Aman Dimot, Pahlawan Legendaris dari Aceh Tengah

16 Juli 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Minggu, 16 Juli 2023

SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, penulis novel, melaporkan dari Lut Tawar, Takengon, Aceh Tengah.

Tugu berwarna merah, putih, dan kuning ini berdiri tegak menyaksikan perputaran waktu di Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah. Lokasinya amat strategis. Dibangun di pusat kota tepat di depan mapolres setempat. Di sekelilingnya juga terdapat lembaga pemerintahan seperti kantor bupati, kantor DPRK, Masjid Agung Ruhama, dan Plasa Telkom Takengon.

Warnanya cukup mencolok. Seolah menunjukkan identitas Aceh Tengah melalui warnanya yang khas.
Sesuai namanya, Tugu Aman Dimot diambil dari nama seorang pejuang asal Linge, Aceh Tengah, Abu Bakar Aman Dimot. Ia lahir pada tahun 1900 di Desa Tenamak, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Pendidikan dasarnya ialah membaca Al-Qur’an di desa kelahirannya. Aman Dimot tumbuh besar di keluarga muslim yang taat beribadah. Sosoknya sederhana, memiliki iman yang kuat, jujur, dan berpegang teguh pada prinsip yang ia buat.

Di balik keberaniannya, Aman Dimot taat beribadah dan kebal terhadap berbagai senjata tajam serta tak tembus peluru.

Pejuang dengan gelar Pang atau Panglima tersebut cukup legendaris di kalangan rakyat Aceh Tengah. Tergabung ke dalam kelompok di bawah pimpinan Ilyas Leube, Pasukan Mujahidin dan Bagura asal Aceh Tengah, Aman Dimot melakukan perlawanan di Tanah Karo. Mereka menggunakan cara unik  dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah. Bersama 45 rekannya, ia menghadang setiap tank dan truk Belanda yang lewat. Cara unik inilah yang membedakan antara Aman Dimot dengan pejuang dari daerah lain.

Ada satu kejadian heroik yang tercatat dalam berbagai sumber. Tepat pada tanggal 30 Juli 1949, kelompok Mujahidin dan Bagura melakukan pengintaian di Tanah Karo, Sumatera Utara. Menurut kabar angin, sebanyak 25 iring-iringan truk dan tank Belanda akan melewati tempat tersebut. Persenjataan berupa kelewang dan senapan disiapkan. Kesiagaan penuh dihidupkan. Mata mereka menatap awas ke sekitar.

Saat pasukan Belanda mulai terlihat dari kejauhan, Abu Bakar alias Aman Dimot menunggu sampai jarak di antara mereka terhapuskan. Begitu mendapat kesempatan, kelompok yang sudah lama menunggu tersebut langsung menyerbu dengan membabi buta. Termasuk Aman Dimot. Ia adalah orang yang paling bersemangat kala itu. Tak ada ketakutan di wajahnya. Darah muda bergolak. Mendidihkan semangat juang hingga tak gentar melawan tentara Belanda.

Belanda kalang kabut. Serangan Aman Dimot beserta rekannya membuat mereka kewalahan. Terlebih lagi, gaung nama Aman Dimot telah terdengar sejak lama. Pemuda yang diberi julukan Pang akibat keberaniannya itu tak memberi napas bagi Belanda. Perang dekat atau jarak jauh sama sekali bukan halangan bagi pemuda itu. Mau tak mau, para serdadu tetap melawan. Rentetan anak peluru dilepaskan. Namun, momok paling menakutkan ialah tatkala tak ada satu peluru pun mampu menggores badan Aman Dimot.

Kemenangan hampir di depan mata, tetapi Ilyas Leube memberi perintah untuk mundur. Wajah-wajah lelah anak buahnya terlihat mengkhawatirkan. Ilyas Leube sadar, mereka kalah dari segi persenjataan, jumlah personel, dan logistik. Meskipun memiliki Aman Dimot yang berani dan kebal senjata, korban lain pasti akan berjatuhan. Pasukan Mujahidin dan Bagura bisa tumbang satu per satu. Perjuangan mereka bukan hanya hari ini saja, itulah yang membuat Ilyas Leube mengambil keputusan menarik pasukan. Terlebih lagi, tak lama setelah itu, bala bantuan Belanda datang. Pasukan Ilyas Leube semakin terdesak.

