Nami Bukit Cinta, Perempuan dan Romantisme dalam Kultur Gayo

8 November 2019 | BBG News

BANDA ACEH, BBG NEWS–Seorang pemuda kehilangan kekasihnya karena mantra atau sumpah nenek moyangnya pada zaman dulu. Hingga cinta sang pemuda pun berakhir tragis. Itulah sepenggal kisah dari cerpen Nami Bukit Cinta karya Rismawati, M.Pd. (Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia BBG). Risma saat peluncuran buku Nami Bukit Cinta menyatakan bahwa hampir semua cerpen yang termaktub dalam kucer mengisahkan kehidupan masyarakat Gayo. Hal yang penulis alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Gayo menjadi imajinasi cerita.

“Secara garis besar, kisah cerpen ini menceritakan tentang perempuan dan cinta yang tragis,”ujar sang penulis.

Peluncuran buku yang juga bagian dari rangkaian Gebyar Bulan Bahasa VI menghadirkan dua pembedah yakni Muhammad Iqbal (Penulis Aceh yang juga Dosen IAIN Lhokseumawe), dan Hendra Kasmi (Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia BBG). Iqbal menyatakan bahwa ada dua kata kunci dalam buku ini yaitu literasi dan bangsa. Literasi bangsa ini sangatlah menarik dan bisa dijadikan sebagai objek kajian karena aspek seni budaya dan kearifan lokal Gayo yang terkandung dalam buku ini sangat banyak.

Iqbal juga menyinggung tentang literasi. Literasi sekarang menjadi perbincangan banyak orang. Apalagi di kalangan akademisi memang akrab dengan literasi yang tentu saja tidak terlepas dari kegiatan menulis yang bisa menghasilkan uang puluhan juta rupiah. Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia menulis sebagai bagian dari literasi menjadi sebuah kewajiban.

“Ada tiga hal yang dapat kita petik dari buku ini. Pertama, bisa dijadikan sebagai objek kajian. Kedua, literasi kultur dan ketiga, sebagai media pembelajaran,”ujarnya.

Tidak jauh berbeda dengan Muhammad Iqbal, Hendra Kasmi pembedah kedua juga mengagumi Nami Bukit Cinta sebagai buku yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Secara tidak langsung penulis telah mempromosikan budayanya. Hal ini bisa menginspirasi mahasiswa untuk mempromosikan kekayaan kultur daerahnya. Kalau bukan kita yang berbuat siapa lagi.

Selain itu, Hendra juga mengkritik tentang kesalahan bahasa dalam beberapa cerpen dalam buku tersebut misalnya tentang penulisan singkatan, penggunaan imbuhan, pengulangan kata yang sama, narasi yang bertele-tele, dan lain sebagainya.

Beliau juga berpesan bahwa kritik itu membangun dan membuat seseorang harus semangat dalam menulis bukan sebaliknya.

“Terlepas dari kritik, apresiasi yang sebesar-besarnya untuk karya yang telah dihasilkan. Menulis saja sudah sangat luar biasa. Justru yang kita kecewakan adalah orang yang tidak mau menulis,” tutupnya.

Laporan: Ainil Mardhiah

Bagikan
Skip to content