Perempuan Aceh Sudah Buktikan Kemampuannya Memimpin Negara

7 Februari 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Selasa, 6 Februari 2024

Melinda Rahmawati, peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Mahasiswi Pendidikan IPS, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta

Perempuan merupakan makhluk ciptaan Allah yang dihadirkan untuk menemani Nabi Adam as. Dalam Q.S. An-Nisa: 1 disebutkan, perempuan diciptakan untuk melengkapi, menemani, dan turut serta beribadah kepada Allah Swt.

Namun, seiring berjalannya waktu, perempuan juga turut andil dalam masyarakat. Tokoh yang tidak asing disebut-sebut sebagai penggerak emansipasi wanita di Indonesia adalah R.A. Kartini. Melalui surat-surat korespondensinya yang dikirimkan kepada teman-temannya di Belanda, Kartini menceritakan pelbagai macam fenomena, problematika, dan terbatasnya peran perempuan di Jawa.

Kehadiran buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat korespondensi tersebut, menjadi sebuah catatan penting upaya penyuaraan tentang diskriminasi dan perenggutan hak-hak perempuan masa itu.

Namun, jika kita berjalan mundur ke lembaran sejarah masa lalu, sejatinya pada masa kerajaan tidak banyak ditemukan pembatasan peran perempuan di tengah masyarakat. Justru terdapat beberapa tokoh perempuan yang memimpin kerajaan. Contohnya, Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga pada 674 M, hingga ratu dari Tanah Jawa yang terkenal yakni Tribhuwana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit tahun 1328 M. Mereka masing-masing mengantarkan kerajaan yang dipimpinnya kepada masa kejayaannya.

Semakin saya menelusuri lorong waktu sejarah, semakin membuat saya tersadar bahwa kehadiran sosok perempuan sebagai pembangun peradaban memang benar adanya.

Kemudian saya coba menggeser koordinatnya ke sejarah Aceh pada masa kesultanan. Tentu saja, sebuah kejutan yang saya dapatkan. Kesultanam Aceh Darussalam penah dipimpin oleh empat sultanah pascamangkatnya Sultan Iskandar Muda. Kemudian, saya coba untuk menyusuri lebih lanjut, pada masa Kerajaan Samudera Pasai pun juga pernah ada seorang peminpin perempuan. Dan hasil kepemimpinannya memang masing-masing memiliki kegemilangan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Meskipun penelusuran saya dalam lorong waktu tersebut belum usai, akan tetapi saya sudah mulai melihat peran perempuan Aceh yang nyaris setara dengan laki-laki.

Ketangguhan perempuan Aceh yang selama ini terlihat di medan pertempuran, ternyata mereka juga tangguh dalam memimpin sebuah negara atau kerajaan.

Rasa penasaran semakin mengusik keheningan diri, kemudian mencoba untuk menelusuri daftar kegemilangan yang telah ditorehkan oleh masing-masing pemimpin tersebut. Kita mulai dari Sultanah Nahrisyah yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai tahun 1406. Dalam situs bincangmuslimah.com, Teuku Ibrahim Alfian (sejarawan Aceh) menyebutkan bahwa Sultanah Nahrisyah memimpin negerinya dengan sifat keibuan dan kasih sayang yang khas. Pada masanya juga Kerajaan Samudera Pasai hadir sebagai mercusuar penyebaran Islam di Nusantara. Bahkan, menurut penjaga makam dan sesepuh yang tinggal di sekitar kompleks makamnya di Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Kerajaan Samudera Pasai pada masa Nahrisyah telah mampu mengendalikan perekonomian di wilayah Asia Tenggara. Tidak mengherankan jika dalam buku C. Snouck Hourgronje yang berjudul “Arabie en Oost-Indie” tahun 1907 menuliskan, di makam tersebut terdapat sebuah ukiran berbahasa Arab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu kira-kira seperti ini, “Inilah kubur perempuan yang bercahaya, yang suci, ratu yang terhormat, almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrisyah… putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad Putra, Sultan Malikussalih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampuni dosanya. Meninggal dunia dengan rahmat Allah pada Senin, 17 Dzulhijjah 832.”

