Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 15 Februari 2024
M. DIO KHAIRUL HISAN, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Bakongan, Aceh Selatan
Kisah patriotisme rakyat Aceh dalam melawan penjajahan sejak dulu memang tidak diragukan lagi. Keberanian, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki rakyat Aceh mulai dari ilmu bela diri hingga kebatinan menimbulkan decak kagum lawan. Semangat juang yang berkobar untuk membela agama Allah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan mereka tidak pernah takut menyandang gelar syuhada.
Alkisah, pada tahun 1925 peperangan dahsyat terjadi di wilayah Aceh Selatan, tepatnya di wilayah Bakongan. Salah satu pejuang terbaik Aceh muncul di Bakongan, yakni Teuku Raja Angkasah, disingkat TR Angkasah.
Atas keperkasaan serta kepiawaiannya dalam bermain pedang, Belanda memberinya gelar Harimau Sumatra.
Teuku Raja Angkasah adalah seorang tokoh pertempuran di wilayah Bakongan. Secara pasti, tidak ada yang tahu kapan dan di mana TR Angkasah dilahirkan. Dalam buku dan dokumen keluarga tidak disebutkan dengan jelas perihal kelahiran beliau. Meskipun demikian, di dalam dokumen keluarga disebutkan bahwa TR Angkasah wafat pada tanggal 25 Oktober 1928 dalam usia yang sangat muda, yaitu 28 tahun. Maka, dapat kita simpulkan bahwa TR Angkasah lahir pada tahun 1900 M.
Mengingat perlawanan TR Angkasah yang menewaskan banyak pasukan kolonial, dikirimlah pasukan marsose, yakni pasukan khusus Belanda dengan kemampuan yang andal dan terlatih. Pada saat yang sama dibangun pula markas marsose di Bakongan. Saat itu di seluruh daerah Aceh hanya ada enam markas marsose, yaitu di Indrapuri, Aceh Besar; Jeuram, Aceh Barat; Tangse, Pidie; Peureulak, Aceh Timur; Takengon, Dataran Tinggi Gayo, dan terakhir ada di Bakongan, Aceh Selatan.
Belanda mulai kehabisan akal untuk melumpuhkan pasukan TR Angkasah. Oleh karena itu, komando pusat Belanda yang ada di Batavia (Jakarta) mengirimkan Kapten Paris ke Bakongan. Kapten Paris terkenal dengan julukan Singa Afrika. Sebelumnya ia memimpin pasukan Belanda di Afrika Selatan dan terkenal dengan ketangguhannya dalam memainkan pedang, bayonet, dan belati.
Kapten Paris diutus disertai prajurit terpilih marsose yang telah ditempa secara khusus untuk misi di Bakongan melawan TR Angkasah.
TR Angkasah pun juga telah mendengar berita tentang sosok Kapten Paris, seseorang dengan perawakan tinggi tegap dan sorot matanya tajam. Usia mereka pun sama. TR Angkasah memiliki kesan tersendiri pada Kapten Paris dan ia bergumam bahwa Kapten Paris adalah lawan yang seimbang.
Setelah mengetahui Kapten Paris tiba di Bakongan, TR Angkasah langsung mengirimkan surat tantangan kepada Kapten Paris untuk bertarung satu lawan satu (duel). Kapten Paris segera menyusun strategi dan berangkat menuju tempat yang telah disepakati, yaitu Tunong Bakongan.
TR Angkasah bersama panglima serta pasukannya telah menunggu di tempat. Tak lama, pihak musuh pun tiba, dan Kapten Paris terkejut karena TR Angkasah telah dengan sportif menunggu kedatangannya.
TR Angkasah kemudian memberikan ucapan selamat datang kepada komandan baru marsose, yaitu Kapten Paris. TR Angkasah pun menawarkan cara bertarung bagaimana yang diinginkan oleh Kapten Paris. Akhirnya mereka sepakat untuk berduel menggunakan pedang.
