Cerpen : Novita Sari
Pagi ini aku bangun tidak seperti biasanya. Mataku terbuka tanpa mendengar suara alarm. kulihat handphone mungil masih tergeletak di samping bantal. Tidak masalah, soalnya aku masih bisa bangun tepat waktu. Cepat-cepat kulipatkan selimut dan segera mengenakan seragam putih abu-abu. Setelah itu aku beranjak ke rak sepatu dan segera memakai sepatu hitam bertali lengkap dengan kaos kaki putih.
Setelah persiapan selesai, aku pun keluar dari kamar. Kuturuni anak tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah.
“Aneh !!!”Pikirku, “Sejak kapan suasana di rumahku jadi sunyi seperti ini?
“ibu…….” Suaraku memecah kesunyian. Tak ada jawaban sama sekali “mungkin ibu sedang pergi ke pasar”.,gumamku. Lalu aku pun mencoba untuk memanggil ayah.
“Ayah…..” tak ada jawaban yang ku dengar
“Apakah semuanya sedang tidak ada di rumah ?”gumamku lagi.
Aku sangat heran rumahku sangat sepi, sama sekali tidak ada orang. Ingin bertanya, tetapi tak ada seorang pun yang bisa kucerca dengan berbagai pertanyaan. Segera kuambil tasku dan berangkat ke sekolah tanpa berpamitan dengan ayah dan ibu.
Sampai sekolah, dalam hati masih bertanya “Kenapa orang tuaku tidak ada di rumah” Akhirnya guru pun masuk ke dalam kelas dan memulai pelajaran, Aku masih saja teringat dengan kedua orang tua hingga aku tidak fokus belajar.
Setiap guru yang masuk dan teman-teman heran dengan sikapku yang tiba-tiba menjadi pendiam, karena di kelasa aku dikenal sangat periang. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah, hatiku gelisah memikirkan ayah dan ibu.
Dari jam pertama sampai jam terakhir hatiku masih saja gelisah. Beberapa menit kemudian bel sekolah pun berbunyi.
Teng……teng……teng
Aku pun langsung bergegas ke pintu gerbang sekolah untuk melihat becak yang lewat. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya aku pun mendapat becak untuk pulang, aku sungguh tidak sabar lagi untuk cepat sampai ke rumah.
Setiba di rumah aku pun langsung membuka pintu sambil mengucap salam. Tak ada jawaban. Namun aku tetap berharap semoga tidak terjadi apa-apa. Aku pun langsung pergi ke dapur, tapi tidak ada siapapun. Aku pun segera memanggil ibu dengan nada yang keras.
“Ibu…..” ujarku. Tetap saja tidak ada sahutan. Aku pun mulai berpikir untuk masuk ke dalam kamar ibu. Kamar mereka sangat berantakan, seperti ada terjadi pertengkaran. Aku pun langsung teriak begitu keras.
“Ayah, Ibu. Dimana kalian?” sambil meneteskan air mata. Aku berusaha untuk tegar dan terus memanggil kedua orang tuaku. Tetap saja tidak ada sahutan. Lalu aku pun pergi ke teras rumah sambil menangis keras, sehingga tetangga pun datang ke rumah. Muka mereka sangat sedih, tapi mereka tidak mengungkapkan apa pun. Mereka hanya memelukku sambil menangis, seperti ada yang disembunyikan dariku. Setelah suasana haru reda, mereka pun bercerita.
“ Nak ayah dan ibumu telah berpisah. Ibu telah pergi dari rumah dan tidak mengatakan dia pergi kemana”
“Lalu ayah ku dimana?”ujarku sambil menangis.
“Kami juga tak tahu ke mana ayahmu pergi Nak” ujar ibu itu sambil memeluk erat tubuhku yang semakin lemas tak berdaya. Aku langsung berteriak, menjerit, dan menangis.
“Kenapa aku tidak tahu? Kenapa ini terjadi? padahal selama ini orang tuaku sangat harmonis dan tidak pernah bertengkar. Aku tidak mau orang tuaku berpisah” ujarku sambil menangis terisak-isak.
Keesokan harinya aku pun tidak mau berangkat ke sekolah lagi. Aku sudah menjadi anak yang nakal, seolah mati rasa, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Hanya mencetak diri sebagai gadis muda yang pemurung dan penuh beban. Semuanya aku tutupi dengan senyum palsu. Hidupku berantakan.
“Aku begini karena orang tuaku” aku berteriak histeris. Sepatah kalimat itu seharusnya tak pantas keluar dari mulutku.
“Karena orangtuaku Aku tidak memiliki gairah untuk hidup lagi. Karena orang tuaku Aku tidak berpendidikan. Karena orang tuaku Aku tidak memiliki masa depan”
Aku terisak di kamar sendirian. Sepi.
Novita Sari, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Bina Bangsa Getsempena