MUZIRUL QADHI (MUZIR MAHA), Kabid Litbang Yayasan Pelestarian Kebudayaan Suku Singkil (Yapkessi), Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), dan Mahasiswa STKIP BBG Banda Aceh, melaporkan dari Singkil
SETIAP suku bangsa pasti memiliki ciri khas budayanya masing-masing, tak terkecuali suku Singkil yang mendominasi penduduk di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Seperti yang kita ketahui, Subulussalam Singkil adalah dua wilayah yang berbeda pemerintahan secara administratif, tetapi memiliki kemiripan adat budaya, yaitu adat budaya Singkil/Singkel. Itu karena Subulussalam awalnya bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, kemudian mekar menjadi kota yang berdiri sendiri, yakni Kota Subulussalam.
Salah satu kesenian khas Singkil yang sangat begitu dibanggakan adalah “dendang Singkil” atau biasa disebut “medendang” oleh masyarakat setempat.
Tidak ada yang tahu pasti kapan dendang lahir di tanah Singkil, tapi yang jelas keberadaan dendang Singkil diyakini sudah ada sejak lama, jauh sebelum Belanda masuk Aceh.
Di dalam KBBI, dendang bermakna déndang/nyanyian ungkapan rasa senang, gembira, dan sebagainya (sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian).
Dendang Singkil ini biasanya dimainkan oleh lima sampai 15 orang. Sedangkan alat musik dendang ini terbilang cukup unik karena sebagian diambil dari alat-alat/perkakas dapur. Misalnya talam, sendok, garpu, botol sirop, ember atau kaleng cat yang ditabuh mengikuti rentak gendang dan lantunan penyair. Dalam musik dendang ini tetap didominasi oleh suara gendang dan ada pula sesekali ditambahkan alat musik tradisional, yaitu canang kayu.
Penyair di dalam dendang Singkil ini disebut “pedendang” (syekh) sedangkan sebutan untuk kelompok musiknya disebut “medendang”, berbeda sebutannya tapi masih dalam satu regu/kelompok.
Pedendangnya biasanya terdiri atas satu sampai dua orang, bisa juga lebih banyak personelnya dengan sistem silih berganti.
Dalam praktiknya, pedendang menyampaikan pesan-pesan moral, petuah, atau nasihat, kemudian tentang kisah hidup, tentang doa untuk anak, dan ada juga syair pantun yang dinamakan “sesukuten”.
Berikut saya sajikan contoh syair dendang Singkil:
“Si anak ndai, si anak ndai, ee kaum beak. Ikan belanak imbang nakan memikerkeun malot mi bangku khoh den anak mengido mangan, bekune ngo ningku cek, si anak ndai, si anak ndai. Ikan keperas medukhi-dukhi, medukhi-dukhi khoh mo anak mengido mangan ku tengen bekhas pe enggo keri, si anak ndai, si anak ndai. Ikan keperas medukhi-dukhi perjanang si buah gundur, ku tengen beras pe enggo keri balik mi sapo kenak pungur leee. Mate mo ko tangkep. Si anak ndai, si anak ndai.”
Itulah sekilas syair dendang Singkil yang menceritakan tentang kehidupan di dalam rumah tangga.
Ketika kita mendengarkan syair- syair dendang ini membuat kita terhibur karena di dalam syair tersebut selain pesan nasihat juga diselipkan berupa lelucon yang diambil dari kisah nyata sehingga membuat si pendengar tersenyum dan tertawa.
Kita dibawa ke alam khayal untuk mengimajinasikan kejadian dan kisah-kisah yang terjadi di lingkungan kita. Tak jarang pula penyair/penendang menyinggung ulah pemimpin di daerahnya, mungkin istilah bahasa sekarang adalah mengkritisi kebijakan pemerintah.
Ada kenikmatan tersendiri bagi pendengar dendang tersebut, bahkan bisa membuat kita tertidur lelap, makanya kaum emak Singkil kerap membawakan syair dendang dalam ayunan anaknya agar anaknya dapat tertidur pulas.
Dalam mendendang topiknya tidak mesti harus tentang kisah hidup, tapi juga bisa berupa doa dan selawat dengan irama dendang.
Jadi, jika Anda sudah pernah ke Subulussalam atau Singkil, Anda akan mendengar ibu-ibu sedang berdendang di rumahnya, bahkan juga lebih asyik dilantunkan di kebun atau persawahan sembari menjaga padi dan tanaman kebun lainnya. Tapi itu dendang yang dilakoni sendiri-sendiri, bukan dalam bentuk regu.
Di Aceh sendiri ada beberapa suku yang memiliki khazanah budaya yang mirip dengan dendang Singkil, seperti didong Gayo dan sya’e Aceh (hikayat).
