Teuku Markam, ‘Crazy Rich’ Aceh Masa Orde Lama yang Dikhianati Negara

17 Oktober 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 17 Oktober 2024

SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh, serta novelis, melaporkan dari Banda Aceh

Istilah ‘crazy rich’ sedang sangat populer diucapkan orang-orang. Kata itu berasal dari bahasa Inggris yang merujuk pada julukan terhadap orang superkaya.

Namun, meskipun baru populer sekarang, sebenarnya sudah banyak orang yang kaya sejak lahir dengan harta tak habis tujuh turunan. Bahkan, ia turut menyumbangkan harta pribadinya kepada negara sebagai bentuk rasa cintanya terhadap bangsa.

Mereka adalah orang-orang yang hidup sembari menyaksikan langsung perjuangan Indonesia untuk bangkit. Terutama setelah  Indonesia merdeka, pembangunan sedang gencar-gencarnya dilakukan. Salah satunya ialah Monumen Nasional (Monas) yang berada di ibu kota Negara Republik Indonesia, yakni Jakarta.

Menurut sumber  dari situs Kementerian dan Kebudayaan RI, Monas dibangun pada 17 Agustus 1961, enam belas tahun setelah Indonesia merdeka. Monas merupakan lambing kebangkitan, semangat Indonesia untuk maju dan berkembang. Maka, rancangannya dianggap sebagai sebuah ikon perubahan.

Kala itu, Presiden Soekarno masih menjabat Kepala Negara. Saat bangunan yang dirancang oleh arsitek Soedarsono, Ir. Rooseno, dan Frederich Silaban sudah hampir rampung, bagian puncaknya direncanakan untuk dilapisi emas.

Ada 38 kilogram emas yang digunakan dan 28 kilogram di antaranya merupakan hasil sumbangan seorang ‘crazy rich’ asal Aceh.

Meskipun masih menjadi perdebatan publik, fakta dari sejarah menunjukkan bukti tak terbantahkan. Dia adalah Teuku Markam, sosok yang lahir pada tahun 12 Maret 1925 di Alue Campli, Seunuddon, Aceh Utara, Aceh.

Ayahnya bernama Teuku Marhaban, seorang uleebalang (hulubalang). Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian diasuh oleh sang kakak, Cut Nyak Putroe.

Pendidikannya hanya sampai kelas empat di sekolah rakyat (sekarang SD). Setelah itu, di usia remaja, ia mengenyam pendidikan militer di Koetaradja (kini Banda Aeh), lalu lulus dengan pangkat letnan satu.

Tanpa membuang waktu, ia langsung terjun ke pertempuran bersama Jenderal Bejo, Kaharuddin Nasution, dan Bustanil Ariffin di Tembung, Sumatera Utara. Saking aktifnya di berbagai pertempuran, Teuku Markam diutus ke Bandung untuk menjadi ajudan Gatot Soebroto sampai atasannya itu meninggal.

Hidup sebagai anak yatim di usia belia membuat Teuku Markam merasa harus tumbuh menjadi sosok yang berhasil berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Maka, pada usia 20 tahun, ia memutuskan ikut angkat senjata melawan Belanda yang menjajah bangsa Indonesia selama ratusan tahun. Perannya terbilang sangat berisiko, yakni menjadi penyelundup senjata dari Singapura.

Rupanya, Teuku Markam memiliki kecakapan di dunia bisnis. Maka pada tahun 1957, ia keluar dari dunia militer untuk mendirikan bisnis. Namanya PT. Karkam, singkatan dari Kulit Aceh Raya Kapten Markam. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor karet dari Sumatera Selatan ke Singapura dan Malaysia yang menjadi satu-satunya pemegang hak eksklusif selama masa konfrontasi.

Kepiawaiannya di dunia bisnis membuat Teuku Markam juga memegang lisensi proyek besar negara yang bergerak di bidang otomotif, yakni Jeep dan semen dari Jepang. Tak hanya itu, ia juga menjadi pengimpor besi baja, plat beton, dan senjata.

Statusnya seketika dikenal sebagai pebisnis sukses yang mampu mendulang harta melalui tangannya. Setiap usaha yang digelutinya pasti berujung sukses. Hasil usahanya bahkan menjadi salah satu sumber APBN.

