Ibnu Habil, Mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Indonesia Angkatan 2022, Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) sekaligus anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik, Banda Aceh melaporkan.
Kebiasaan Jam Aceh Pada Masyarakat Aceh
Ketepatan waktu merupakan salah satu hal kedisiplinan dalam melakukan sebuah tindakan mengerjakan sesuatu pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, tapi bagi beberapa masyarakat Aceh istilah ini sering dianggap sebagai hal yang sepele dan tidak memiliki dampak yang cukup besar. Sehingga banyak sekali berapa oknum masyarakat Aceh yang selalu menyepelekan ketepatan waktu. Dan mereka juga menyadari akan kejadian/kebiasaan buruk yang selalu dilakukan setiap saat, hingga masyarakat mempunyai istilah khusus, yaitu “Jam Aceh”. “Jam Aceh” dalam arti yang tidak sebenarnya merujuk pada kebiasaan atau budaya di Aceh di mana waktu sering kali dianggap lebih fleksibel, terutama dalam hal ketepatan waktu. Istilah ini digunakan secara humoris atau sindiran untuk menggambarkan kebiasaan terlambat atau tidak tepat waktu dalam berbagai kegiatan, baik itu acara sosial, pertemuan, atau kegiatan lainnya. Kebiasaan ini mungkin berakar dari budaya setempat yang lebih menekankan pada fleksibilitas dan hubungan antar individu, di mana ketepatan waktu mungkin tidak selalu dianggap sebagai prioritas utama, terutama dalam acara-acara sosial yang lebih santai. Meskipun demikian, tidak semua orang di Aceh mengikuti kebiasaan ini, dan beberapa orang di sana juga sangat menghargai ketepatan waktu, terutama dalam konteks profesional. Jadi, “Jam Aceh” lebih kepada fenomena sosial yang berkaitan dengan kebiasaan terlambat yang sering terjadi, meski tidak selalu berlaku untuk semua orang.
Salah satu dampak yang dirasakan karena tradisi maupun kebiasan tersebut, ada beberapa mahasiswa di luar dari Aceh merasa kesal dan tidak sesuai dengan ketepatan waktu yang telah disesuaikan sebelumnya. Hal itu dirasakan bagi beberapa orang, salah satunya pada beberapa kasus emngerjakan tugas kelompok, antara mahasiswa Medan dan mahasiswa Aceh. Salah satu mahasiswa Aceh dan Medan merencanakan membuat tugas kelompok, serta membuat pertemuan pada jam berapa mereka bertemu, sehingga mereka telah sepakat untuk berjumpa di salah satu tempat pada pukul 10.00 pagi. Pada saat mahasiswa menanyakan di mana mahasiswa Aceh sudah berada di mana, karena mahasiswa Medan telah sampai di tempat tujuan pada pukul 09.55 ketika di jawab mahasiswa Aceh membilangkan bahwasanya ia sebentar lagi akan tiba. Tanpa terasa selama 1 jam mahasiswa Medan menunggu cukup lama dan mahasiswa Aceh hanya menjawab sebentar lagi, sehingga tepat pada pukul 11.55 barulah tiba mahasiswa Aceh tersebut, dan dengan santainya membilangkan ke mahasiswa Medan “Gak lama kali kan” mendengar pernyataan tersebut tentunya mahasiswa Medan merasa cukup kesal dan membuang masanya selama 2 jam hanya menunggu temannya karena ketidak tepatan waktu.
Pandangan Masyarakat Luar Mengenai Intonasi Berbicaranya Orang Medan
Selama kejadian itu mahasiswa Medan itu menyimpulkan bahawa dalam setiap membuat kesepakatan maupun janji kepada mahasiswa Aceh mahasiswa tersebut membuat siasat berupa perencanaan waktu yang lebih awal, agar keselisihan dalam hal ini tidak terjadi lagi. Selang beberapa lama mahasiswa Medan tersebut menyesuaikan kebiasaan tersebut dan mulai membiasakannya, maka salah satu temannya berkata mengapa dirimya ketika berbicra terlihat nampak kasar dan bernada tinggi. Mendengar hal tersebut tentunya dirinya merasa terkejut dan berfikir apakah dirinya seperti itu,
Istilah dalam bertindak tutur tentunya menjadi ciri khas maupun keberagaman tersendiri bagi setiap suku, salah satunya adalah masyarakat yang berasal dari Medan. Umumnya sebagian masyarakat dari luaran Medan atau omasyarakat yang tidak mengetahui ciri khas dialeg pengucapan orang Medan, tentunya akan menganggap hal tersebut sangat tidak etis dan tidak pantas, namun pada kenyataanya hampir seluruh masyarakat medang memang menggunakan dialeg maupun intonasi yang terdengar keras dan meninggi, walaupun dalam konteks sebenarnya mereka tidak kasar. Sehingga dalam hal ini dapat di unggkapkan alasan maupun sebab mengapa masyarakat Medan memiliki intonesi atau dialeg pengucapan yang berbeda dengan masyarakat lain serta beberapa asumsi pandangan masyarakat dari luar kota Medan :
Banyak masyarakat di luar kota Medan menganggap bahwasanya orang Medan terkesan ketika mereka hendak mengucapkan suatu percakapan kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya suatu perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya
Cara berbicara orang Medan pada umumnya terkesan intonasi nada yang tinggi, tegas, dan kasar, serta berbicara secara langsung. Hal ini bisa disebabkan karena kebiasaan yang dilakukan masyarakat sudah menjadi hal biasa dan bukan hal tabu lagi.Dalam lingkungan yang serba dinamis ini, komunikasi yang lebih terbuka dan ekspresif bisa menjadi kebiasaan. Ketegasan dan langsungnya gaya bicara ini mungkin dianggap kasar oleh orang dari daerah yang lebih homogen atau lebih memperhatikan formalitas dalam percakapan.
