Cerita Haji dari Pulau Onrust dan Rubiah

7 Juni 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Rabu, 7 Juni 2023

MELINDA RAHMAWATI, S.Pd., mantan Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di Universitas BBG Banda Aceh, melaporkan dari Jakarta

Setiap manusia pasti memiliki perjalanan hidup yang penuh warna. Sebuah perjalanan yang menjadi sejarah atas diri manusia tersebut. Kali ini, kembali kita buka sebuah perjalanan ibadah yang berdurasi panjang dan penuh tantangan di masanya. Seluruh umat Islam tentu mengenal dengan baik mengenai ibadah haji. Sebuah ibadah yang termasuk dalam rukun Islam ke-5 sekaligus ibadah yang tergolong sunah muakad (sunah yang diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menjalankanya).

Dalam catatan Sirah Nabawiyah, perjalanan ibadah haji sudah dimulai sejak Nabi Ibrahim as dan disempurnakan pada masa Nabi Muhammad saw. Setiap rangkaiannya menginterpretasikan identitas sejati dari manusia. Bahkan, peristiwa monumental dalam sejarah umat Islam juga pernah terjadi dalam perjalanan ini. Turunnya Surah Al-Maidah ayat 3 sebagai ayat terakhir sekaligus penutup wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sekaligus pula menjadi pertanda dari haji wadak (perjalanan haji terakhir yang dilakukan Nabi Muhammad) menjadi sebuah peristiwa yang penuh haru dan kesedihan.

Ternyata, hingga puluhan abad kemudian perjalanan haji ini juga masih menjadi sebuah perjalanan panjang yang ditempuh oleh setiap muslim. Beragam alasan mereka jauh-jauh dari negaranya datang ke Kota Makkah, Saudi Arabia, hanya untuk berwisata rohani dan merefleksikan diri atas perjalanannya selama ini sebagai seorang manusia. Dari sejarah perjalanan tersebut juga, kita mengenal satu tokoh guru besar Universitas Leiden yang akhirnya melakukan spionase terhadap rakyat Aceh. Beliau tidak lain adalah C. Snouk Hurgronje.

Dituliskan dalam situs resmi kemenag.go.id. saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda (East Indische), pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1825 sudah mengeluarkan pelbagai ordonansi yang memperketat mengenai perjalanan haji. Demikian juga ketika menelusuri lebih jauh. Disebutkan dalam situs historia.id, sudah sejak akhir tahun 1600-an VOC selaku kongsi dagang Belanda di Hindia Timur mulai memperketat keberangkatan haji untuk masyarakat pribumi. Ketika kita akan berbicara tentang haji pada era kolonial, tentunya secara eksplisit akan tersebut Pulau Onrust (Onrust Eiland), Pulau Cipir (Kuipers Eiland), Pulau Kelor (Kerkhof Eiland), dan Pulau Rubiah.

Ahmad Fauzan Baihaqi pada tahun 2016 telah menyampaikan dalam laporan penelitian berjudul “Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930)”. Dalam laporan medis sejak pada pertengahan akhir abad ke-19, tercatat banyak jamaah haji yang meninggal karena terkena wabah penyakit menular. Tidak sedikit dari mereka akhirnya mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan di kapal uap yang tidak sehat.

Contoh kasus terjadi pada tahun 1891. Sebuah kapal Gelderland yang datang ke Tanjung Priok berpenumpang 700 jamaah haji dari Jeddah, terdapat 32 orang jamaah yang meninggal dalam perjalanan. Penyebab kematiannya karena di kapal tersebut tidak ada seorang pun dokter sebagai petugas kesehatan. Catatan selanjutnya pada tahun 1893, sebuah kapal Samoa dengan berpenumpang 2.500 jamaah dari Jeddah, ternyata saat berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok juga  banyak sekali penumpang yang terkena penyakit menular.

