.
Sesudah puas menonton, kami semua disuruh ke luar, Kunjungan kami pun berakhir sampai di sini karena sudah jam istirahat.
Museum Tsunami Aceh tutup menjelang azan zuhur sekitar pukul 12.00 WIB dan semua pengunjung harus ke luar dari museum tersebut, sehingga ada beberapa ruang yang tidak dapat kami masuki.
Saya dan teman serta rombongan orang lain diarahkan ke pintu ke luar berjalan menuruni anak tangga hingga mencapai pintu keluar. Pintu keluar ini tembus ke kolam air. Di sekitar kolam lokasinya bagus dan sangat cocok untuk berselfie ria.
Banyak orang berfoto di sekitar kola mini. Ada yang berkeliling untuk melihat benda-benda bersejarah dengan keluarganya. Kami juga berkeliling dan menjepret untuk dokumentasi, lalu ikutan selfie di dekat kolam.
Kami hanya berdua. Karena semua orang sibuk berfoto, jadi kami pun berfoto bergiliran. Saya dan teman foto selfie di teras museum walau cuaca panas matahari menembus kulit tidak ada yang peduli saat mengabadikan momen penting hari itu.
Kata teman saya, berfoto di tempat yang ada tulisan Museum Tsunami Aceh itu penting sebagai bukti bahwa kita sudah benar-benar masuk ke museum.
Akhirnya, saya minta tolong pada ibu-ibu yang berasal dari Langsa untuk memfoto kami berdua. Hal itu terjadi setelah beliau mengabadikan momen bersama keluarganya saat hendak menuju loket untuk memesan tiket masuk.
Sebagai informasi tambahan, museum tsunami ini didesain oleh Bapak Ridwan Kamil, saat ini Gubernur Jawa Barat. Museun Tsunami Aceh dibangun dengan niat yang baik dan mulia, serta mengandung nilai positif berupa hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam. Pesan ini tergambar sangat kuat dari beberapa ruang yang ada di Museum Tsunami Aceh.
Tujuan dibangunnya museum ini adalah untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang menyebabkan ratusan ribu orang syahid dan membuat Aceh terjerembab ke titik nadir peradaban. Namun, Aceh segera bangkit kembali bersama empati dan donasi dunia.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mengenal Lebih Dekat Museum Tsunami Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2023/05/12/mengenal-lebih-dekat-museum-tsunami-aceh.