Pesona Tanah Rencong di Mata Gadis Lombok

12 Januari 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 12 Januari 2024

ALIPA, Mahasiswi Program Studi Pendidikan  Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Hamzanwadi, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Batch 3 di Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh.

Aceh salah satu tempat paling jauh yang saya datangi. Pertama kali ke Aceh saya merasakan sedikit kaget dengan cuacanya. Dikarenakan suhu cuaca di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah saya, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, suhu cuaca Aceh tidak menghalangi saya untuk terus menggali berbagai keindahan yang ada di provinsi istimewa ini.

Saat pertama kali ke Aceh, saya sangat ‘excited’  untuk berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman. Ini masjid bersejarah yang ada di Kota Banda Aceh. Mungkin semua orang sudah mengetahui sejarah masjid yang pernah dibakar dan dibangun kembali oleh Belanda tersebut.

Keindahan Masjid Raya Baiturrahman terlihat dari bentuk dan ornamen bangunannya yang mirip dengan wajah Masjidil Nabawi di Madinah dan perintilan-perintilan bangunan cantik lainnya.

Bersyukurnya lagi saya bisa ikut menyaksikan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 8 pada 4-12 November 2023 yang sangat meriah. Event ini biasanya diadakan pada lima tahun sekali. Dengan adanya kegiatan PKA ini membuat saya memiliki pengetahuan atau wawasan yang lebih luas tentang Aceh.

Anjungan 23 kabupaten/kota se-Aceh yang saya kunjungi di Taman Sulthanah Safiatuddin Lampriek, Banda Aceh, memiliki banyak perbedaan tradisi. Terdapat berbagai atraksi kebudayaan atau tradisi yang saya dapatkan dari kunjungan ke Taman Ratu Safiatuddin, baik itu dari segi elemen budaya seperti tarian, musik, pakaian tradisional, maupun benda pusaka.

Selain berkunjung ke 23 anjungan di Taman Raru, saya juga sempat menyaksikan beberapa perlombaan dalam rangka kegiatan PKA tersebut.

Ada beberapa perlombaan yang digelar. Namun, di sini saya ingin menceritakan dua perlombaan yang, menurut saya, ada perbedaan dari daerah lain, contohnya di daerah saya Lombok. Di daerah saya ada juga yang namanya perlombaan layang-layang. Namun, perlombaan layang-layang di daerah saya dan di Aceh sangat berbeda. Di daerah saya, lomba layang-layang (geulayang tunang) diiringi bersama si pemilik layang-layang tersebut.

Sedangkan di Aceh, lomba layang-layangnya hanya diikat dan dibiarkan saja. Layang-layang akan dinilai setiap lima menit untuk menentukan siapa yang akan jadi pemenangnya. Layang-layang yang paling tenang dan terjauh terbangnya selama lima menit itulah yang menjadi pemenangnya.

Selanjutnya ada juga lomba perahu hias atau kapal hias yang diikuti oleh 23 kabupaten/kota se-Aceh, yang tentunya kapal-kapal dihiasi dengan berbagai pernak-pernik dan atraksi dari peserta lomba kapal hias. Berbagai hasil bumi juga dibawa oleh kapal hias dari masing-masing kabupaten dan itu adalah suatu perlombaan yang menarik, menurut saya, dan belum pernah saya lihat di daerah saya, Lombok. Perlombaan kapal hias ini adalah salah satu perlombaan yang bisa membuat para generasi muda seperti saya bisa lebih mengerti dan memahami ciri khas kebudayaan Aceh dari berbagai kabupaten.

Selain perlombaan dan kunjungan ke berbagai anjungan di Taman Ratu, saya juga menghadiri acara ‘khanduri laot’, pesta laut turun-temurun yang dilakukan setiap dua tahun sekali, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur para nelayan atas rezeki yang diberikan Allah.

