Seandainya Aku Seorang Aceh

26 Februari 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 23 Februari 2024

Melinda Rahmawati, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Mahasiswi Pendidikan IPS, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta

Tanoh Nanggroe Aceh memang bagaikan samudra sejarah yang tidak akan pernah habis untuk saya selami. Historiografi masa kerajaan dari waktu ke waktu sangat menarik bagi saya yang mencintai dan menggeluti dunia sejarah.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin menghadirkan sebuat reportase yang tidak hanya bersifat autokritik. Justru saya sangat berharap tulisan ini akan menjadi cermin bersama, siapkah kita sebagai manusia untuk bersikap jujur atas sejarah diri sendiri? Haruskan setiap lembar sejarah yang tertulis berasal dari para pemenang? Bisakah kita tidak menurunkan traumatik dari peristiwa sejarah kelam yang telah terjadi? Dan siapkah kita belajar kembali dari sejarah kelam tersebut? Sejarah memang bersifat ‘einmalig’ yang hanya terjadi satu kali. Namun, kejadian serupa dapat berpeluang terjadi dan hanya bisa ditemukan solusinya jika kita memiliki kesadaran sejarah yang sebenar-benarnya.

Judul reportase ini juga terinspirasi dari kritik Raden Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang berjudul “Als Ik eens Nederlander was?” atau sering disebut “Seandainya Aku Seorang Belanda?”. Tulisan tersebut dimuat pada harian De Express pada 13 Juli 1913, sebagai bentuk kritik pada pemerintah kolonial yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaan Negeri Belanda di tanah jajahannya, Hindia Timur. Bahkan, tanpa ragu mereka meminta pungutan pada masyarakat bumiputra untuk perayaan tersebut.

Namun, dalam tulisan saya kali ini, studi kasus yang akan diangkat mengenai sejarah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989-1998. Pada masa itu, daerah dengan luas 57.366 km2 ini benar-benar tergenang darah. Pergolakan yang hadir untuk menuntut pemerataan pembangunan, justru berubah menjadi daerah konflik yang menyisakan traumatik mendalam dan diturunkan antargenerasi. Sudah siapkah kita jujur dengan catatan sejarah tersebut dan bangkit melalui kesadaran sejarah dari catatan yang memilukan ini? Saya akan mencoba untuk menuliskan pandangan refleksi kesadaran sejarah dari masa itu.

Kita ketahui bersama dalam buku “Aceh Bersimbah Darah” yang ditulis oleh Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika tahun 1999 sudah merincikan tetesan darah saudara-saudara kita yang tertumpah pada masa itu. Bahkan, sekalipun saya membaca tulisan-tulisan sejenis di media asing, jauh lebih memilukan. Grup musik lokal Nyawong dalam lagu yang berjudul “Haro Hara” menjadi interpretasi pelbagai tekanan mental yang harus dijalani oleh masyarakat Aceh pada masa sulit tersebut.

Sekalipun kini bumi Aceh terus bergerak bangkit dari pelbagai sektor pembangunan, tekanan mental tersebut tetap tersimpan sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat Aceh seumur hidup mereka. Tidak mengherankan saat saya tinggal selama tiga bulan di Banda Aceh akhir tahun 2021 lalu, banyak pihak yang waswas jika saya berjalan sendirian tanpa ditemani oleh mahasiswa asli dan/atau rekan yang memang asli dari provinsi ini. Hal tersebut terjadi karena memori kolektif masa kelam itu masih ada hingga hari ini.

Namun, sangat disayangkan, sepanjang saya menempuh pendidikan di sekolah dasar dan menengah dulu, sejarah tentang DOM ini tidak banyak disebutkan dalam pembelajaran di kelas. Bahkan, dijelaskan oleh guru sejarah saya pun, seingat saya, hanya berupa deskripsi singkat yang benar-benar sesingkat-singkatnya. Kesadaran sejarah baru saya temukan ketika memasuki studi pendidikan tinggi pada program studi pendidikan sejarah. Dalam proses mempelajari kesadaran sejarah tersebut, di sanalah saya merasa malu pada diri sendiri.

