Obati Kerinduan Alam Aceh di Bumi Priangan

7 Mei 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Rabu, 24 April 2024

Melinda Rahmawati, Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Mahasiswi Pendidikan IPS, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta

Kota Jakarta dengan segala hiruk pikuknya sering kali membuat penduduknya bersahabat dengan stres yang berlebih. Guna melakukan penyegaran diri, saya dan teman-teman Muhammadiyah Jakarta melancong ke Jawa Barat. Bumi Priangan dengan keasrian pemandangan alamnya, menjadi primadona di Hindia Timur (Indonesia). Destinasi kami kali ini adalah daerah Dataran Tinggi Pangalengan. Sebuah kawasan perkebunan teh dan sayur, sekaligus tempat produksi salah satu produk teh kemasan yang sudah berdiri sejak tahun1969. Sebuah perjalanan darat yang menyisakan cerita bahagia tersendiri. Tentu saja,  jalan berkelok menambah menawannya hamparan pemandangan alam nan permai menjadi penyejuk mata.

Provinsi Jawa Barat atau saya lebih senang menyebutnya “Bumi Priangan” sudah sejak masa kolonial Belanda sebagai tempat peristirahatan para pejabat masa itu. Selain menjadi tempat rekreasi yang memberikan suasana keasrian alamnya, beberapa pengusaha juga membuka lahan perkebunan di sana. Perkebunan teh, karet, kakao, kelapa, cengkih, tebu, hingga tembakau ada di provinsi ini.

Sebuah fakta menarik yang membuat saya tergelitik, ternyata lokasi tempat kami melakukan penyegaran tidak terlalu jauh dari salah satu perkebunan teh masa kolonial yang sangat terkenal. Perkebunan Teh Malabar milik Karel Albert Rudolf Bosscha (akrab disapa Bosscha) hanya berjarak 14 km dari Taman Langit Pangalengan, tempat kami singgah. Lokasi Taman Langit sendiri diapit oleh dua gunung, yakni: Gunung Malabar dan Gunung Wayang Windu, menambah suasana dingin yang menyelimuti kami.

Menjadi sebuah kekhasan daerah perkebunan, jalanan yang berkelok tajam, curam, menanjak, dan menurun benar-benar membuat perjalanan ini penuh sensasi keceriaan dan gelak tawa. Dalam perjalanan menuju Kawasan Taman Langit, Pangalengan kali ini tidak terhitung sudah berapa kali mobil kami melewati tanjakan dan turunan tajam. Pikiran saya seketika mulai terkoneksi dengan beberapa perjalanan saya di Aceh Besar yang menyisakan kenangan serupa.

Setelah rombongan kami tiba di Situ Cileunca, hidangan makan siang sudah tersedia dan bersiap untuk kegiatan rekreasi pertama kami.

Di tengah cuaca yang teduh, awan putih yang berarak ke atas pegunungan, tetapi embusan angin yang seolah membuat pengunjung enggan melepas jaket yang sedang dikenakan, kami bersiap untuk rekreasi arum jeram di aliran sungai yang tidak jauh dari situ. Semula semua berjalan baik-baik saja. Bebatuan yang kami lewati tidak sampai membuat kami basah sekujur tubuh. Namun, setelah setengah perjalanan dan melewati salah satu pintu air, riak air mulai tidak dapat kami kendalikan. Adrenalin ketika melewati setiap batu di sekitar sungai tersebut, serta debit air yang sedang meninggi, membuat perahu karet kami melintas dengan cepat dan mencipratkan air ke seluruh badan kami. Saya sendiri tidak bisa mengingat berapa kali kepala saya terantuk ranting-ranting pohon di sepanjang aliran sungai.

Dalam suasana keceriaan tersebut, saya teringat rekreasi serupa di kawasan Aceh Tengah yang tentu saja menghadirkan sensasi keseruan yang sama menantangnya.

Setelah hampir tiba di hilir sungai yang menjadi tujuan akhir arum jeram kami, tanpa berpikir panjang saya dan senior saya yang akrab disapa Bang Uday menceburkan diri ke sungai. Tidak lama, teman saya Sabrinah juga ikut menceburkan dirinya ke sungai dengan berpegangan bersama. Rasa puas menyelimuti kami semua, terutama saya benar-benar merasa beban emosional yang selama ini mengekang di kota metropolitian itu terasa hilang.

Nyata benar perkataan banyak orang bahwa olahraga air dapat menghilangkan stres, membakar kalori, dan melepaskan emosi yang tertahan.

Hari semakin gelap dengan tubuh yang mulai menggigil, kami semua kembali ke Situ Cileunca untuk berganti pakaian dan bersiap menuju penginapan di Taman Langit. Angin yang berembus semakin kencang dan membuat tubuh kami semua menggigil menjadi pertanda hari kian gelap. Demikian juga hujan yang tiba-tiba turun deras, kemudian reda dan kembali deras seperti simfoni orkestra yang menghadirkan gelak tawa bagi mereka yang tengah berbahagia. Setelah berganti pakaian kami semua bergegas menuju penginapan dengan berlomba bersama hujan deras yang membatasi jarak pandang kami. Jalan berkelok, langit gelap, dan guyuran hujan deras membuat perjalanan kami ke atas semakin penuh dengan kekhawatiran.

Sekitar pukul 21.00 WIB kami tiba di Taman Langit, Pangalengan, Jawa Barat. Cuaca pegunungan di ketinggian 1.000 mdpl membuat sekujur tubuh kami semua menggigil. Dari parkir hingga ke rumah tempat kami menginap harus menanjak sekitan 1,5 jam perjalanan. Dengan membawa sebagian barang bawaan masing-masing (karena sebagian sudah dibawa dengan sepeda motor yang disediakan pihak penginapan), sembari melawan udara dingin yang menusuk tulang dan melawan hujan yang masih mengguyur, kami berjuang untuk bisa tiba di lokasi penginapan yang berada di ketinggian 1.670 mdpl. Bukan sebuah perjalanan yang mudah untuk melawan udara dingin di ketinggian tersebut.

Dalam suasana dingin khas daerah pegunungan, kami menikmati makan malam seadanya untuk mengisi kembali energi tubuh yang banyak terkuras. Langit gelap dan angin kencang yang menusuk tulang menyelimuti mimpi indah kami tentang suasana matahari terbit nanti. Benar saja, ketika saya terbangun ternyata teman-teman lain sudah bersiap di beberapa ‘spot’ terbaik yang sudah tersedia untuk menyaksikan pemandangan alam terbitnya matahari pagi di sudut Bumi Priangan.

Pukul 04.00 semua kami sudah bersiap menantikan sang fajar muncul dari peraduannya di timur bersama kabut di pegunungan yang mulai berarak turun. Sungguh, saya benar-benar menikmati detik demi detik terbitnya matahari di sana dengan bertemankan awan yang berarak serta embusan angin yang masih menusuk tulang seolah hiportemia hendak membelenggu tubuh kami. Sebuah pemandangan yang menenangkan dan selalu membuat kita berpikir akan satu hal fundamental, “Nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?”

Dalam perasaan kagum tersebut, saya tetap saja terkenang lekukan pegununan di bawah Gunung Seulawah, Aceh Besar. Terkenang sekali pemandangan pegunungan tersebut dari pesawat yang memanjakan mata. Bahkan, saat saya berkunjung ke Bukit Jalin, Jantho, sekalipun, semuanya seketika terlintas di pandangan mata. Pesona alam yang selama ini hanya saya nikmati dari kaca pesawat yang melintas dan bersiap untuk mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, atau sehari-hari saya nikmati pemandangannya melalui media sosial Instagram dan lainnya tentang warna-warni Tanah Rencong ini, bagaikan rayuan sekaligus panggilan untuk pulang. Perjalanan saya bersama teman-teman ke Bumi Priangan benar-benar menjadi obat dari kerinduan dengan lukisan alam dari Tanah Rencong tersebut.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Obati Kerinduan Alam Aceh di Bumi Priangan”, https://aceh.tribunnews.com/2024/04/24/obati-kerinduan-alam-aceh-di-bumi-priangan.

Bagikan
Skip to content