Dimuat di Serambi Indonesia edisi Senin, 18 Desember 2023
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh, juga novelis, melaporkan dari Lamreung, Aceh Besar
“Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat di atas segala-galanya.” Itu merupakan pesan terakhir Pahlawan Nasional Indonesia kelahiran Banda Aceh, Teuku Nyak Arief. Sosok yang selalu memikirkan rakyat meskipun napas sudah di ujung tanduk. Bahkan, mantan gubernur pertama Aceh ini memiliki peran penting bagi kemajuan pendidikan di tanah kelahirannya.
Teuku Nyak Arief lahir tanggal 17 Juli 1899 di Ulee Lheue, Kutaraja, dari pasangan Teuku Nyak Banta dan Cut Nyak Rayeuk. Hidupnya berkecukupan. Ia tumbuh besar dan dikenal sebagai anak dari pejabat daerah. Posisi panglima sagi (sagoe) telah diturunkan dari kakeknya. Bila ditelusuri lebih jauh, nasab Teuku Nyak Arief sampai kepada Sri Maharaja Muhammad Syah, saudara sepupu Sultan Iskandar Muda dan suami dari Sri Ratu Nurul Alam Naqiyatuddin.
Saat Teuku Nyak Arief lahir, semua bergembira menyambut calon panglima sagi baru. Maka segala kenyamanan hidup pun diberikan. Status sebagai anak pejabat membuat Teuku Nyak Arief berkesempatan mengenyam bangku sekolah. Anak ketiga dari lima bersaudara itu menempuh pendidikan pertamanya di Gouvernement Inlandsche School di Kutaraja, sekolah khusus anak raja dan bangsawan.
Tamat dari sana, ia bersekolah di Kweekschool Bukittinggi, mengambil jurusan pamong praja (pemerintahan) mengingat tampuk kekuasaan panglima sagi akan diwariskan kepadanya. Teuku Nyak Arief benar-benar dipersiapkan secara matang. Tak jarang ia mengunjungi Haji Agus Salim, Haji Karim Amrullah (Hamka), dan Sulaiman Arsali selama berada di Bukittinggi untuk bertukar pikiran.
Begitu menyelesaikan pendidikannya, ia lanjut sekolah ke Banten, tepatnya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenare disingkat OSVIA.
Tak hanya itu, Teuku Nyak Arief juga menuntut ilmu agama dari guru mengaji di surau setempat. Hidup bernapaskan Islam di Bumoe Seuramoe Mekkah membuat orang tuanya mengerti bahwa mencari ilmu itu harus seimbang. Ilmu dunia akan digunakan untuk kepentingan bangsa, sedangkan ilmu akhirat akan mencegah seseorang dari perbuatan keji terhadap sesama manusia.
Selama menduduki bangku sekolah, Teuku Nyak Arief dikenal sebagai murid cerdas, ramah, menjadi teladan, dan tak mau tunduk pada Belanda. Ia merasa antara pribumi dan Belanda sama saja. Sama-sama manusia dan butuh makan minum. Sikap tegas itulah yang membuat Teuku Nyak Arief disegani.
Berbekal pendidikan yang telah didapat, ia kembali ke Aceh. Pekerjaan pertamanya ialah pegawai distribusi makanan. Hasil pertanian harus ditingkatkan. Dengan begitu, masyarakat tak terlalu bergantung pada daerah lain lagi dalam urusan pangan.
Tak hanya itu, saat diangkat menjadi panglima sagi, Teuku Nyak Arief membuka jalan agar seluruh rakyat Aceh bisa bersekolah. Prinsipnya, suatu daerah akan maju bila semua warganya berpendidikan.
Maka pada tahun 1937, Teuku Nyak Arief mendirikan Taman Siswa di Kutaraja, dibantu oleh Teuku Muhammad Hasan yang kemudian menjadi ketuanya. Namun, ternyata masih banyak anak-anak Aceh kesulitan mendapatkan pendidikan karena faktor ekonomi. Akhirnya, pemikir ulung itu mendirikan organisasi Dana Pelajar Aceh atau disebut juga dengan Atjehsche Studiefond.
Organisasi tersebut menyanggupi pemberian beasiswa pada anak-anak cerdas, tapi kurang mampu, dengan harapan pendidikan bisa merata ke seluruh Aceh.
Melihat tingkah Belanda sewenang-wenang kepada rakyat miskin, Teuku Nyak Arief terang-terangan menentang pemerintahan Belanda. Ia menunjukkan keberaniannya dalam mengkritik pemerintah Hindia Belanda di sidang-sidang Volksraad. Lidahnya begitu lihai menghadapi orang-orang Belanda yang reaksioner. Namanya sering muncul dalam laporan-laporan perdebatan di Volksraad di surat kabar. Ia disanjung sebagai putra Aceh yang berani, tegas, dan lurus.