Pertarungan pun dimulai seketika mereka berdua siap. Mereka saling jual beli serangan disertai gerakan melompat. Piawai dalam memainkan pedang bergantian tangan kanan dan kiri, kelincahan tangan sang Kapten pun diimbangi oleh tendangan gencar TR Angkasah. Suara pedang berdenting keras, satu sabetan masuk ke tubuh Kapten Paris disertai tendangan yang membuat Kapten Paris terdorong ke belakang.
Kapten Paris kembali terkejut karena ia belum pernah bertarung dengan cara seperti ini. Belum hilang rasa terkejutnya, kembali sabetan pedang menghantam paha Kapten Paris dan ia mulai terhuyung. TR Angkasah memberi kesempatan sejenak untuk Kapten Paris menguasai dirinya. Kapten Paris memberikan perlawanan dan membuat TR Angkasah tertusuk di bagian bahu. Namun, pada saat bersamaan, pedang TR Angkasah menyabet ke arah badan Kapten Paris. Kapten Paris mulai terhuyung hebat, sedangkan TR Angkasah menguasai dirinya dan pertarungan terus berlanjut dengan darah mulai mengucur.
Pengikut TR Angkasah mengiringi peperangan tersebut dengan suara takbir, sedangkan pihak Belanda berteriak menyemangati Kapten Paris. Tubuh Kapten Paris lebih banyak menerima sabetan dan darah mengucur semakin deras. Kemudian sebuah sabetan TR Angkasah mengenai tubuh Kapten Paris lagi dengan disertai tendangan yang kuat membuat tubuh Singa Afrika itu tersungkur dan terkapar di tanah.
TR Angkasah segera menerjang dengan cepat dan menyodorkan ujung pedangnya ke leher Kapten Paris yang telah tergeletak lemah di atas tanah.
TR Angkasah menusukkan sedikit pedangnya di leher Kapten Paris dan kemudian berkata, “Hai Kapten Paris, Singa Afrika, bukankah hidupmu sudah di ujung maut? Engkau saat ini sudah tidak berdaya, Tuan sudah merasakan bagaimana keganasan Harimau Sumatra bukan? Tuan telah mengenal siapa TR Angkasah. Aku tidak akan menghabisi nyawamu ini dan bukan kebiasaanku membunuh orang dalam keadaan tidak berdaya. Lagi pula ini adalah pertemuan pertama kita sebagai ucapan selamat datang kepadamu di tanah Bakongan, Aceh. Engkau kuberi kesempatan untuk memulihkan diri dan pada saat dirimu telah sembuh aku mengundangmu kembali untuk bertarung satu lawan satu, dan sekarang engkau silakan pulang ke markas kembali.”
Akhirnya Kapten Paris pulang dengan keadaan bersimbah darah. Pasukan TR Angkasah sangat menyayangkan mengapa tidak dihabisi saja komandan penjajah itu dalam keadaan lemah. Inilah sikap jiwa kesatria para pejuang Aceh dalam berjuang tidak mengutamakan sikap sombong serta takabur. Mereka berjuang mati-matian semata-mata Lillahi ta’ala dan berjihad fisabilillah di jalan Allah demi kemerdekaan dan menegakkan Islam di bumi Aceh tercinta.
Sejak saat itu pula, dari beberapa referensi yang saya baca, Kapten Paris mengagumi sikap kesatria TR Angkasah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Kapten Paris mulai menghormati patriotisme rakyat Aceh. TR Angkasah adalah pejuang sejati yang menjunjung tinggi sikap seorang ksatria dan patut dijuluki Harimau Sumatra yang terhormat.
Harapan dan saran saya kepada pemerintah dan masyarakat agar supaya lebih perhatian serta peduli terhadap sejarah leluhur kita. Karena, tanpa adanya mereka, kita tidak tahu akan seperti apa negeri kita dan bagaimana pula nasib kita sebagai bangsa hari ini.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Teuku Raja Angkasah Versus Singa Afrika”, https://aceh.tribunnews.com/2024/02/15/teuku-raja-angkasah-versus-singa-afrika?page=all.