Ragam Kosakata dalam Bahasa Aneuk Jamee Hulu Pisang

23 Februari 2022 | BBG News

Nurul Husna, mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh. Melaporkan dari Desa Hulu Pisang, Labuhanhaji, Aceh Selatan.

Hulu Pisang merupakan desa yang terletak di kecamatan Labuhanhaji kabupaten Aceh Selatan letak desa ini dekat pegunungan, sawah-sawah milik warga sekitar disertai dengan sungai yang mengalir dan pohon-pohon pisang yang tumbuh di sekitar rumah warga. Dari saya kecil hingga besar belum banyak perubahan di desa saya ini terutama lingkungannya yang tergolong masih asri. Warga desa Hulu Pisang pada umumnya menggunakan bahasa Aneuk Jamee, ada juga yang menggunakan bahasa Aceh dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya.

Setiap orang memiliki bahasa ibunya termasuk saya. Di desa tempat saya dilahirkan ini saya menggunakan bahasa Aneuk Jamee sebagai bahasa ibu saya. Dulu saya pernah dipanggil “Piak” yang memiliki arti anak perempuan atau perempuan oleh para nenek yang sekarang sudah tidak ada. Sebutan “Upik” juga digunakan untuk panggilan anak perempuan (perempuan). Di lain sisi panggilan untuk anak  laki-laki atau laki-laki disebut “Buyuang” dengan kata lain “Yuang” dan ada juga kata lain yang maknanya sama dengan “Buyuang” yaitu “Buyong” atau “Uyong”.

Berikut sekilas kata-kata yang kami gunakan dalam kehidupan sehari-hari di desa Hulu Pisang, kecamatan Labuhanhaji kabupaten Aceh Selatan. Sebutan untuk ibu adalah “Umak” sedangkan ayah tetap tidak berubah, panggilan untuk nenek sebelah ibu adalah “Nek nong” sedangkan untuk kakek “Nek gam”. Untuk orang tua ayah ada yang “Nek nong dan Nek gam” ada juga yang memanggil untuk kakek sebelah ayah atau ibunya dengan “Nek ndong” dan “Ondong” untuk nenek tetap “Nek nong”.

Panggilan untuk kakak laki-laki biasanya “Ubang” ada juga yang memanggil “Uda, ogek”. Untuk kakak perempuan biasanya “Ida, uniang, upo, uni, unen, kakak”. Sedangkan untuk abang ipar ada “Udo, ubang Ipar, ubang, bang”. Kakak ipar biasa dipanggil dengan “Tamudo” ada juga “Uniang dan kakak”.

Untuk panggilan abang ibu dan ayah biasanya “Pak tuo, poya, pak tangah, pak ketek”. Kakak ibu, ayah, “Mak tuo, mak sayang, mak uniang, mak tangah, uwo, mak uni, mak po”. Untuk suaminya dipanggil dengan “Pak tuo, pak sayang, pak uniang, pak tangah, pak uwo, pak po”. Untuk adik laki-laki ibu, ayah “Paman, mamak”. Sebutan untuk istrinya “Mak cik, mintuwo, itek”. Sedangkan adik perempuan ibu dan ayah biasa dipanggil “Acik, itek, maktek, tek etek”. Untuk pasangannya “Pak cik, mamak, yah tek (yatek), pak etek”.

Ada kata-kata yang unik untuk mengatakan sikap bandel seseorang yang melampaui batas wajar yaitu “Mada” ini merupakan kata yang sangat kasar dan jarang di ucapkan oleh generasi sekarang maknanya tidak mendengar apa yang dikatakan orang, “Binga” merupakan kata yang mempunyai arti yang sama dengan “Mada” ini juga kasar tapi masih ada yang menggunakannya dalam berkomunikasi sehari-hari. Tindakan salah yang dilakukan berulang-ulang padahal sudah ditegur tapi tidak berhenti disebut “Ganjiye, batat”. Jika kata “Ganjiye” digabungkan dengan kata “Na” menjadi “Ganjiye na” memiliki makna sangat bandel. Kata “Yo” ditambahkan dengan kata “Ganjiye” menjadi “Yo ganjiye” akan bermakna sangat bandel  juga, kata “Na” dan “Yo”  pada umumnya bermakna sangat.

