Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 24 Oktober 2024
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh serta novelis, melaporkan dari Meulaboh, Aceh Barat
Setiap orang pasti memiliki sahabat. Begitu juga dengan perempuan pejuang Aceh yang satu ini. Namanya Pocut Baren. Ia adalah sahabat dari pahlawan nasional asal Aceh, Cut Nyak Dhien. Mereka berjuang menumpas penjajah melalui aksi gerilya. Gender hanyalah omong kosong belaka. Agama yang mengakar kuat di dalam jiwa membuatnya tak kuasa melihat kezaliman. Itulah yang membawa Pocut Baren ikut angkat senjata.
Pocut Baren lahir pada tahun 1880 di Aceh Barat. Gelar pocut didapat dari sang ayah, Teuku Cut Amat Tungkop, yang menjabat sebagai uleebalang (hulubalang) di Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Pocut Baren besar di tengah suasana genting nan membara. Kala itu, perang Belanda melawan Aceh sedang panas-panasnya. Terhitung sudah tujuh tahun perang berlangsung saat ia hadir ke dunia.
Memiliki jabatan, tentu menjadikan hidup keluarga Pocut Baren berkecukupan. Namun, keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Aceh akibat perang membuat masa kecil Pocut Baren berbeda dari yang lain. Ia didewasakan oleh waktu, juga pengalaman melihat perjuangan sang ayah bersama rakyat Aceh.
Pocut Baren dididik ala militer. Zaman itu, kekuatan adalah segalanya. Selain kekuatan, tak ada yang bisa menjaga diri sendiri dari pengaruh Belanda. Maka, Pocut Baren ditempa menjadi perempuan kuat, tangguh, berani, cakap, cinta pada daerahnya, tak takut pada penjajah, dan memegang teguh ajaran agama. Tak lepas dari campur tangan ayahnya, ia juga diajarkan cara berpikir cepat, kritis, serta bijaksana meskipun sedang berada di tengah situasi pelik.
Rasanya memang mustahil anak sekecil itu tidak terkencing-kencing mendengar suara meriam. Namun, setiap malam Pocut Baren telah terbiasa dibuai oleh hikayat-hikayat orang tua tentang perjuangan membela agama dan kehormatan negara. Di dalam tubuhnya mengalir darah pejuang. Mental Pocut Baren bukan mental kacangan. Ia mengikuti tekad ayahnya.
Hidup enak sebagai putri uleebalang ditinggalkan begitu saja. Sejak usia tujuh tahun, arena perang menjadi tempat Pocut Baren bermain. Letusan senjata milik Belanda, lontaran bambu runcing, teriakan kesakitan, pekik takbir, dan mayat-mayat menjadi makanan sehari-hari. Tak sedikit pun rasa takut melintas di hatinya. Pocut Baren tak mau hidup nyaman saat rakyat Aceh tengah berjuang mengusir kafir penjajah.
Ketika usianya telah dinilai cukup untuk melangkah ke jenjang pernikahan, ayah Pocut Baren menikahkan putrinya dengan seorang uleebalang Geume. Setelah menikah pun keduanya larut dalam perjuangan. Menikah merupakan ibadah terpanjang dan salah satu cara ibadahnya melalui perang. Mereka bahu-membahu bertempur melawan Belanda. Apalagi suami Pocut Baren memiliki jabatan penting selain uleebalang, yakni seorang panglima perang di kawasan Woyla, Aceh Barat.
Pada tahun 1898, suaminya gugur di medan perang akibat pertempuran sengit di daerah Woyla. Ia menjanda di usia muda, yakni 18 tahun. Bukannya putus asa, semangat Pocut Baren semakin membara. Demi melanjutkan perjuangan, ia semakin gencar melawan Belanda. Agar kematian sang suami yang syahid tidak sia-sia.
Dengan rencong di tangan, Pocut Baren sering tiba-tiba terlihat membawa pasukan melakukan serangan dadakan. Banyak sekali korban dari pihak Belanda berjatuhan. Kedatangan pasukan di bawah pimpinan Pocut Baren tak bisa diendus sehingga Belanda sering ketakutan. Tahu-tahu, mereka datang menyerang tanpa sempat melakukan persiapan.
Rencong itulah teman Pocut Baren saat berperang. Meski hanya sebilau pisau kecil, ia yang diikuti niat jihad dan dibebani keinginan untuk lepas dari kafir penjajah, tak pernah kalah dengan senjata-senjata modern milik Belanda.
Tak pernah sekalipun pasukan Pocut Baren beristirahat. Kalau tidak menyerang markas, maka mengadang tentara yang tengah patroli.
Sebuah benteng didirikan di Gua Gunong Mancang. Tempatnya amat strategis, tetapi sulit ditemukan. Mereka tak terkalahkan. Terbukti dari rasa frustrasi yang dialami komandan Belanda karena selalu kedatangan korban dari pihaknya. Berkali-kali ingin menyerang Gua Gunong Mancang, berulang kali pula harus menerima kegagalan.
Kala itu, Pocut Baren juga sudah bergabung dengan pasukan Cut Nyak Dhien. Mereka bergerilya menyerbu markas-markas militer Belanda. Keduanya sama-sama pernah kehilangan suami akibat perang dan sama-sama tak bisa diam melihat kezaliman. Sahabat adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Keberadaannya sangat dibutuhkan, terutama pada masa-masa sulit penuh perjuangan. Melangkah bersama sembari berbagi pemikiran tentu akan membuat semua hal menjadi lebih mudah.
Sayangnya, hubungan dua sahabat itu tidaklah panjang. Cut Nyak Dhien ditangkap oleh Belanda, lalu diasingkan ke Sumedang. Sementara Pocut Baren masih berupaya melawan dengan memimpin pasukannya meski sendirian. Tak lama kemudian, ia kehilangan bentengnya di Gua Gunong Mancang yang dibakar Belanda menggunakan 1.200 kaleng minyak tanah yang dialirkan ke mulut gua. Banyak di antara pasukannya yang tewas, termasuk sang ayah.
Segelintir pasukan yang tersisa berupaya memberikan perlawanan. Sayang, kaki Pocut Baren terkena peluru. Lukanya cukup parah. Akibatnya, kaki Pocut Baren membusuk hingga terpaksa harus diamputasi. Belanda tahu perjuangan Pocut Baren akan serta-merta terhenti. Ia diberi perawatan hingga sembuh, lalu diangkat menjadi uleebalang di kampung halamannya.
Kafir Belanda itu tidak tahu, darah pejuang yang mengalir di tubuh Pocut Baren tak sirna karena kehilangan kaki. Masih ada tangan yang bisa dimanfaatkan menggantikan senjata. Kecerdasan Pocut Baren membuatnya bisa ikut berperang melalui kata-kata. Ada banyak sekali syair dan pantun berbahasa Arab serta Melayu ia buat, kemudian dibaca oleh anak buahnya yang masih aktif. Bahkan, mampu menyalakan semangat pada pejuang lain di luar sana.
Akhirnya, pada tahun 1928, Pocut Baren mengembuskan napas terakhirnya. Saat itulah perjuangannya benar-benar usai. Karya-karya dahsyat yang pernah ditulis, dikumpulkan oleh Belanda. Isinya diterjemahkan oleh seorang penulis asal negeri Kincir Angin tersebut, kemudian disimpan di Perpustakan Universitas Leiden. Hal itu menjadi bukti betapa berpengaruh sosok Pocut Baren dalam perang Belanda di Aceh. Baik berjuang menggunakan senjata, maupun tulisan-tulisannya.
Ada banyak sekali warg Aceh yang belum tahu sosok-sosok penting dalam masa perang Aceh melawan Belanda. Mulai dari riwayat hidup, kisah saat berjuang, hingga karya yang telah diciptakan semasa hidupnya. Terkadang anak-anak sekolah lebih hafal biografi pahlawan nasional luar Aceh daripada asoe lhok-nya sendiri.
Oleh karena itu, akan lebih bagus jika Pemerintah Aceh bekerja sama dengan dinas pendidikan membuat serta mengedarkan buku tentang sosok-sosok pahlawan dari Aceh ke sekolah, mulai dari sekolah dasar. Semua tokoh yang berjasa, baik tercatat sebagai pahlawan nasional ataupun tidak harus diabadikan di dalam tulisan, sebagai wujud rasa terima kasih atas perjuangannya.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Pocut Baren, Pemimpin Pasukan Gerilya dan Penyair di Masa Perang Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2024/10/24/pocut-baren-pemimpin-pasukan-gerilya-dan-penyair-di-masa-perang-aceh.