Punggahan, Tradisi Menyambut Ramadhan di Langkat

5 April 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Rabu, 5 April 2023

RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Langkat, Sumatera Utara

Keragaman adat dan budaya di Indonesia merupakan ciri khas tersendiri bagi bangsa dan negara yang sejatinya terdiri atas berbagai macam suku, adat istiadat, dan budaya. Apalagi saat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Bulan penuh ampunan yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat muslim.

Ada banyak ragam tradisi, adat atau budaya yang bisa kita jumpai berkaitan dengan penyambutan bulan Ramadhan, termasuk di Sumatera Utara.

Di Sumatera Utara banyak sekali tradisi penyambutan Ramadhan yang bisa kita jumpai. Salah satunya tradisi Punggahan.

Punggahan sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu munggah yang artinya (naik). Punggahan merupakan tradisi yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat Sumatera Utara dalam menyambut datangnya Ramadhan.

Tradisi Punggahan dilakukan dengan maksud untuk mengingatkan kembali kepada umat muslim akan tibanya bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Tujuannya tidak lain agar kita sebagi umat muslim dapat menyambut bulan Ramadhan dengan iman yang lebih ditingkatkan lagi baik secara lahiriah maupun batiniah.

Selain itu, sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan dan sarana dalam mempererat tali persaudaraan dengan sesama.

Tradisi Punggahan biasanya dilakukan di rumah warga dengan mengundang tetangga, saudara, dan ustaz yang dipercayai untuk memimpin pembacaan doa, tahlil, dan pembacaan surah Yasin. Selain itu juga ada yang dilaksanakan di musala atau masjid.

Jika kegiatan di laksanakan di musala maka warga yang akan membawa makanan untuk disajikan di musala atau masjid. Warga diminta untuk membawa menu makanan wajib yaitu ketan, apem, gedang (pisang), dan pasung.

Jika Punggahan dilaksanakan di rumah maka tuan rumah wajib menyuguhkan menu utama makanan yang ada pada nasi kluban dan pada masyarakat Jawa dikenal dengan nasi urap. Menu utama yang ada pada nasi kluban yaitu rebusan sayur kangkung, daun singkong, tauge, kacang panjang, kol, yang diberi taburan campuran kelapa muda di atas sayuran, juga ditambah dengan kerupuk usek atau kerupuk merah putih.

Tradisi Punggahan tidak hanya ada di Sumatra Utara, di tempat tempat lain juga ada. Namun, tradisi Punggahan di setiap daerah berbeda-beda cara pelaksanaannya. Contohnya di Sumatra Utara sendiri pelaksanaan adat ini berbeda, seperti di Serdang Bedagai, masyarakat setempat melakukan kebiasaan ini di masjid dengan membawa makanan dari rumah masing-masing.

Lalu makanan dikumpul dan dilakukan ritual doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan.

Terakhir kegiatan ditutup dengan menukar makanan dan makan bersama. Pelaksanaan Punggahan di Labuhan batu Utara juga sama, diminta para masyarakat untuk membawa makanan dari rumah dan dikumpulkan di masjid.

Hal tersebut berbeda bagi masyarakat di Batubara. Masyarakat di sana menggelar tradisi Punggahan dengan memotong hewan ternak kerbau atau lembu, diadakan mulai 3-2 hari sebelum 1 Ramadhan. Kegiatan tersebut dilakukan di beberapa lokasi, lalu hasil dari pemotongan lembu atau kerbau diperjualbelikan di pasar. Seperti yang saya lihat Punggahan di Kabupaten Batubara hampir sama seperti tradisi meugang di Aceh.

Beginilah keunikan yang ingin saya ceritakan terkait tradisi menyambut bulan Ramadan yang ada di lingkungan saya tinggal. Yakni, kebudayaan di setiap wilayah berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang ada di Sumatera Utara sangatlah beragam.

