Mengenang Peristiwa Tsunami Aceh 2004

26 Desember 2024 | BBG News

Telah dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 27 Desember 2024

NURUL HUSNA, S.Pd., alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) dan Anggota FAMe, melaporkan dari Labuhanhaji, Aceh Selatan.

Saya menulis kisah tentang tsunami Aceh 26 Desember 2004 ini pada saat kenangan mulai memudar dari ingatan saya. Maklum, sudah 20 tahun berlalu.

Saya sangat bahagia bila tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca di mana pun berada.

Kami tiga bersaudara, perempuan semua (saya, kakak, dan adik). Panggilan untuk kakak kandung adalah Kak Rika, tetapi lidah saya terbiasa berucap Kak Ika. Sedangkan adik saya kami panggil Upik. Ini bukan nama sebenarnya, tetapi panggilan kesayangan. Upik berarti anak perempuan.

Waktu itu di Labuhanhaji, Aceh Selatan, kami bertiga tinggal dengan keluarga kakak ibu saya, yang kami panggil Mak Sayang. Keluarganya terdiri atas suami (Pak Sayang), satu anak laki-laki (Bang Jaya), dan dua orang anak perempuan (Kak Tuti dan Kak Yanti).

Minggu, 26 Desember 2004, pagi yang awalnya tenang. Saat itu saya di dapur dan seingat saya kami semuanya berada di dalam rumah. Setelah sarapan, kebiasaan kami di hari libur adalah bersih-bersih seperti pada hari Minggu yang sudah-sudah.

Setelah sarapan, saya hendak bersih-bersih, lalu tiba-tiba terjadi gempa. Awalnya pelan, lama-lama kuat dan saat gempa terjadi saya tenang saja. Seolah-olah itu gempa biasa. Kebiasaan buruk yang saya miliki adalah jarang lari ke luar rumah ketika gempa terjadi. Itu berlaku sampai sekarang. Saya baru ke luar rumah saat terdesak atau disuruh, atau ditarik tangan saya oleh orang lain.

Di samping dan belakang rumah Mak Sayang banyak pohon yang ditanam Pak Sayang. Sedangkan di halaman rumah banyak kami tanam bunga.

Di dapur, pintunya ada tiga. Ke luar dari mana saja pun tetap bertemu banyak pohon. Pemikiran saya waktu itu rumah adalah tempat paling aman daripada di luar saat gempa mengguncang.

Ketika gempa terjadi di rumah hanya ada kami berlima (saya, Kak Yanti, Kak Tuti, Kak Ika, dan Upik). Bang Jaya bekerja di Banda Aceh, sedangkan Mak Sayang, Pak Sayang, serta keluarganya pergi ke Banda Aceh mengantar rombongan ibu Pak Sayang yang akan pergi haji ke Makkah dan sekarang ibunya sudah meninggal karena sakit.

Dari arah depan terdengar suara orang berteriak menyuruh saya ke luar dari rumah. Entah itu suara Kak Yanti, entah Kak Tuti. Saat itu guncangan gempanya sudah sangat kuat. Akhirnya, saya keluar melalui pintu tengah.

Setelah gempa reda, saya masuk ke dalam rumah menuju halaman melalui pintu depan. Saat itulah terdengar kabar air laut surut, tapi orang-orang bukannya takut, malah memungut ikan yang banyak tergeletak di dasar laut.

Setelah mengambil ikan, mereka melihat gelombang air laut sangat tinggi, oleh karenanya mereka pun berlarian ke daratan. Masyarakat Labuhanhaji saat itu sebagian tidak tahu tanda tsunami akan datang. Dari kejadian tersebutlah masyarakat dan saya tahu jika air laut surut, kita tidak boleh mendekati pantai.

Sesudah itu banyak orang yang rumahnya di sekitar pantai mengungsi ke rumah keluarga atau saudaranya yang jauh dari pantai. Akibat gempa, listrik pun mati sehingga kami tidak bisa menonton televisi (tv) untuk mengetahui berita. Itulah sebab, kami tidak tahu bahwa Banda Aceh dan sekitarnya dilanda bencana yang sangat dahsyat.