Pada kesempatan lain, ketegasannya diperlihatkan melalui pidatonya yang meminta agar kepentingan orang Aceh, terutama kepentingan Islam, diperjuangkan dan dihormati. Bahkan sejak tahun 1932, Teuku Nyak Arief memimpin gerakan bawah tanah. Akibat dari pemberontakan tersebut, kediamannya dua kali diserang Belanda. Namun, semuanya dapat dipukul mundur.
Kejadian itu menandai mundurnya pasukan Belanda dari Aceh Besar. Pada tahun 1942, Jepang datang membawa harapan baru. Sayangnya sekolah yang didirikan oleh Teuku Nyak Arief dibubarkan. Masyarakat Aceh tidak sempat memikirkan kepentingan sendiri. Kondisi sosial-ekonomi memprihatinkan. Mereka sibuk memenuhi perintah Jepang. Penderitaan yang dialami dua kali lipat lebih parah daripada masa pendudukan Kolonial Belanda.
Akhirnya rapat diadakan, tapi tak banyak tokoh Jepang yang datang. Rapat itu digelar bersamaan dengan menyerahnya Jepang terhadap sekutu tahun 1942.
Setelah diangkat menjadi residen, ada banyak sekali isu-isu berdatangan. Teuku Nyak Arief akhirnya menyerahkan jabatan demi menghindari perlawanan terhadap bangsa sendiri. Perintah penahanan diterima secara lapang dada meskipun dalam kondisi sakit. Ia diasingkan ke Takengon dengan alasan hendak dirawat. Hal itu dilakukan mengingat pengaruhnya cukup besar di Aceh, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi tak terduga dari masyarakat.
Selama “ditawan”, banyak sekali tokoh besar yang datang menjenguk. Mereka turut prihatin atas kondisi putra Aceh yang selalu memikirkan nasib daerahnya sekalipun telah terbaring lemas di peraduan.
Pada tanggal 4 Mei 1946, Teuku Nyak Arief mengembuskan napas terakhir, ditemani anak dan istrinya di Takengon, Aceh Tengah. Pesan terakhirnya amat mengharukan. Ia melarang keluarganya menaruh dendam karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas kepentingan pribadi.
Teuku Nyak Arief mengabdikan seluruh hidupnya bagi Aceh. Ia telah membuktikan sebesar apa kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Tak pernah terlintas dalam benaknya, kapan namanya terukir harum dalam prasasti dan dikenang oleh masyarakat Aceh.
Impiannya hingga napas terakhir hanya satu, seluruh pelosok Aceh, dan rakyat menikmati kesejahteraan yang berkeadilan, adil, makmur, serta menjaga warisan nenek moyangnya.
Nama Teuku Nyak Arief kini diabadikan sebagai nama jalan protokol mulai dari Darussalam hingga ke Jembatan Lampriek Banda Aceh.
Sebuah sekolah berkurikulum Cambridge juga diabadikan dengan namanya, Teuku Nyak Arif Fatih Bilingual School di kawasan Lamnyong, Banda Aceh.
Makamnya terletak di Lamreung, tak jauh dari Lamnyong. Di dalam lokasi makam tersebut terdapat makam-makam keluarga. Termasuk makam ayahanda tercinta, Teuku Nyak Banta.
Lokasi pemakaman Teuku Nyak Arief ini akhirnya dipugar oleh pemerintah sebagai makam Pahlawan Nasional oleh Menteri Sosial, Haryati Soebadio, pada 17 September 1991.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Pendidikan di Aceh tak akan semaju sekarang tanpa peran dari Teuku Nyak Arief.
Agar generasi Aceh tidak melupakan jasa Teuku Nyak Arief, alangkah baiknya Pemerintah Aceh terus-menerus menyegarkan ingatan mereka. Mulai dari mengungkit kembali sejarah-sejarah lama hingga memelihara kondisi makam agar terus ada sampai kapan pun.
Selain itu, dengan menyediakan wadah bagi masyarakat yang ingin membagikan sejarah melalui berbagai media juga akan sangat membantu menambah pengetahuan, baik itu penulis, maupun pembaca.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Teuku Nyak Arief, Pahlawan dari Aceh dan Pesan Terakhirnya”, https://aceh.tribunnews.com/2023/12/18/teuku-nyak-arief-pahlawan-dari-aceh-dan-pesan-terakhirnya?page=all.