Contohnya seperti di kota tempat saya tinggal, Kabupaten Langkat, tepatnya di desa Suka Mulia. Di sini tradisi Punggahan berbeda-beda di setiap kecamatan, bahkan antarlorong atau RT/RW juga berbeda. Di lingkungan tempat tinggal saya mayoritas penduduknya suku Jawa dan Melayu. Di sini tradisi Punggahan ada yang dilakukan di rumah dan di masjid, tetapi lebih sering dilakukan di masjid. Setiap tahunnya di desa saya selalu dilangsungkan budaya Punggahan. Dari rumah, warga membawa bungkusan berisi makanan, lalu dikumpulkan di suatu tempat, tanpa ditandai makanan milik siapa.

Lalu para warga berkumpul di dalam masjid untuk berdoa bersama. Setelah angenda pembacaan doa selesai, barulah menyantap hidangan yang telah dibawa dari rumah masih-masing, makanan dibagikan secara acak. Saat masih kecil saya sangat gemar dengan tradisi ini, saya mengatakannya dengan tukaran makanan.

Jika tradisi Punggahan dibuat di Rumah maka tuan rumahlah yang menyiapkan semua hidangan, serta mengundang tetangga saudara dan ustaz untuk memimpin pembacaan doa tahlil dan pembacaan surah Yasin. Setelah selesai pembacaan doa maka makanan dibagikan untuk dibawa pulang ke rumah, masyarakat Jawa mengenalnya dengan bontot, secara umumnya disebut bekal. Penyelenggaraan Punggahan di rumah merupakan salah satu sarana untuk mendoakan orang tua si tuan tumah yang sudah meninggal dunia. Hal tersebutlah yang membuat sedikit perbedaan untuk penyelenggaraan Punggahan di Rumah dan di Masjid.

Keluarga saya tahun kemarin baru saja membuat acara tradisi Punggahan ini di rumah, tetapi kami tidak melaksanakannya di hari 2-3 sebelum Ramadhan, melainkan di saat Ramadhan ke-27. Keluarga melakukan tradisi Punggahan di hari ke-27 Ramadhan karena kami masih berada di Banda Aceh, baru mudik sekitar Ramadhan ke-27.

Tradisi Punggahan dilakukan secara bersamaan dengan acara buka puasa bersama dan kirim doa kepada keluarga yang telah meninggal. Masih sama dengan Punggahan pada umumnya, acara dimulai dengan pembacaan doa, dan tahlil yang dipimpin oleh orang tua setempat serta pembacaan Yasin yang dipimpin oleh ustaz. Pembacaan doa digelar sebelum Iftar (buka puasa). Setelah pembacaan doa selesai, barulah suara beduk dari musala terdengar, langsung saja saya dan keluarga mengeluarkan hidangan (takjil) untuk berbuka puasa. Jika ada yang ingin makan makanan berat, maka makanan sudah disiapkan di dapur. Makanan dihidangkan secara prasmanan. Selain makan jalan para tamu dan ustaz juga dibawakan bontot untuk dibawa pulang, bontot tersebut berisikan nasi urap.

Tradisi seperti ini dapat dijadikan momentum bagi seluruh masyarakat untuk mempererat kesatuan dan persatuan antarsesama. Dengan adanya kebiasaan ini, membuat masyarakat berkumpul, saling menyapa, dan saling bersilaturahmi. Selain itu, tradisi ini juga mempererat kerukunan warga dalam bermasyarakat.

Semoga tradisi seperti ini masih terus melekat dalam diri kita, jadikan adat dan budaya daerah menjadi sebagian dari jiwa. Juga mengenalkan adat dan budaya daerah ke ranah internasional. Mempromosikan kebudayaan bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Apalagi dengan adanya bantuan teknologi digital seperti saat ini . Di era globalisasi seperti sekarang, budaya asing bisa saja masuk ke tengah-tengah masyarakat dengan sangat mudah,maka dari itu marilah kita untuk tetap mempertahankan budaya kita sendiri sebagai identitas diri.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul Punggahan, “Tradisi Menyambut Ramadhan di Langkat”, https://aceh.tribunnews.com/2023/04/05/punggahan-tradisi-menyambut-ramadhan-di-langkat?page=all.

Bagikan
Skip to content