Berikutnya, kita memasuki bentang masa Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh empat sultanah. Mereka adalah Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin, Sultanah Zakiyatuddin, dan Sultanah Kamalat Shah. Salah satu peneliti dalam Seminar Jalur Rempah pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8 lalu, Sher Banu A.L. Khan dari National University of Singapore ternyata sudah memulai untuk menyelami masa kejayaan yang ditorehkan oleh para sultanah tersebut dalam disertasinya yang berjudul “Rule Behind the Silk Curtain: The Sultanahs of Aceh 1641-1699” di University of London tahun 2009. Tema yang sama juga disampaikan dalam kegiatan seminar tersebut dengan judul “Sultan, Sultanah, dan Rempah: Pergeseran Gelombang Perdagangan di Aceh Dar Al-Salam”.

Dalam paparan materinya, peneliti asal Singapura ini menyebutkan bahwa saat kondisi perdagangan di Selat Malaka tahun 1641-1675 mengalami gejolak perebutan arus dagang di Aceh, Sultanah Safiatuddin berhasil menempatkan posisi Kesultanan Aceh dalam posisi bertahan dan menyikapi gejolak tersebut dengan baik.

Beragam perjanjian dagang yang dilakukan memang jauh lebih terbuka pada masa kepemerintahan para sultanah ini. Namun, hak-hak istimewa yang diberikan oleh sultanah tidak lantas membuat para pedagang asing dapat semena-mena dengan rakyat Aceh saat itu. Reaksi cepat dan keras yang ditunjukkan semata untuk memastikan tidak ada keputusannya yang berdampak membahayakan kesejahteraan dan kepentingan rakyatnya.

Hal senada juga tertulis dalam situs historia.id yang menyebut, Anthony Reid dalam bukunya “Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia” menuliskan bahwa dari sumber dalam maupun luar, Kesultanan Aceh Darussalam selama di bawah kepemimpinan para sultanah berlangsung tertib dan makmur. Dan A. Hasjmy dalam bukunya “59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu” menuliskan, “Ratu menganjurkan, bahkan kadangkala mewajibkan kaum perempuan belajar.” Artinya, kepemimpinan para sultanah, khususnya Sultanah Safaituddin Tajul Alam, sesuai yang telah ditulikan dalam Kitab Mir’atul Thulab yang ditulis oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili.

Dalam kitab tersebut tertulis bahwa pada awal kepemerintahannya, Sultanah Safiatuddin langsung dihadapkan dengan persoalan masyarakat yang kompleks. Sehingga, diperlukan sebuah pedoman yang menjadi rujukan dasar untuk mengatasi persoalan tersebut. Dan kitab ini menjadi begitu monumental dikarenakan berisikan tiga hal, yakni: hukum fikih, hukum ba’i (jual beli), dan hukum jinayah.

Dengan mengutip keterangan dari materi yang disampaikan oleh Sher Banu A.L. Khan yang juga mengutip perkataan Sultanah Safiatuddin dalam Kitab Bustan al-Salatin, “Bagaimana saya bisa menerima kondisi yang belum pernah diterapkan sebelumnya yang bisa membuat rakyat saya tidak bisa menikmati rezeki? Saya akan mengikuti kebiasaan lama.…” menjadi sebuah nada dasar, kepemimpinan para sultanah tetap berdasarkan pada yang sudah dijalankan pada masa kepemimpinan para pendahulunya.

Hanya saja, sultanah tidak menghendaki para pedagang tersebut membangun benteng dan/atau berlaku semena-mena terhadap rakyat Aceh. Negeri Aceh pada masa itu benar-benar bagaikan negeri yang dalam Q.S. Saba: 15 disebut sebagai “…baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.

Maka, sejatinya mulialah harkat dan martabat perempuan dengan segala anugerah yang dimilikinya. Mulia pulalah para perempuan Aceh yang sudah menorehkan sejarah mereka dengan perannya masing-masing pada lembaran sejarah yang begitu lapang terbentang dengan torehan yang gemilang.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Perempuan Aceh Sudah Buktikan Kemampuannya Memimpin Negara”, https://aceh.tribunnews.com/2024/02/06/perempuan-aceh-sudah-buktikan-kemampuannya-memimpin-negara?page=all.

Bagikan
Skip to content