Karakteristik Sosial dan Lingkungan tentunya setiap masyarakat yang tinggal di berbagai kota memiliki ciri khasnya sendiri, salah satunya di daerah Sunda. Tentunya masyarakat yang bukan orang asli Sunda memiliki sebuah anggapan bahwasanya orang Sunda sendiri terkenal akan kelembutan dan ramahnya ketika berbicara atau berbincang dengan orang lain. Namun jika orang Sunda itu pergi ke kota Medan orang tersebut merasa terkejut dan tidak menyangka cara orang Medan ketika berbicara, hal ini di sebabkan karena orang Medan sendiri memiliki kehidupan yang serba sibuk dan serba cepat sehingga orang Medan lebih cenderung fokus dan langsung pada tujuannya tanpa berbelit-belit, sehingga karena hal tersebut terkadang mengarahkan ke hal yang tidak sopan.
Stereotip atau pandangan masyarakat lain tentunya memiliki anggapan ataupun prasangka yang menyebutkan bahwasanya orang Medan sendiri memiliki karakteristik yang kasar ketika berbicara. Hal ini bisa disebabkan karena ada beberapa kejadian diamana ketika ada masyarakat yang diluar dari kota Medan sedang berlibur ke kota Medan, mereka memiliki pengalaman yang berbeda dan langsung beranggapan bahwasanya intonasi orang Medan ketika berbicara terkesan meninggi, cepat, dan kasar.
Dialek dan Intonasi, pada umumnya pengucapan orang Medan memiliki dialeg yang cukup khas, terkadang jika didengarkan bisa cukup keras serta cepat, selain itu juga ada anggapan orang Medan sendiri ketika berbicara terkesan kasar dan meninggikan intonasi mereka. Namun bagi orang Medan sendiri itu adalah sebuah ciri khas dari masyarakat Medan itu sendiri, bagi yang belum terbiasa mendengarnya akan menganggap hal tersebut sebagai tidak sopan dan kurang ramah.
Sehingga kesimpulan dari perbedaan kedua budaya tersebut, antara budaya Aceh dan budaya Medan adalah setiap budaya memiliki suatu kebiasaan maupun ciri khas yang berbeda, sehingga dari hal itu menjadi suatu kebiasaan yang terus dilakukan dari turun temurun dan menjadi kebiasaan sampai saat ini maupun sekarang. Hal itu juga didukung oleh dengan adanya budaya di Banda Aceh dengan isilah “Jam Aceh”, istilah penggunaan kebiasaan tersebut dikarenakan masyarakat Aceh sendiri terlalu santai dan tidak pernah menganggap waktu adalah hal yang penting, sehingga tidak heran banyak masyarakat dari luar Aceh menganggap ini sebagai suatu kebiasaan buruk dan tidak pantas untuk ditiru maupun dijadikan sebagai kebiasaan. Sedamgkan budaya Medan sendiri terkenal akan bebagai keberagaman yang berakaneka ragam, sehingga tidak heran kota Medan banyak dikenal oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Namun dibalik itu semua ada pandangan maupun Steoretip dari masyarakat luar, bahwasanya masyarakant Medan itu ketika bertutur terkenal kasar, meninggikan nadanya, dan terkesan tidak etis, tapi pada kenyataannya penggunaan dialeg masyarakat Medan pada dasarnya memang seperti itu, dikarenkan masyarakat Medan sendiri terkenal akan toleransi dan menghormati budaya lain, terlebih lagi masyarakt Medan terkenal dengan banyaknya masyarat Batak yang menetap di daerah tersebut. Sehingga dari penuturan masyarakat Batak yang selalu berbicara kepada suku lain dengan intonasi nada yang tinggi menyebabkan ada suatu kebiasaan yang diikuti oleh suku lain yang tinggal di Medan cara bebricara orang Batak yang terknal dengan intonasi tinggi, dan karena itu pula kebiasaan tersebut belangsung hingga saat ini.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Tradisi Kultural Aceh dan Stereotip Kultural Lisan Masyarakat Medan Bagi Orang Luar”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/ibnuhabil/67ac2b2e34777c2b27316512/tradisi-kultural-aceh-dan-stereotip-kultural-lisan-masyarakat-medan-bagi-orang-luar?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile
Kreator: Ibnu Habil
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Tradisi Kultural Aceh dan Stereotip Kultural Lisan Masyarakat Medan Bagi Orang Luar”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/ibnuhabil/67ac2b2e34777c2b27316512/tradisi-kultural-aceh-dan-stereotip-kultural-lisan-masyarakat-medan-bagi-orang-luar?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile