Maulid Nabi dan Adat ‘Peumulia Jamee’ di Aceh

22 Januari 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Senin, 22 Januari 2024

AFIQA, Mahasiswi Prodi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya dan peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Angkatan 3 Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Aceh merupakan provinsi paling barat Indonesia yang memiliki banyak kekayaan alam dengan aneka ragam budaya di dalamnya.

Pada 15 September 2023, saya diberikan kesempatan mengunjungi Aceh karena lolos sebagai salah satu peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang merupakan salah satu program yang ditawarkan oleh Kemdikbudristek kepada seluruh mahasiswa Indonesia untuk bisa saling berinteraksi serta menambah relasi.

Sebagai salah satu peserta PMM di sebuah universitas di Banda Aceh, yakni Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG), saya diberikan kesempatan untuk mengeksplor ragam kebudayaan di Aceh melalui kelas Modul Nusantara.

Pada program PMM Angkatan 3 di UBBG terdapat 43 mahasiswa yang dibagi ke dalam dua kelompok Modul Nusantara, yaitu kelompok Saman dan kelompok Rencong.

Dalam salah satu kegiatan Modul Nusantara kelas Saman, kami diberi kesempatan mengeksplor sebuah desa di Aceh Besar, yaitu Desa Blang Krueng, Kecamatan Baitussalam. Pada  28 September 2023 saya dan teman-teman dari kelas Saman mengunjungi Blang Krueng yang sedang memperingati maulid Nabi Muhammad saw.

Aceh dijuluki Serambi Makkah, bukan tanpa alasan, terutama karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Dulu pun, sebelum ada pesawat terbang, orang Nusantara naik haji pakai kapal, mampir dulu di Sabang. Baik untuk manasik haji, maupun untuk mengambil persediaan air di perjalanan menuju Jeddah.

Di provinsi sereligius ini tidak heran jika peringatan maulid Nabi Muhammad saw diperingati secara meriah dan penuh khidmat oleh masyarakatnya.

Selain itu, Aceh juga memiliki tradisi ‘peumulia jamee’ (memuliakan tamu) yang sudah menjadi adat. Penduduknya akan menyambut tamu mereka dengan perlakuan dan etika yang dianjurkan Islam.

Untuk pertama kalinya saya dibuat takjub oleh masyarakat Aceh saat kami ikut memperingati maulid nabi. Sekitar pukul 09.00 WIB saya dan teman-teman kelas Saman berangkat dari asrama menggunakan kendaraan umum khas Aceh yang disebut labi-labi (angkot). Kami naik labi-labi menuju Blang Krueng untuk melihat langsung kegiatan potong kambing dan cara membuat kuah beulangong (gulai kari) dalam acara maulid.

Sekitar pukul 10.00 WIB kami tiba di Blang Krueng. Kami langsung diantarkan menuju balai desa, tempat  acara maulid nabi dirayakan.

Sesampai di balai desa kami melihat warga desa sedang mempersiapkan kegiatan maulid nabi.  Banyak warga desa dengan ragam kegiatan yang berbeda. Ada yang menyembelih dan menguliti kambing, menyiapkan bara api, membersihkan masjid, menata kursi, menghias panggung, ada pula yang menyiapkan bumbu, dan sebagainya.

Karena kami datang pagi, para mahasiswa kelas Saman membantu warga memotong kambing. Selama di Aceh saya temukan banyak hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Salah satunya adalah masyarakat Aceh sangat memuliakan perempuan.

Saat kami tiba, warga sekitar sangat ramah menyambut kedatangan kami. Namun, ada perbedaan sikap antara perlakuan terhadap kami sebagai perempuan dan laki-laki. Setelah mengobrol dengan Pak Keuchik, para mahasiswa dari kelas Saman langsung dituntun ke halaman masjid untuk membantu memotong kambing. Sedangkan kami, para mahasiswi, disuruh berdiam diri dan istirahat di musala.

Jika diperhatikan memang hampir semua warga yang terlibat dalam persiapan acara maulid nabi di Desa Blang Krueng adalah lelaki. Demikian pula di seluruh Aceh.

