Cerpen : Syukri Ridwan
Dari sudut beranda rumah putih,di desa perbatasan melintang anak sungai panjang orang-orang mengenalnya sungai krueng Aceh.mengintari kesetiap penjuru kota gemilang, pagi menghadiahkan pemandangan indah.sejuk mengoyak lamunan. butir-butir permata berkilau menari-nari dipunggung pertiwi.buih-buih semakin menambah kesepurnaan pagi ini
Subuh memisah para bocah dari peluk, merelakan para ayah menghanyuti sampan mengayuh lautan pergantungan para nelayan kampungku.
Aku terus berkhayal tak menentu,entah apa yang sedang melanda fikiran ini sehingga semua itu tampak terlihat jelas oleh mata ku namun ada sesuatu yan datang melangkah dari kejauhan,di saat sesosok wanita paruh baya membuyarkan lamunan ku yang sedang menyaksikan keindahan sang pencipta,kulihat sosok yang sedang melangkah berjalan dalam derasnya hujan dan iringan suara guntur yang begitu dahsyat ia terus melangkah kan kakinya yang hanya beralaskan kaus kaki lusuh penuh dengan lubang,mungkin agar kakinya tak dimakan karang sungai.aku terus memperhatikan setiap langkah itu,langkah yang hampir roboh karena bongkahan besar di atas kepalanya,tubuhnya seperti sedang terhuyung badai namun ia tak mengubrisnya sama sekali,seakan beban yang sedang di pikulnya lebih besar dari segala hal yang ada di semesta ini.
Aku semakin penasaran di buatnya,namun sosok itu belum pula ku kenal lantaran hujan yang membalut wajah keriput nya dan baju lusuh yang nyaris tak lagi berwarna,kusangkal mungkin choclate ataupun unggu yang jelas aku kebingungan oleh tebakan bodoh yang aku fikirkan,bagaimana tidak.rupanya warna putih yang sudah tidak lagi berupa mungkin lebih pantas di sebut warna sangger,berasap pula.aku tersentak kaget seakan dunia terbalik di saat kusadari bahwa dia ibu ku wanita yang telah melahirkan beberapa anak termasuk aku,tumpah segala yang ada dalam mataku,linanggan air mata yang mengalir begitu deras tak dapat ku bendung bagai arus di sungai krueng aceh saat hujan deras melanda,hancur hatiku remuk jantungku bagai tertimpa batu-batu gunung yang cadas menikam jantungku bagaimana bisa aku hanya menikmati sedang ibu yang mencari,tidak ada kata lelah meski tumpuan kakinya sudah tak lagi mampu menahanan beban tubuhnya yang kini kurus kering di rayap penyakit tua,uban di kepala yang sama sekali tidak bisa di ajak berkompromi agar sejenak rehat untuk tak tumbuh dulu.sesaat kupandang lutut itu bergetar bagai sedang di landa gempa tsunami,aku terlompat dari kursi yang terbuat dari anyaman bambu,segera kuturunkan beban pikulan yang ada di atas kepala ibu kuperhatikan apa yang di bawanya dan di cari ibu semenjak fajar menyapa semesta di pagi tadi.
Kucoba mencari tahu dan bertanya kepadanya,kuharap dapat jawaban dari mulut yang telah menggigil yang sudah tak lagi dapat berbicara karena dingin yang mendera.kubuka se utas tali yang melilit karung putih bawaan ibu,aku tersentak kaget dan hamper tak dapat mengeluarkan kata
Tiram……tiram….tiram berlinang air mata ku,berjuta pertanyaan yang terlintas di kepala ini,anak macam apa aku ini yang rela melihat tubuh renta itu bekerja seberat itu apakah ibu memiliki tenaga sepuluh pemuda sehingga tak terlihat penat dan lelah dari wajah nya atau mungkin keadaan alam yang sedang menutupi kelelahannya agar tak tampak padaku.mengapa ibu?mengapabegitu rapat kau tutupi beban mu se akan enggan kau perlihat kan kepedihan itu kepada anak mu ini,sehingga tidak ada celah agar aku dapat masuk dalam masalah dan beban mu,agar dapat aku membatu.mengapa kau jadikan rusuk ayah sebagai kekuatan ibu.seandainya ayah di sini bersama kita pastilah ibu tak harus berjuang sendiri karena ayah adalah sosok lelaki tangguh bertanggung jawab,namun apa yang bisa kita perbuat ibu..semua orang mengetahui bahkan dunia pun tau tragedi tiga belas tahun silam yang telah merampas ayah dari pelukan keluarga ini,hingga saat ini kita masi terus berduka karena tak tau jasadnya tidak juga dengan makam yang bisa kita ziarahi.namun hanya doa dari sini kami kirimkan kepada mu,berharap ayah di tempat kan disisi sang khalik,amin.
Sesaat aku aku tersadar karena terlalu jauh terbawa hanyutan masa lalu,langsung ku berlari masuk untuk mengambil sepotong kayin dari perapian agar dapat kubalut tubuh renta ibu,kupeluk erat-erat tubuh ibu kuharap dingin dan gigilnya bisa segera hilang.aku terus menangis tersedu sedu,hingga suara parau terdengar di kupingku,nak.ibu ingin bercerita tentang kecil mu dulu apa itu bu penasaran aku bu,lama kau setelah beranjak dewasa tak lagi memeluk ibu seperti ini apalagi menangis seperti ini,ibu rindu kalian nak.aku masi disini ibu bahkan sampai ajal akan menjemput ku pun aku akan terus disini menemani mu.genggam lah tangan ku bawa aku sejauh mana kau pergi menjumpai mimpi mu ibu.tidurlah seperti ibu menina bobokan aku di waktu kecil dulu,biarkan aku yang menyanyikan lagu tidur untuk mu kali ini.aku sayang ibu terimakasih atas pengorbanan ibu untuk kami.
Syukri Ridwan, Mahasiswa PBSID STKIP BBG