Kisah Bir Pletok dan Roti Buaya, Ikon Budaya Betawi

25 Februari 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Sabtu, 25 Februari 2023

Melinda Rahmawati, Mantan peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Kampus UBBG Banda Aeh dan Anggota Nasyiatul Aisyiyah DKI Jakarta, melaporkan dari Jakarta

SUDAH setahun lalu saya datang dari Jakarta sebagai mahasiswa pertukaran di Aceh. Hampir empat bulan pula sejak lawatan kedua saya pada awal Agustus 2022 ke Aceh melalui Lhokseumawe dan kembali berakhir di Kota Banda Aceh (Kutaraja).

Gemerlap lampu pelbagai gedung pencakar langit di kota metropolitan ini mengusik perasaan dan kembali menerbangkan angan saya ke ujung Pulau Sumatra itu.

Setiap kali saya menatap senja di taman ‘outdoor’ lantai 3 gedung Sarinah Department Store, saya selalu teringat dengan alam Aceh yang permai dan kuliner khasnya yang tidak terlupakan.

Membicarakan mengenai kuliner, Betawi juga punya banyak kuliner khas. Khususnya yang dapat menghangatkan tubuh. Ternyata, minuman tersebut masih bersinggungan dengan sejarah rempah Nusantara. Minuman dimaksud adalah bir pletok.

Hal umum yang terlintas dalam pikiran kita adalah minuman ini pastilah mengandung alkohol layaknya wine dari Eropa. Sebenarnya tidak demikan, justru bir pletok hanyalah sebuah nama minuman tradisional yang menyimpan sejarah Kota Batavia sebagai salah satu bandar rempah Kepulauan Nusantara. Ya, mungkin seperti nama bir pala di Aceh Selatan. Pakai nama bir, tapi ternyata bukan bir seperti lazimnya yang dipahami bangsa Barat.

Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.com, bir pletok dikenal sebagai minuman khas Betawi yang sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Bir ini merupakan salah satu minuman hangat dan menyegarkan tanpa mengandung unsur alkohol. Diolah dengan bahan rempah, seperti jahe, serai, kayu manis, kayu secang, dan daun pandan.

Bir pletok memiliki khasiat untuk memperlancar peredaran darah dan menghangatkan tubuh saat udara dingin. Umumnya, masyarakat Betawi mengonsumsi minuman ini saat malam hari atau ketika cuaca sedang dingin sebagai penghangat tubuh.

Dilansir dari dinaskebudayaa.jakarta.go id, bir pletok hadir karena terinspirasi dari minuman bir yang mengandung alkohol. Dikisahkan pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Belanda dan Eropa gemar minum bir. Namun, mayoritas masyarakat Betawi yang merupakan muslim diharamkan minum bir yang mengandung alkohol. Maka, masyarakat Betawi saat itu membuat minuman yang menyerupai bir tanpa  alkohol, maka terciptalah bir pletok.

Ada dua versi munculnya nama bir pletok. Versi pertama, konon saat pembuatan bir pletok ada proses mengocok bir dalam wadah botol kaleng. Proses tersebut menghasilkan suara kocokan yang terdengar “pletok”. Namun, ada juga yang mengatakan kalau dulu orang Belanda buka wine itu bunyinya ‘pletok’. Dan kini, beradasarkan Pergub Nomor 11 Tahun 2017 bir pletok telah menjadi ikon dari budaya Betawi untuk kategori kuliner tradisional.

Masih dilansir dari laman yang sama, bir pletok tidak hanya sekadar dapat menghangatkan badan, ternyata ada beberapa manfaat lain jika kita mengonsumsi bir tanpa alkohol ini, seperti: dengan jahe segar yang terdapat di bir pletok, ternyata baik untuk pencernaan. Terutama mengurangi kembung setelah makan. Sejatinya, jahe dapat merangsang proses pencernaan. Caranya dengan mempercepat waktu yang dibutuhkan perut untuk mengosongkan isi makanannya ke usus kecil.

Kemudian, manfaat bir pletok lainnya datang dari sebuah studi tahun 2010 yang dilakukan American Pain Society. Menurut studi tersebut, dengan mengonsumsi dua gram jahe per hari dapat membantu mengurangi rasa sakit yang terkait dengan nyeri otot akibat olahraga.

Para peneliti juga menganggap sifat antiinflamasi jahe sebagai hypoalgesic (melawan rangsangan rasa sakit).