Banyak cerita orang di hari pertama tsunami yang tak mampu lagi saya ingat. Kalau tidak salah, listrik baru hidup keesokan harinya. Saya melihat Kak Yanti menonton tv dan mendengarkan berita tentang situasi Banda Aceh sambil menangis. Saya tidak bertanya, tetapi ikut menonton tv. Tampak semua bangunan hancur, mayat bergeletakan di mana-mana.

Masjid Raya Baiturrahman dan dua masjid berwarna putih yang namanya saya lupa masih terlihat berdiri kokoh. Tanpa sadar, saya pun menangis melihatnya. Teringat juga keluarga dan orang-orang kampung saya yang banyak bermukim di Banda Aceh dan belum ada kabarnya.

Kami semua menangis waktu menyimak berita tanpa suara dan tiap kali melihat siaran tv perasaan sedih selalu muncul. Sebenarnya tidak sanggup juga sedih setiap hari, tetapi saya ingin tahu informasi terbaru tentang dampak tsunami. Terutama tentang jumlah berapa yang meninggal, hilang, hidup, dan nama-nama mereka yang selamat.

Kehidupan kami  menyedihkan. Kondisi fisik baik-baik saja, tetapi perasaan khawatir selalu timbul, sebab belum mendapat kabar tentang Mak Sayang, Pak Sayang, Bang Jaya, dan keluarganya di Banda Aceh.

Kata orang, mobil penumpang tidak bisa pergi ke sana karena jalan rusak sangat parah. Kak Yanti dan Kak Tuti yang paling sedih saat itu, tetapi berusaha tegar di hadapan kami.

Saya lupa, berapa kali kami makan dalam sehari dan nyenyak atau tidak tidurnya. Yang saya ingat adalah kami lebih sering menonton berita, selalu mengingat Allah, dan banyak berdoa.

Sekitar seminggu barulah kami dapat kabar bahwa Mak Sayang sekeluarga baik-baik saja. Kami sangat bersyukur mendengar kabar tersebut. Perasaan pun lega. Rumah yang sunyi kemudian ramai kembali setelah kakak ibu saya dan suaminya pulang, kalau tidak salah di hari kesembilan pascatsunami. Keadaan mereka baik-baik saja.

Banyak saudara kami yang tinggal di Banda Aceh karena kuliah, bekerja, atau ikut suami dinyatakan sudah meninggal. Jasad mereka ada yang ditemukan, ada pula yang tidak ditemukan saat dicari. Hal itu sangat menyedihkan bagi keluarganya, juga kami, dan orang-orang kampung saya.

Bagi para penyintas tsunami, apa pun yang terjadi hidup harus tetap berlanjut meski sangat sulit. Masyarakat Labuhanhaji yang tinggal dekat laut mengalami trauma, sangat takut pada gempa. Orang-orang yang tidak mengalami tsunami dan hanya mendengar cerita saja juga takut gempa.

Sesudah kejadian dahsyat itu gempa susulan sering terjadi. Alat pendeteksi tsunami ada di kecamatan kami. Setiap ada gempa kebanyakan orang lari ke luar rumah, tidak peduli waktu, meski tengah malam.

Hari-hari kami selanjutnya sering mengalami gempa. Saat gempanya kuat atau lama langsung ke luar dari rumah, duduk di halaman. Ada juga yang lari ke jembatan di depan pagar rumah.

Setelah peristiwa 26 Desember 2004 saya tidak doyan makan ikan dalam waktu lumayan lama. Sebab, di pikiran saya ikan tentu ada memakan daging manusia.

Tragedi tsunami memang sangat menyedihkan dan sulit untuk dilupakan. Setiap orang yang pernah melalui hari Minggu 26 Desember 2004  di pesisir Aceh mempunyai kisah sedihnya masing-masing.

Dari musibah tersebut banyak hikmah serta pelajaran yang didapat oleh semua orang. Semoga peristiwa tsunami tidak pernah terjadi lagi di Aceh, daerah yang ditakdirkan berada di  jalur cincin api (ring of fire) ini.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mengenang Peristiwa Tsunami Aceh 2004”, https://aceh.tribunnews.com/2024/12/27/mengenang-peristiwa-tsunami-aceh-2004?page=all.

Bagikan
partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content