Untuk mengungkapkan tidak rapi pada rambut menggunakan kata “Kusuwik”, pada pakaian “Ghimuak”, untuk rumah yang tidak rapi memakai kata “Baseghak”, untuk makanan yang jatuh ke lantai disebut “Bapatai atau batabuwe”. Kata marah dapat dikatakan “Beghang” ada juga yang mengatakan “Bangih”, untuk wajah yang tampak marah disebut “Sundek”, wajah saja disebut “Muko”.

Kata ganti orang pertama tunggal adalah “Ambo” yang bermakna saya, orang kedua tunggal “Kawu” untuk perempuan sedangkan laki-laki “Waang” yang sama-sama memiliki arti “Kamu”. Kata ganti orang ketiga tunggal seperti dia dapat menggunakan kata “Inyo” atau huruf “e” tergantung konteks saat tuturan berlangsung misalnya dalam kalimat “Inyo tangah makan di dapuwe” bermakna dia sedang makan di dapur. “Tangane taisyiah sakin kapatang” bermakna tangan dia tergores pisau kemarin. Kata ganti orang ketiga lebih dari satu (jamak) yaitu “Ughang du” yang bermakna mereka.

Beberapa ucapan berakhir dengan “Doh” seperti nakdo monga doh (tidak apa-apa), nakdo jadi lagoktu doh (tidak boleh seperti itu), nakdo doh (tidak ada), bukan itu doh (bukan itu). Beberapa kata lain seperti rumah gadang (besar), Ketek (kecil), laweh (luas), sampik (sempit), dindiang (dinding) paghadan (jendela), kama (kamar) dapuwe (dapur) atok (atap). tampek tiduwe (tempat tidur) camin (cermin), kaco (kaca), lamaghi (lemari), kughisi (kursi), kasuwe (kasur) banta (batal), tika (tikar), bungo (bunga) panyapu (sapu) timbo (ember) gayuang (gayung), kuawali (wajan), cangkiye (cangkir plastik).

Peralatan yang digunakan dalam sehari-hari diantaranya ada cangkuwe (cangkul) yang dulu berfungsi untuk mencangkul sawah agar mudah menanam padi, bisa juga untuk mencangkul tanah agar mudah menanam sayur-sayuran. Tamilang ini terbuat dari besi fungsinya untuk menggali tanah dan sebagai alat pengupas kulit kelapa, sakin sebagai alat pemotong sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, ladiang ini adalah alat multifungsi bisa sebagai alat pengupas kulit kelapa, pemotong tanaman menjalar, kayu, rumput, pohon, ikan, daging dan lain-lain.

Sehari-hari untuk sayuran kami menyebutnya “Abuwisy”, daun kelor “Mawunggai”, daun katuk “Asen-asen”, ikan “Lawuak”, sambal “Samba”, kelapa “Kaghambiye”, cabe rawit “Lado ambun”, cabe merah “Lado gadang”, Ketumbar “Aweh”, Jahe “Cupadeh”, lengkuas “Lengkuweh”, kunyit “kunyik”,  jeruk nipis “Asam”.

Adanya pernikahan yang berbeda bahasa antara ibu dan ayah akan sangat mempengaruhi dialek bahasa Aneuk Jamee yang diucap oleh seorang anak, anak yang memiliki ayah dan Ibu yang selalu menggunakan bahasa Aneuk Jamee tentu akan fasih dalam menggunakan bahasa Aneuk Jamee disaat berkomunikasi dengan orang lain, anak yang memiliki ayah, ibu berbeda bahasa kebanyakan tidak fasih dalam menggunakan bahasa Aneuk Jamee apalagi dengan ibu dan ayahnya dia selalu menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara.

Selain ibu, ayah, keluarga, lingkungan seorang anak tumbuh juga sangat mempengaruhi khualitas bahasa Aneuk Jamee yang diucapkan seorang anak, adanya peran ibu atau ayah yang mengajarkan bahasa Aneuk Jamee semenjak kecil hingga besar tidak menutupi kemungkinan besar seorang anak akan fasih dalam bertutur kata dengan bahasa Aneuk Jamee meski orang tuanya memiliki bahasa ibu yang berbeda. Semoga para ibu, ayah yang ada di desa Hulu Pisang tetap mengajarkan bahasa Aneuk Jamee kepada anak-anaknya meski menikah dengan orang yang berbeda bahasa, walaupun zaman berubah dengan generasi yang tidak lagi sama.

Bagikan
Skip to content