Dari sekian banyak lokasi yang tergenang darah, setidaknya memori kolektif masyarakat tersebut merekam beberapa tempat yang benar-benar ikonik dengan memori tersebut, di antaranya: Krueng Arakundo di Aceh Timur; Simpang KKA di Aceh Utara; pembantaian Teungku Bantaqiah dan 54 santrinya di Beutong, Nagan Raya; hingga ragam penyiksaan yang dilakukan di Rumoh Geudong, Pidie, juga di Gedung KNPI Aceh Utara.

Kemirisan emosional dan empati memang menunggangi saya selama membaca tiap gulungan catatan sejarah berdarah tersebut. Termasuk membaca buku yang saya sebutkan di atas, itu pun tidak pernah selesai. Bukan karena isi buku itu begitu menakutkan, akan tetapi saya benar-benar melihat sebuah catatan sejarah yang selama ini berusaha untuk dikubur.

Hal yang tidak mustahil, ketika 20 tahun hingga 50 tahun ke depan generasi kita tidak lagi mengenal masa saat darah sesama saudara pernah tertumpah. Kemudian tanpa disadari mengulang tragedi tersebut dengan versi waktu yang memiliki kemiripan. Kesadaran sejarah tentang memori kolektif tersebut harus disampaikan dengan sejujur-jujurnya. Tanpa ada tunggangan kepentingan apa pun, serta tanpa maksud untuk melampiaskan dendam atas segala yang telah terampas.

Saat memori kolektif masa DOM tersebut disampaikan, harus dengan menekankan bahwa kita pernah melewati sebuah masa yang sangat pahit, panjang, pilu, dan penuh dengan air mata. Segala bentuk kepemilikan material dan nyawa telah terenggut secara mudah. Juga tidak meratanya rehabilitasi dan/atau penggantian yang seharusnya menjadi hak para penyintas dari konflik tersebut. Memori kolektif tersebut bukan untuk balas dendam, akan tetapi memberikan kita semua pembelajaran dari sebuah peristiwa sejarah yang diupayakan untuk dilupakan dan dikubur bersama darah yang tergenang.

Pertanyaan saya terhadap diri sendiri adalah “Siapkah untuk melakukan kesadaran sejarah dari sekian banyak memori kolektif yang penuh darah tersebut?” Sebagai lulusan pendidikan sejarah dan sedang menempuh studi lanjutan di Pendidikan IPS, memasuki ruang kesadaran sejarah bukanlah sebuah perkara mudah. Harus ada iktikad baik untuk jujur dengan bukti-bukti empiris, serta objektivitas dalam melihat alur terjadinya peristiwa tersebut.

Tanpa iktikad baik tersebut, rantai upaya penyimpangan dan penguburan sejarah tetap akan berjalan.

Melalui reportase ini, saya hanya sekadar menyampaikan bahwa kesadaran sejarah tentang peristiwa yang telah terjadi itu bukan untuk ditunggangi oleh apa pun dan/atau siapa pun. Pada diri sendiri saya berpikir, seandainya saya seorang yang berketurunan Aceh dan hidup di masa peristiwa tersebut, tentu iktikad baik untuk mewujudkan kesadaran sejarah akan terus digelorakan.

Sekalipun saya tidak hidup di masa peristiwa itu terjadi, tidak ada alasan apa pun untuk melenyapkan kesadaran sejarah tersebut. Seandainya saya seorang berdarah Aceh, saya hanya meminta hadirnya kesadaran sejarah yang sebenarnya dari memori kolektif berdarah tersebut. Agar di masa depan, memori kolektif tersebut tidak lagi terulang untuk alasan apa pun. Sejarahnya tetap bersifat ‘einmalig’. Kemudian memori kolektifnya menjadi kesadaran sejarah sekaligus prasasti untuk mengenang saudara-saudara kita yang telah berpulang secara tak wajar serta banyak sekali yang hilang tanpa pusara, sembari merefleksikan diri guna menjadi manusia yang bijaksana serta sadar akan jati dirinya. Juga tidak sekali-kali melupakan sejarah, sekelam apa pun ia.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Seandainya Aku Seorang Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2024/02/23/seandainya-aku-seorang-aceh.

Bagikan
Skip to content