Setelah menyimpan barang di musala, kami para mahasiswi ngobrol dengan warga sekitar, sedangkan para mahasiswa bantu menguliti dan memotong-motong daging kambing.

Setelah selesai, kami semua diajak melihat proses pembuatan kuah beulangong. Kuah beulangong merupakan makanan berkuah khas Aceh sejenis gulai kambing dicampur nangka muda.

Proses pembuatan kuah beulangong juga terbilang unik karena dimasak menggunakan kuali besar dan diaduk pakai bambu panjang di atas bara api yang harumnya membuat perut kami lebih cepat keroncongan.

Melihat kami, Pak Keuchik mengajak keliling desa. Kemudian salah satu warga desa menjelaskan bahwa saat memperingati maulid nabi di Aceh, semua warga akan memasak makanan lezat di rumah dan berbagi.

Setelah berjalan tak jauh dari balai desa, kami masuk ke salah satu rumah warga. Dan benar, tradisi maulid nabi di Aceh dilaksanakan dengan unik sehingga acara ini merupakan acara yang paling meninggalkan kesan kagum tersendiri bagi saya dalam mengenal budaya dan masyarakat Aceh. Pasalnya kami tidak saling mengenal satu sama lain, tetapi mereka menyambut kami dengan penuh kehangatan. Seperti menyambut kepulangan anak sendiri.

Tak hanya sampai di situ, untuk pulang menuju balai desa kami ditawarkan naik kendaraan unik yang saya jumpai pertama kalinya di Aceh. Kendaraan yang ditenagai oleh motor ini memiliki tambahan di sampingnya seperti gerobak. Dalam satu kali jalan, kendaraan tersebut dapat menampung enam orang. Kami sangat senang di sepanjang perjalanan karena ini merupakan pengalaman pertama kami naik becak khas Aceh.

Sesampai di balai desa, kami bergerak ke masjid untuk menunaikan shalat Zuhur berjamaah. Kemudian, para mahasiswa melanjutkan kegiatan memasak dan para mahasiswi membersihkan masjid sambil menunggu. Kami membantu menghias panggung tempat diselenggarakannya peringatan maulid nabi. Kami juga membantu menggelar tikar panjang di sepanjang halaman balai desa.

Makanan pun siap. Kami dibuat terkejut dan takjub untuk kesekian kalinya. Makanan yang akan disantap pada hari itu bukan hanya kuah beulangong. Para warga ternyata berdatangan membawa satu nampan membentuk gunungan tinggi dinamakan ‘dalong’ (dulang) yang dibungkus kain berwarna kuning berisi makanan. Makanan yang dibawa pun berbeda di setiap sajiannya.

Umumnya ‘dalong’ itu berisi anekda macam lauk serta nasi yang dibungkus daun pisang. Kemudian masing-masing dari kami akan mendapatkan piring yang akan diisi kuah beulangong. Kami semua makan dengan dihiasi ragam candaan warga desa, seketika membuat saya lupa bahwa saya sedang berada di perantauan.

Setelah selesai makan, warga desa membungkuskan kami makanan dan tidak membiarkan kami membereskan bekas makanan kami. Saya merasa sangat beruntung diberikan kesempatan oleh Kemdikbudristek untuk mengeksplor Aceh secara langsung.

Hal lain yang membuat saya terkejut adalah adanya pernyataan warga. Bahwa acara Maulid Nabi Muhammad tidak hanya dilaksanakan dalam satu hari, tetapi dalam jangka waktu 100 hari warga Aceh akan tetap memasak seperti itu.

Dalam jangka waktu 100 hari tersebut, tidak semua desa memperingati maulid secara serentak, tetapi bergiliran. Setiap minggunya akan ada saja desa yang melaksanakan peringatan maulid Nabi Muhammad dalam 100 hari ke depannya.

Bagi saya, maulid nabi di Aceh menjadi salah satu bukti nyata bahwa adat ‘peumulia jamee’ masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Saya berharap semoga semua masyarakat Indonesia dapat ikut menerapkan adat ‘peumulia jamee’ ini.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Maulid Nabi dan Adat ‘Peumulia Jamee’ di Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2024/01/22/maulid-nabi-dan-adat-peumulia-jamee-di-aceh?page=all.

Bagikan
Skip to content