Dimuat di Serambi Indonesia edisi Selasa, 26 Maret 2024
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh, serta novelis, melaporkan dari Idi Cut, Aceh Timur.
Nama BTM pernah santer terdengar pada tahun 1979, yakni ketika seorang laki-laki terperangkap di tahanan rumah. Berawal dari Balai Tahanan Militer, BTM akhirnya beralih fungsi menjadi balai pengajian. Kepanjangannya pun diubah menjadi Balee Teumpat Meununtot atau dalam bahasa Indonesianya balai tempat menuntut (ilmu). BTM terus berkembang menjadi berbagai lembaga hingga memiliki peran besar dalam menjadikan Aceh sebagai daerah berlandaskan syariat Islam.
Pendirinya ialah seorang ulama muda, tampan, gagah, berani, dan tegas memperjuangkan syariat Islam dengan nama kondang Teungku Ahmad Dewi. Lebih lengkapnya Teungku Haji Fakir Hakir Ahmad Dewi. Sebenarnya nama lahirnya Ahmadullah, tetapi akibat mewarisi hampir keseluruhan wajah ibunda, ia lebih suka menyandang nama Ahmad Dewi, nama ibunya.
Teungku Ahmad Dewi lahir pada 19 Januari 1951 dari pasangan Teungku Muhammad Husen dan Dewi di Dusun Bantayan, Gampong Keude, yang merupakan salah satu gampong di Idi Cut, Aceh Timur. Darah ulama mengalir kuat di tubuhnya, hingga begitu serius mendalami ilmu agama sejak usia belia. Terbukti dari pendidikan formalnya hanya sebatas madrasah ibtidaiah di kampung halaman.
Setelah itu berpindah-pindah dari dayah satu ke dayah lainnya. Mulai dari dayah Madrasah Tarbiyah Islamiah di Matang Geutoe Idi Cut, pesantren di Matangkuli, sampai ke dayah Darussa’dah di Idi Cut. Meskipun lahir di keluarga alim ulama, kehidupan Teungku Ahmad Dewi tidaklah mulus. Ia harus belajar sambil bekerja menjadi pedagang obat kaki lima guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sama seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab saat datang ke Indonesia, Teungku Ahmad Dewi berdagang sembari berdakwah. Berkeliling ke berbagai tempat tanpa melepas identitasnya sebagai seorang ‘aneuk beut’ atau santri. Ia merasa menyiarkan agama Islam adalah keharusan. Dengan begitu Aceh bisa lekas menjadi daerah yang bernapaskan Islam secara kaffah atau utuh.
Hal itu dilakukan dengan berbekal kecerdasan dan kepiawaian berbicara yang ia warisi dari kakeknya, Teungku Hasbullah Meunasah Kumbang, yang turut memerangi penjajah Belanda bersama mujahidin lain semasa hidupnya. Kakek Teungku Ahmad Dewi menguasai banyak ilmu. Baik itu ilmu tafsir, bayan, fikih, siyasah, mantiq, dan menguasai bahasa Prancis serta bahasa Inggris. Sebagai orator ulung yang tajam pikirannya, Teungku Hasbullah disegani oleh kawan dan lawan.
Bakat itu turun pada Teungku Ahmad Dewi. Selain memiliki tubuh atletis dan berparas rupawan, kecerdasannya juga tidak diragukan. Ekonomi lemah tak membuatnya tersisihkan. Bahkan Tgk. H. Abdul Aziz yang dikenal sebagai Abon Samalanga langsung terpikat saat berkunjung ke Matangkuli. Terlebih lagi setelah tahu pemuda yang menarik perhatiannya adalah cucu Abu Meunasah Kumbang, Abon Samalanga langsung menginginkan Teungku Ahmad Dewi menjadi santri di dayah Mudi Masjid Raya Samalanga, dayahnya.
Di bawah bimbingan Abon Samalanga, bakat Teungku Ahmad Dewi terasah tajam. Ia juga dipercaya mengisi pengajian dan ceramah di sekitar dayah Samalanga. Akhirnya tujuan hidupnya pun ditemukan. Hati telah mantap memilih jalan hidup sebagai pendakwah dengan memanfaatkan kemampuan berorasi.
Tak sulit mendapatkan popularitas. Kemampuan ada di tangan, penampilan turut memberi dukungan. Wajah tampan memikat siapa saja yang memandang. Pengakuan sebagai da’i muda dikantongi Teungku Ahmad Dewi dalam waktu singkat, sehingga daerah jangkauan dakwahnya semakin meluas. Undangan mengalir dari berbagai tempat. Ia menjadi penceramah yang selalu dinanti masyarakat.
