Resolusi Konflik Budaya: Mediasi dan Diplomasi

19 Februari 2025 | BBG News

Siti Rafidhah Hanum, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh serta novelis

Resolusi konflik Budaya adalah upaya menyelesaikan perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan nilai norma dan praktik budaya antar individu atau kelompok. Dalam konteks ini, mediasi dan diplomasi adalah dua metode yang sering digunakan untuk mencapai resolusi yang damai.

Mediasi merupakan proses penyelesaian konflik dengan bantuan pihak ketiga yang netral yang disebut mediator. Dalam konteks budaya, mediator tidak hanya harus memahami masalah teknis dan konflik, tetapi juga perbedaan budaya yang mempengaruhi cara pihak-pihak yang bertikai untuk memahami konflik tersebut.

Keuntungannya ialah mampu memberi ruang bagi dialog yang lebih mendalam, menghargai perbedaan, memungkinkan penyelesaian yang disesuaikan dengan sensitivitas budaya kedua belah pihak, dan menghindari sikap konfrontatif sehingga mengurangi potensi eskalasi publik.

Diplomasi merupakan cara untuk mengelola hubungan antar negara atau kelompok yang berbeda melalui negosiasi dan komunikasi formal. Dalam konflik budaya diplomasi memainkan peran penting dalam membangun pemahaman dan kompromi antara kelompok yang berbeda.

Diplomat atau perwakilan dalam negosiasi seringkali harus memahami dinamika budaya untuk memastikan bahwa kesepakatan yang dicapai mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan kedua belah pihak. Diplomasi budaya mengacu pada penggunaan seni tradisi dan warisan budaya sebagai alat untuk membangun hubungan baik dan menyelesaikan konflik yang mencakup pertukaran budaya dialog antar budaya dan kolaborasi seni atau pendidikan.

Peran diplomasi ialah membangun rasa saling pengertian melalui negosiasi yang memperhatikan norma budaya menciptakan solusi yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat dan memfasilitasi hubungan lintas budaya yang lebih harmonis dengan mengurangi ketegangan melalui pemahaman dan empati.

Tentunya ada tantangan dalam revolusi buda konflik budaya melalui mediasi dan diplomasi. Pertama, mis-interpretasi budaya yaitu perbedaan nilai dan norma yang bisa menyebabkan salah pengertian yang memperburuk konflik. Kedua dominasi budaya yang muncul ketika salah satu pihak mungkin merasa nilai budaya mereka lebih tinggi atau dominan yang menghambat proses resolusi. Ketiga konflik seringkali terkait dengan identitas budaya yang mendalam sehingga resolusi harus dilakukan dengan hati-hati untuk tidak melukai perasaan identitas kelompok tersebut.

Contoh konflik budaya adalah konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik ini bermula dari perselisihan kecil antara pemuda yang berbeda agama pada tahun 1998. Kemudian meluas menjadi konflik komunitas sampai terjadi penyerangan terhadap rumah ibadah, pemukiman, fasilitas umum, pembantaian, hingga menyebabkan penduduk terpaksa mengungsi dari kampung halamannya.

Dampaknya begitu besar. Ribuan orang tewas, puluhan ribu orang harus mengungsi, kerusakan infrastruktur, serta menggoyahkan ekonomi dan menimbulkan trauma sosial. Pemerintah kemudian membuat langkah-langkah proses perdamaian agar bisa meredakan konflik tersebut.

Langkah awal yang dilakukan pemerintah selaku mediator ialah membentuk tim mediasi. Kemudian membuat dialog antar komunitas, menegakkan hukum bagi pelaku kekerasan, merekonstruksi serta merehabilitasi infrastruktur yang rusak termasuk memulihkan ekonomi, memberi pendidikan perdamaian di sekolah, melibatkan tokoh agama, dan adat, memonitoring perkembangan konflik, serta membentuk forum komunikasi.

Hasil dari mediasi tersebut menghasilkan deklarasi Malino 1 yang disepakati pada tanggal 20 Desember 2001. Secara garis besar deklarasi tersebut meminta untuk menghentikan semua bentuk perselisihan, menaati hukum, menindaklanjuti pelaku kekerasan, mengembalikan hak-hak masyarakat, memperbaiki sarana dan prasarana, serta bebas menjalankan syariat agama masing-masing.

Contoh konflik lain ialah konflik (kerusuhan) Geger Pecinan. konflik ini terjadi secara bertahap sejak zaman kolonial Belanda hingga mengakibatkan hingga berujung pada kerusuhan tahun 1998. Penyebabnya ada banyak mulai dari politik ekonomi dan diskriminasi.

Namun ada beberapa penyebab konflik utama. Kebijakan kolonial Belanda dulu membuat diskriminasi antara etnis Tionghoa dengan penduduk asli. mereka diberikan kesempatan untuk menguasai pasar sehingga menyebabkan kesenjangan ekonomi. Kemudian hal itu meluas karena adanya perbedaan agama dan budaya.

kebijakan diskriminatif masa lalu membuat Indonesia membatasi etnis Tionghoa untuk berekspresi di ruang lingkup budaya dan tidak membolehkan mereka berpartisipasi dalam dunia politik. Muncul juga stereotipe dan prasangka dari kedua belah pihak yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum untuk menyebar isu-isu etnis dan agama untuk kepentingan tertentu.

Akses pendidikan sangat timpang. Lalu ada segresi komunitas yaitu satu wilayah yang hanya didiami oleh satu etnis sehingga mengurangi interaksi antar komunitas. Bahkan timbul isu bahwa etnis Tionghoa dipersulit menjadi WNI di masa lalu. Ditambah lagi media dan narasi publik kurang netral karena terkesan condong pada satu pihak saja.

Pemerintah mengambil kebijakan selaku mediator untuk membentuk forum mediasi. Hasilnya yaitu pengakuan kesetaraan hak antara etnis Tionghoa dengan penduduk asli, membolehkan merayakan keberagaman budaya, membuat pendidikan menjadi multikultural, pemberdayaan ekonomi inklusif, representasi politik dengan melibatkan warga keturunan Tionghoa, membuat media dan kampanye politik, menangani diskriminasi, merevitalisasi kawasan Pecinan dan penguatan peran organisasi yang akan memonitoring konflik-konflik kecil yang berpotensi membesar sehingga bisa mencegah terjadinya hal yang sama seperti di masa lalu.

Maka bisa dilihat, bahwa mediasi dan juga diplomasi sangat penting untuk menyelesaikan sebuah perselisihan agar tidak menimbulkan potensi konflik yang lebih besar sehingga merugikan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah atau orang yang berperan sebagai mediator harus bersikap netral serta tidak memiliki sentimen pribadi terhadap suatu pihak. Sedangkan diplomat yang akan datang ke forum mediasi memiliki syarat yang dihormati oleh komunitas atau etnis atau suku sehingga keputusannya akan diterima oleh pihak yang diwakili.

Konflik budaya seperti ini bisa dicegah dengan menanamkan pelajaran literasi budaya sejak dini sehingga tidak akan ada stereotipe yang menganggap bahwa budayanya lebih baik dari orang lain atau bersikap konyol dengan menertawakan budaya orang lain. hal-hal semacam itu akan berpotensi menimbulkan konflik yang nantinya bisa membesar jika kedua belah pihak tidak bijak dalam menanggapi perselisihan.

 

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Resolusi Konflik Budaya : Mediasi dan Diplomasi”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/rafidhahhanum7901/67ac1c82ed64151977561322/resolusi-konflik-budaya-mediasi-dan-diplomasi?page=2&page_images=1

Kreator: Siti RafidhahHanum

 

Bagikan
partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content