Teuku Markam, seorang putra Aceh, mampu mendongkrak dirinya naik ke level atas tanpa menjatuhkan siapa pun.

Pada tahun 1961, pembangunan Monas baru dirancang oleh Presiden pertama Republik Indonesia, yakni Soekarno. Hubungan Teuku Markam dengan Soekarno dan para dewan pemerintahan Orde Lama terbilang cukup dekat. Segala hal ia ketahui. Termasuk kebutuhan material untuk mendirikan Monas.

Indonesia sebagai negara yang baru terlepas dari cengkeraman penjajah, berusaha bangkit dengan berbenah diri. Sayang sekali, semangat tanpa dana menjadi penghalang sehingga Soekarno mencari bantuan berupa sumbangan dari rakyat Indonesia. Boleh berbentuk uang ataupun bahan material.

Selaku sosok yang mendapat harta titipan berlimpah, tanpa berpikir panjang Teuku Markam ikut menyumbang. Tidak tanggung-tanggung, ia menyanggupi memberikan emas sebesar 28 kilogram untuk diletakkan di lambang obor, tepatnya di puncak Monas.

Jika emas 28 kilogram diuangkan, berdasarkan beberapa sumber, maka jumlahnya mencapai 1 miliar rupiah saat itu. Padahal tahun 1961, uang lima ribu saja sudah sangat banyak, apalagi emas 28 kilogram. Namun, demi Indonesia, Teuku Markam tak mau perhitungan. Ia gelontorkan uangnya begitu saja demi membuktikan rasa cintanya.

Namun, saat pemerintahan Orde Lama runtuh lalu digantikan Orde Baru, hidup Teuku Markam berubah pahit. Ia dituduh terlibat G30S/PKI. Tuduhan lain berupa koruptor dan Soekarnoisme turut mengekori di belakang.

Teuku Markam bersusah payah mengumpulkan uang sendiri, tetapi dituduh memakan uang negara. Kekagumannya pada Soekarno juga dianggap sebagai sebuah pembelotan oleh rezim baru.

Sejak tahun 1966, Teuku Markam dipenjara tanpa menjalani proses hukum.  Dua tahun kemudian, ia dibebaskan tanpa kompensasi. Lalu seluruh aset disita dan kepemilikannya diubah atas nama Pemerintah Indonesia. Pelakunya ialah Soeharto yang menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera. Ia menyerahkan bisnis-bisnis itu ke tangan Suhardiman untuk dikelola.

Dengan kesadaran penuh, Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 31 Tahun 1974 yang isinya, antara lain, menegaskan bahwa status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus pinjaman. Nilainya sebesar Rp 411.314.924 sebagai modal negara di PT PP Berdikari.

Kejadian itu tak ubah layaknya sebuah pengkhianatan. Setelah apa yang Teuku Markam berikan untuk negara, hidupnya diremukkan begitu saja.

Teuku Markam tak berkecil hati. Ia berusaha bangkit kembali dengan mendirikan usaha baru bernama PT. Marjaya. Fokusnya ialah menggarap proyek besar dari Bank Dunia dengan memperhatikan dan menggarap pembangunan infrastruktur Aceh dan Jawa.

Akan tetapi, pemerintahan Orde Baru tak mau meresmikan proyek tersebut hingga Teuku Markam merasa kecewa.

Meski telah kehilangan segalanya, Teuku Markam mendapat penghargaan berupa Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1975 atas jasa sumbangannya terhadap pembangunan Monas, karena turut berjasa dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kesejahteraan rakyat.

Disusul tahun 1980, empat tahun sebelum meninggal dunia, Pemerintah Aceh juga memberikan penghargaan kepadanya berupa gelar adat Keuchik Leumiek.

Pria yang telah dikhianati negara itu meninggal pada tahun 1984 di RS Husada Jakarta karena komplikasi penyakit gula dan liver. Ia berpulang di usia 59 tahun, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sembari membawa serta rasa kecewanya.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul Teuku Markam, ‘Crazy Rich’ Aceh Masa Orde Lama yang Dikhianati Negara, https://aceh.tribunnews.com/2024/10/17/teuku-markam-crazy-rich-aceh-masa-orde-lama-yang-dikhianati-negara?page=all.

Bagikan
partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content