Tak hanya itu, bir pletok juga ampuh untuk mengatasi mabuk perjalanan. Dengan komposisi jahe  di dalam bir pletok, bisa menjadi penawar efektif untuk mereka yang suka mabuk saat melakukan perjalanan. Kemampuannya mengurangi mual menjadi salah satu manfaat jahe yang paling tradisional. Baik mabuk perjalanan maupun mual, umumnya sering diakibatkan oleh disritmia lambung (kondisi yang terjadi ketika ritme otot perut tidak sinkron). Caranya dengan mengonsumsi jahe sebelumnya.

Kemudian, manfaat lain bir pletok adalah untuk mengatasi dan meringankan nyeri menstruasi. Kandungan jahe di dalam bir pletok sama efektifnya dengan ibuprofen dan asam mefenamat, dalam mengurangi nyeri terkait menstruasi.

Selain itu, sebuah studi tahun 2014 juga menunjukkan bahwa jika mengonsumsi jahe setiap hari selama seminggu menjelang siklus menstruasi, suasana hati dan gejala PMS perilaku lainnya dapat membaik.

Terakhir, ada penelitian substansial tentang kemampuan jahe untuk mendukung fungsi otak yang sehat. Dalam sebuah studi tahun 2012, wanita yang mengonsumsi jahe setiap hari meningkat signifikan memori dan kinerja kognitifnya.

Studi lain juga menunjukkan temuan serupa bahwa sifat bioaktif dan aktivitas antioksidan dalam jahe mungkin bermanfaat dalam melindungi otak dari penurunan kognitif.

Bir pletok ini selalu hadir dalam berbagai perayaan istimewa di kota Jakarta, seperti Jakarta Fair, HUT Kota Jakarta, dan berbagai hajatan yang masih digelar dengan adat Betawi yang murni.

Tidak lupa pula ikon kuliner lain yang tidak kalah uniknya, yakni roti buaya. Roti ini memang hanya hadir pada acara pernikahan yang menggunakan adat Betawi saja. Bentuknya persis seperti buaya yang ditaruh sejajar secara berpasangan. Bagi masyarakat Betawi, buaya adalah lambang kesetiaan, kepedulian, dan adab.

Dilansir dari dinaskebudayaa.jakarta.go id, dalam cerita rakyat (folklor), makna roti merupakan sarana bagi masyarakat Betawi untuk melestarikan tradisi dengan adat pernikahan. Melalui roti tersebut, buaya dimaknai sebagai sumber kehidupan sekaligus wujud kepedulian orang Betawi terhadap lingkungan sekitar.

Sepasang roti buaya itu dimaknai sebagai dua orang yang akan membangun keluarga baru sekaligus menjadi penerus kehidupan. Makna lain dari roti buaya itu bahwa orang Betawi sangat menjaga adab, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga lingkungan sekitar.

Dahulu, orang Betawi meyakini bahwa setiap tempat ada penunggunya. Kemudian, roti buaya juga menjadi simbol kesiapan melepas masa lajang sekaligus kesabaran. Dua roti buaya tersebut jadi perlambang bahwa kedua calon pengantin telah siap menjadi sepasang suami dan istri. Sementara simbol kesabaran, diambil dari perilaku buaya yang selalu sabar menunggu mangsanya.

Makna filosofis lainnya adalah menyatukan dua karakter insan manusia tidak mudah. Sebabnya, sepasang suami maupun istri harus bisa saling memahami dan bersabar dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

Terakhir, roti buaya juga menjadi simbol kesetiaan dan melindungi. Makna lain dari seserahan roti buaya itu juga bersumber dari perilaku buaya jantan yang sepanjang hidupnya hanya mengawini satu betina. Perilaku buaya jantan ketika betinanya bertelur, akan sangat protektif terhadap ancaman predator lain.

Memang kedua kuliner tersebut menjadi ikon budaya Betawi yang familier diketahui oleh masyarakat perantau yang lama tinggal di Jakarta. Namun, jarang sekali ada yang mengetahui sejarah dan makna dari ikon budaya tersebut. Semoga ikon tersebut tetap lestari sebagai identitas budaya Betawi dengan sejuta ceritanya.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Kisah Bir Pletok dan Roti Buaya, Ikon Budaya Betawi”, https://aceh.tribunnews.com/2023/02/25/kisah-bir-pletok-dan-roti-buaya-ikon-budaya-betawi?page=all.

Bagikan
Skip to content