Dalam acara ini ada beberapa persembahan yang ditampilkan, di antaranya tarian tradisional, yaitu tari ‘tarek pukat’, seni tutur Aceh, dan tarek pukat di pantai.

Selain itu, juga ada ritual, yaitu peusijuek pukat. Pada ritual peusijuek pukat tersebut terdapat tujuh macam daun yang digunakan. Di antaranya, daun pandan, daun pacar, daun seniji, daun manik mano, daun nalueng sambo, dan daun pengantin.

Penduduk desa yang ikut hadir dalam ritual peusijuek pukat mengatakan setiap daun yang digunakan dalam ritual tersebut memiliki arti masing-masing. Setelah ‘tarek pukat’ usai, masyarakat di sana melakukan makan bersama yang dinamakan ‘khanduri laot’. Kegiatan ini membuat saya sangat antusias karena ada berbagai jenis masakan yang dihidangkan.

Salah satu yang membuat saya merasa antusias adalah masakan ‘kuah beulangong’ yang berbahan utama daging sapi, nangka muda, dan sangat kaya bumbu.

Selain keindahan yang saya saksikan pada PKA tersebut, saya juga sempat berkunjung ke pantai-pantai yang ada di Aceh. Di antaranya, Pantai Ulee Lheue Banda Aceh, Pantai Lampu’uk, dan Pantai Kapuk Lhoknga, Aceh Besar. Di sepanjang perjalanan menuju Pantai Kapuk Lhoknga terdapat perpohonan yang indah dan pemandangan sungai yang jernih sehingga rasa ngantuk saya hilang.

Selain itu, juga terdapat kafe-kafe yang unik di pinggir pantai yang cocok untuk dijadikan tempat bersantai sekaligus menikmati ‘sunset’ bersama keluarga ataupun teman.

Selain keindahan yang ada di pantai, ada juga tempat yang tidak kalah indah dan cantik, yakni Takengon, Aceh Tengah. Menurut saya, Takengon juga salah satu tempat yang menarik dan indah untuk dikunjungi. Berbagai objek wisata yang dapat dikunjungi di sini, antara lain, wisata kebun nanas, arum  jeram, Danau Lut Tawar, kebun kopi, Gua Putri Pukes, dermaga Pantai Menye, Mepar Camping Gayo, dan banyak lagi objek wisata lainnya.

Di setiap perjalanan terlihat pemandangan danau yang indah. Suasana perjalanan menuju objek-objek wisata tersebut sangat mirip dengan perjalanan menuju ke Sembalun, daerah saya di Lombok. Baik itu dari lika-liku, maupun pemandangan perbukitannya, keindahan yang ada di Aceh ini tentunya tidak pernah bisa habis diceritakan, karena seperti yang kita ketahui Aceh ini sangat luas dan mungkin banyak lagi objek keindahan yang belum saya kunjungi di Aceh lainnya.

Namun, di balik keindahan Aceh ini terdapat kisah yang sangat haru, yaitu terjadinya gempa dan tsunami dahsyat pada Ahad, 26 Desember 2004, yang mana pada saat itu menelan banyak sekali korban yangmeninggal.

Seiring berjalannya waktu kota Aceh menjadi berkembang dan sangat indah. Dan, kadarullah saya bisa ke sini, yang awalnya saya sangat takut untuk ke Aceh, karena takut akan kisah tsunami tahun lalu. Namun, Allah sudah menentukan jalan bagi hamba-Nya dan memperlihatkan hamba-Nya bahwasanya di balik kisah tersebut ada keindahan yang sudah disiapkan oleh Allah.

Tidak selamanya kisah tersebut menjadi seram atau menakutkan. Sungguh kisah tersebut menjadikan banyak sekali pembelajaran bagi kita untuk selalu ingat kepada Sang Mahakuasa.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Pesona Tanah Rencong di Mata Gadis Lombok”, https://aceh.tribunnews.com/2024/01/12/pesona-tanah-rencong-di-mata-gadis-lombok?page=all.

Bagikan
Skip to content