Aman Dimot tak peduli pada perintah sang komandan. Ia tetap melanjutkan menyerang Belanda sekuat tenaga. Keberaniannya tak berkurang sedikit pun meski kalah jumlah. Ditambah lagi, dua rekannya, Pang Ali Rema dan Pang Edem tak ikut mundur, Aman Dimot semakin yakin. Maka ketika Ilyas Leube dan sisa pasukan meninggalkan tempat itu, Aman Dimot mengatur strategi. Mereka bertiga pura-pura mati dengan berbaring di antara mayat-mayat.

Pasukan Belanda menunggu situasi agak tenang, kemudian memeriksa mayat satu per satu. Tak disangka, tiga orang yang dikira telah meregang nyawa mendadak bangkit dan menyerang dengan beringas. Banyak pasukan Belanda tewas. Akan tetapi, Aman Dimot harus kehilangan dua rekannya. Meskipun begitu, ia tetap mengejar penjajah. Pedang di tangannya teracung tinggi ke udara. Kebingungan membuat Belanda kalut. Tak ada satu pun dari senjata mereka yang mampu melukai Aman Dimot. Tergores saja tidak.

Namun, akhirnya celah untuk mengalahkan Aman Dimot terbuka saat pemuda itu kelelahan. Saat mencoba menembaknya dengan harapan bisa tewas seketika, mereka menelan kegagalan. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Belanda yang mulai frustrasi meringkus Aman Dimot dan memasukkan granat ke mulutnya. Tak puas sampai di situ, Aman Dimot dibaringkan dan dilindas menggunakan tank. Pada tanggal 30 Juli 1949, Aman Dimot syahid dalam kondisi mengenaskan. Darahnya menyerap ke dalam pori-pori Tanah Karo, Sumatera Utara. Ia gugur membawa semangat juang yang tak padam meskipun harus melawan sendirian.

Menghargai jasa dan keberaniannya melawan musuh, pemerintah membangun tugu Aman Dimot agar masyarakat Aceh Tengah selalu mengenang sosok pejuang tanpa tanda jasa itu setiap mendatanginya. Tugu itu ada dua. Satu di Tanah Karo, sebagai wujud dari penghormatan di tempat ia syahid. Satu lagi di tempat kelahirannya. Kini Tugu Aman Dimot menjadi tempat rekreasi. Banyak anak muda dan orang dewasa menghabiskan waktu santai mereka di sini. Bahkan terdapat banyak jajanan kaki lima yang bisa dijadikan teman bersantai sembari mengobrol ria.

Dengan banyaknya pengunjung, ada sisi negatif tengah mengintai tempat bersejarah itu. Tak dapat dipungkiri, tangan-tangan jahil yang luput dari pengawasan dapat merusak fasilitas yang ada di sana. Termasuk ancaman corat-coret (gratifi) dinding yang bisa saja dilakukan oleh anak-anak. Membangun sebuah tugu merupakan perkara mudah, tetapi menjaga kebersihan, kerapian, dan keutuhan memerlukan kerja sama yang baik antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah.

Pemerintah pusat juga diharapkan dapat memberikan gelar pahlawan nasional kepada Aman Dimot. Pemerintah setempat pernah mengusulkan hal tersebut, tetapi usulan belum dapat diterima karena dianggap belum memenuhi syarat. Setelah mati-matian melawan, Aman Dimot gugur dengan cara tragis. Sampai akhir hayat, ia tetap memastikan tangan dan kakinya masih bergerak melawan Belanda. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Aman Dimot mendapat kehormatan bergelar pahlawan nasional. Meskipun kurangnya data pendukung, Aman Dimot tetaplah seorang pejuang, sama seperti halnya Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teuku Umar, dan pejuang dari Tanah Rencong lainnya.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Aman Dimot, Pahlawan Legendaris dari Aceh Tengah”, https://aceh.tribunnews.com/2023/07/16/aman-dimot-pahlawan-legendaris-dari-aceh-tengah.

Bagikan
Skip to content