Bahkan, 61 orang di antaranya meninggal dalam perjalanan disebabkan kurangnya perawatan kesehatan selama perjalanan dengan kapal tersebut. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, diketahui penyebab kematian para jamaah dalam perjalanan yang ditempuh karena mereka terinfeksi pelbagai jenis penyakit menular saat itu, antara lain, pes, kolera, dan lainnya. Penyakit ini menular, menyebar, dan akhirnya menjadi perhatian dunia internasional. Konsulat Belanda sendiri telah menduga sebelumnya, terkait meluasnya penyebaran penyakit endemik tersebut disebabkan aktivitas perjalanan laut. Hingga akhirnya sebagai langkah penanganan lebih lanjut,

Pemerintah Belanda memulai pelbagai usaha perbaikan fasilitas kesehatan pada transportasi laut. Khususnya pada kapal yang akan menjadi angkutan perjalanan haji melalui ketetapan standardisasi penumpang dan armada dalam Ordonansi Pelayaran Haji tahun 1898 hingga 1922. Kemudian, pada tahun 1911, pemerintah kolonial kembali menetapkan ordonansi terkait kewajiban untuk melakukan karantina (Quarantine Ordonantie) terhadap seluruh jamaah haji yang akan berangkat dan pulang dari perjalanan tersebut.

Kewajiban karantina tersebut dihadirkan sebagai bentuk pengawasan kesehatan para penumpang dalam kapal dan memfasilitasi pencegahan penyakit menular tersebut. Pemerintah kolonial menetapkan lokasi karantina para jamaah haji tersebut di Pulau Rubiah, Sabang, Pulau Onrust, serta Kuiper di Batavia. Disebutkan dalam Ordonansi Haji Tahun 1898,  pemerintah juga secara tertulis menjelaskan pengaturan terkait tempat embarkasi dan debarkasi haji di dua lokasi utama, yaitu: di Pelabuhan Batavia dan Padang. Hal ini dapat dilihat dari surat pernyataan yang dikeluarkan  Menteri Koloni Belanda kepada Gubernur Jenderal, bahwa ketentuan mengenai lalu lintas penumpang jamaah haji hanya bertahan dengan pengiriman antara pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda dan keluar saja. Sehingga, dalam pelaksanaannya, dikarenakan kurangnya jumlah embarkasi dan/atau debarkasi haji, maka pada tahun 1904 pemerintah memberikan aturan tambahan dalam ordonansi tahun 1898.

Ordonansi tersebut menyebutkan penambahan Pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan haji (pelgrimshaven). Dengan memperhatikan kebijakan kesehatan dalam Ordonansi Karantina Tahun 1911, mulai diatur secara lebih spesifik terkait status kapal haji. Dalam ordonansi tersebut, dikatakan bahwa kapal haji merupakan sebuah kapal yang difungsikan secara khusus untuk mengangkut jamaah haji dari Hindia Belanda ke Pelabuhan Jeddah.

Selanjutnya, status penumpang yang dimiliki jamaah haji ditempatkan sebagai penumpang kelas ekonomi dan ditempatkan di kelas rendah (laagste klasse). Para calon penumpang harus mengurus status penumpangnya secara prosedural dengan agen haji yang secara sah selaku pihak pelaksana dari penyelenggaraan perjalanan haji tersebut. Selain itu, ditetapkan enam pelabuhan embarkasi haji di Hindia Belanda, yakni Makassar, Surabaya,Tanjung Priok, Emena (Padang), Palembang, dan Sabang.

Sebagai penutup, Kyota Hamzah menuliskan dalam bukunya “Haji: Ibadah yang Mengubah Sejarah Nusantara” tahun 2022, menguraikan saat perjalanan haji juga berjalan seiring dengan perdagangan antarnegara telah menjadi salah satu bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan di Nusantara. Kedatangan para pedagang Islam tidak hanya mendatangkan barang dagang dan tawaran untuk mengenyam pendidikan di Tanah Haram tersebut, lebih dari itu semua mereka mengenalkan ibadah haji sebagai salah satu ibadah yang perlu untuk dijalani bagi mereka yang mampu (secara fisik dan material). Hingga saat Nusantara memasuki era baru dan berubah nama menjadi Hindia Belanda, gelombang keberangkatan jamaah haji semakin meningkat di tengah gelombang penyakit endemik yang melanda dunia dan gelombang pemberontakan yang didukung oleh para ulama.

Pulau Onrust dan Pulau Rubiah hingga hari ini hadir untuk menceritakan sibuknya mereka pada era tersebut agar kita dapat menjadikan mereka sebagai pembelajaran yang sangat berharga.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Cerita Haji dari Pulau Onrust dan Rubiah”, https://aceh.tribunnews.com/2023/06/07/cerita-haji-dari-pulau-onrust-dan-rubiah.

Bagikan
Skip to content