Namun, popularitas tak selalu membuat jalan hidup seseorang menjadi mulus. Tahun 1977 adalah masa paling genting. Perjuangan gerilya tengah gencar dilakukan. Saat itu, Teungku Hasan Tiro meminta pertemuan khusus dengan Teungku Ahmad Dewi. Buntutnya, ia ditangkap pada masa penggerebekan Dayah Samalanga karena dituduh berkomplot dengan pemberontak.
Tempat tahanannya berpindah-pindah agar tidak diketahui masyarakat. Sosok yang telah mendongkrak popularitas itu membuat aparat kerepotan. Banyak sekali rakyat Aceh mendesak ingin berkunjung, sehingga pada akhirnya keberadaan Teungku Ahmad Dewi disembunyikan. Angin pun tak bisa mengendus jejaknya. Banyak orang menyangka, ia telah meninggal dunia meskipun tak sedikit percaya dai kesayangan mereka masih hidup.
Lama setelahnya, barulah terdengar kabar bahwa Teungku Ahmad Dewi ditahan di Desa Lueng Ie. Pihak keluarga segera mendatangi tempat tersebut untuk memohon agar dipindahkan ke Idi Cut saja. Berkat negosiasi yang baik, permohonan dikabulkan meskipun harus melaporkan diri seminggu sekali di lembaga keamanan setempat.
Rumah tahanan yang didirikan sendiri oleh Teungku Ahmad Dewi kembali membuka kesempatan bagi para santri yang ingin belajar ilmu agama. Awalnya hanya satu dua, lalu bertambah seiring berjalannya waktu. Uniknya, gubuk yang diberi nama BTM atau Balai Tahanan Militer diplesetkan menjadi Balai Tempat Menuntut.
Nama BTM pun dibawa-bawa dalam berbagai kesempatan. Pernah sekali waktu ia berhadapan dengan orang-orang dari sebuah partai politik, BTM pun dicetuskan menjadi Beringin Tetap Menang. Tak lama kemudian, muncul lagi kelompok militan penumpas maksiat yang diberi nama Barisan Teuntra Mirah. Tugasnya menyapu bersih tempat-tempat wisata yang berubah fungsi menjadi ajang maksiat di Idi Cut.
Barisan Teuntra Mirah muncul setelah membeludaknya santri Teungku Ahmad Dewi. Pada umumnya, mereka adalah anak muda bersemangat juang dengan energi yang meluap-luap. Tinggal dibekali dengan ilmu bela diri dan senjata, mereka siap terjun ke lapangan membawa misi penting dari gurunya. Tempat bermaksiat pun semakin berkurang, tapi tak jarang harus berhadapan dengan aparat. Beruntungnya kemampuan berbicara Teungku Ahmad Dewi mampu menyelesaikan masalah melalui musyawarah,
Dakwah Teungku Ahmad Dewi kemudian fokus menyasar pada narapidana sehingga menarik perhatian media nasional. Tentu saja itu memberi pengaruh positif pada popularitas dirinya. Santri pun semakin bertambah, hingga setelah dibebaskan Teungku Ahmad Dewi kembali memimpin dayah BTM yang sempat sepi di awal tahun 1983. Ia kembali mengupayakan penegakan syariat Islam melalui dakwahnya.
Pada bulan Maret 1991, Teungku Ahmad Dewi berangkat ke Desa Alue Ie Mirah untuk menjenguk abangnya yang ditahan di sana. Namun, sejak saat itu, ia tak pernah kembali. Entah masih hidup atau sudah tiada, tak ada yang tahu. Makamnya tak ditemukan, jejaknya benar-benar hilang. Saat pemerintah mengumumkan pemberlakuan syariat Islam, Teungku Ahmad Dewi selaku pelopor tak ikut menyaksikannya.
Ada banyak sekali ulama yang memberi pengaruh pada perubahan Aceh ke arah positif. Namun, nasibnya memprihatikan, banyak berujung pada kematian. Kawula muda harus mengetahui itu, sepahit apa pun sejarahnya. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh harus memberikan perhatian khusus dengan membangkitkan semangat menelusuri sejarah pejuang Aceh, terutama barisan ulama, agar perjuangan mereka tak hilang dimakan sunyinya zaman.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Teungku Ahmad Dewi, Pejuang Syariat yang Hilang Tanpa Jejak”, https://aceh.tribunnews.com/2024/03/26/teungku-ahmad-dewi-pejuang-syariat-yang-hilang-tanpa-jejak.