Dendang Singkil sendiri umumnya dilantunkan pada saat acara pesta pernikahan, khitanan, dan acara besar lainya, bahkan medendang ini bisa dilakukan semalam suntuk hingga terbit fajar.
Hanya dengan berbekal sepiring kudapan, kopi, dan sirih para personel bisa membawakan alunan dendang hingga fajar di menyingsing.
Inilah adat tradisi Singkil yang telah lahir ratusan tahun lalu, tapi kini dendang sudah jarang ditampilkandalam acara acara hajatan, mengingat seiring perkembangan zaman, grup orkestra atau organ tunggal (kibor) pun bertebaran dan mulai mendominasi panggung hiburan pada acara-acara hajatan, terutama saat resepsi pernikahan. Ditambah lagi dendang Singkil ini tidak ada sanggar khusus yang melahirkan generasi penerus mahir berdendang. Paling-paling hanya belajar secara personal atau otodidak, itu pun sulit. Sehingga dalam grup dendang personelnya kebanyakan adalah bapak-bapak yang sudah berusia lanjut. Jarang sekali kita lihat anak-anak muda di wilayah Singkil dan Subulussalam yang bisa medendang. Jika pun ada ya paling hanya sebagai pengiring musik atau pun penari yang mengiringi musik dendang. Karena ada juga di dalam penampilan dendang dimasukkan tarian-tarian daerah seperti tari piring, tari biahat, tari adok, dan beberapa tarian lainnya.
Sebenarnya dendang ini pun ada beberapa versi, ada dendang Minang atau ratoh Minang, ada pula dendang Melayu. Untuk suku Singkil dendang Singkil menggunakan bahasa Singkil, berbeda pula dengan dendang pesisir dan dendang Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil yang menggunakan bahasa Minang (Jamee). Meskipun tujuan dendangnya sama, tetapi alat musiknya ada yang berbeda. Misalnya dendang Pulau Banyak, selain menggunakan bahasa Minang mereka juga menggunakan alat musik biola dan rebana.
Bahkan di Minangkabau dendang ini cukup eksis. Dalam pengertian orang Minang, dendang merupakan salah satu tradisi bercerita masyarakat Minangkabau.
Menurut Mahyudin (1976), dendang berasal dari kata ‘den indang’ yang artinya ‘saya asuh’. Indang, selain mempunyai arti ‘mengasuh’ juga bermakna ‘menampin’, yaitu memisahkan beras dari atah dengan cara mengayun-ayunkan nyiru secara terus-menerus.
Yang dimaksud dengan makna mengasuh, adalah mengasuh anak dengan cara mengayun-ayunkan anak sambil mengeluarkan kata-kata yang bertujuan mendiamkan si anak agar tidak menangis. Kata-kata yang dikeluarkan secara berulang-ulang itu menimbulkan irama khusus. Irama inilah yang berkembang menjadi dendang.
Selain Pulau Sumatra khususnya Singkil, Maluku Utara juga memiliki dendang yang telah terdaftar di Kemdikbud Republik Indonesia dengan nomor registrasi 2016006628. Di itu dijelaskan bahwa dendang adalah tarian yang pada mulanya hanyalah merupakan lantunan syair-syair pantun sindiran dan ungkapan rasa kesedihan yang diungkapkan oleh para keluarga dan kerabat dekat yang sedang bermusuhan atau tidak saling bicara antara satu dengan lainnya.
Maka pada saat acara keluarga seperti acara pengantin atau acara keluarga lainnya, ungkapan syair dan pantun sindiran tersebut dilantunkan kepada keluarga atau kerabat yang sedang bermusuhan tersebut, yaitu dengan mendatangi rumahnya atau ketika yang bersangkutan hadir tanpa diundang pada acara tersebut. Maka di situlah
terucap kata-tata syair penuh makna sindiran dan ungkapan kesedihan antara keluarga yang bersikukuh. Bagaimana pendapat Anda, apakah teman-teman penasaran dengan dendang Singkil?
Jadi, setiap wilayah memiliki keunikan tersendiri dalam hal adat dan budaya, di Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam suku Anuek Jamee dan Singkil berdampingan erat, rukun, dan bersahabat dalam menjaga kelestarian budaya daerah. Begitulah sekilas cerita tentang dendang Singkil. Jika ada kesalahan mohon dikoreksi dan diberi saran. Tidak ada niat mengubah, kecuali hanya ingin mempromosikan eksistensi adat budaya Singkil yang hidup dan dijunjung tinggi di wilayah Subulussalam dan Aceh Singkil. (muzirulqadhi790@ gmail.com)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Mengulik Keunikan Syair Dendang Singkil, https://aceh.tribunnews.com/2019/09/23/mengulik-keunikan-syair-dendang-singkil.