Dimuat di Serambi Indonesia edisi Selasa, 9 Januari 2024
NURUL SAFITRI, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Tak banyak yang tahu di antara ribuan mahasiswa Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, ada seorang penulis muda yang diam-diam memiliki banyak karya solo selama beberapa tahun terakhir. Di antaranya berupa novel, antologi puisi, dan jurnalisme warga. Yang terakhir ini, khususnya dimuat di Harian Serambi Indonesia.
Kampus berwarna orange yang berdiri kokoh di pinggir tanggul Krueng Cut berhasil menyembunyikan identitasnya dari khalayak. Namanya adalah Siti Rafidhah Hanum, mahasiswi semester 3 di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (Penbi) UBBG. Ia memiliki nama pena Jurnal Hanum yang tertulis indah pada karya-karyanya.
Dalam kurun tiga tahun terakhir, gadis kelahiran Montasik, Aceh Besar, pada Desember 2001 itu telah menyelesaikan tujuh novel solo, tiga antologi, satu buku puisi, dan karya terakhirnya buku ‘parenting’ yang diikutkan dalam lomba menulis dari penerbit di Pulau Jawa. Tiga di antara novelnya berjudul Tiada Cinta untuk Aya (2022), Jalan Pulang (2023), dan Toxic (2023). Sedangkan antologi puisinya diberi judul Binar Jingga Terakhir (2019).
Motivasinya menulis bermula dari bangku sekolah dasar, tepatnya saat banyak membaca novel anak yang tersedia banyak di perpustakaan sekolah. Kala itu, ia berpikir namanya pasti akan lebih keren jika tertulis sebagai pemilik dari sebuah karya. Keinginannya menulis semakin kuat saat guru bahasa Indonesia memberikan sebuah tugas menyimak cerita, kemudian menuliskan ulang cerita tersebut semirip mungkin. Hanum mendapat nilai tertinggi sehingga merasa memiliki kemampuan dalam bidang literasi.
Hal itu berlanjut di bangku sekolah menengah pertama. Hanum mulai mengarang cerita di buku-buku tulis kosong. Melihat teman-teman suka membacanya, bahkan sampai ada naskah ceritanya yang hilang karena diambil teman, semangat menulis pun makin terpacu.
Namun, saat itu Hanum belum dapat informasi tentang platform yang bisa digunakan untuk memublikasikan karya-karyanya. Hanum hanya menuliskan ide-ide hebatnya di buku biasa.
Ada alasan menarik di balik ketekunan Hanum dalam menulis. Ia kurang suka berbicara di depan umum, bahkan merasa tak memiliki kemampuan menyampaikan argumen secara langsung. Kondisi itu terjadi karena Hanum tidak menyukai perhatian publik. Ada gangguan panik yang bisa menyerangnya kapan saja jika memaksakan diri untuk tampil bicara di depan publik. Baik itu dalam pertemuan besar, maupun kecil.
Jadi, ketika ada sesuatu yang ingin disampaikan, Hanum merasa lebih baik menyampaikannya melalui tulisan.
Sampai saat ini, belum ada keinginannya untuk berhenti menulis. Semakin hari, semakin banyak yang ingin dia sampaikan melalui penanya kepada khalayak. Apalagi Hanum tipe penulis yang mudah berbagi ilmu, tak ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Kemampuan Hanum dalam menulis dianggapnya sebagai kekuatan terbesar hidup karena bisa menyampaikan apa saja, termasuk kritik sosial, melalui tulisan berbalut fiksi.
Setiap menekuni sebuah pekerjaan, pastilah ada motivator di baliknya. Kiblat utama yang membimbing seseorang menggapai cita-citanya. Sosok yang kemudian menjadi panutan Hanum dalam menulis ialah penulis tanah air yang karyanya diterjemahkan ke bahasa asing, banyak difilmkan, dan selalu mendapat logo bestseller, yaitu Habiburrahman El Shirazy. Karyanya selalu menginspirasi dan yang paling penting bergenre religi tanpa menggurui.
Hanum terbius oleh sihir yang terkandung di dalam paragraf-paragraf novel Habiburrahman sehingga ia selalu mengidolakan sang novelis ternama ini.
Selain menerbitkan buku, Hanum juga menulis di beberapa platform digital. Zaman sudah canggih. Membaca tak perlu lagi dengaan membeli buku. Ada banyak cerita berbagai genre yang bisa ditemukan dalam genggaman.
Namun, Hanum memberi penegasan bahwa cerita di buku dan di platform akan disajikan secara berbeda. Selain itu, mata juga akan lebih sehat jika membaca buku. Layar gadget mengandung banyak radiasi. Mata bisa mudah lelah serta mengakibatkan rabun bila setiap hari dipaksa terus-menerus menerima paparan sinar biru dari layar gadget.
Saat ini, kesibukan Hanum ialah menjadi mahasiswa semester tiga, aktif sebagai anggota UKM Jurnalistik di kampus, masih menulis fiksi seperti biasa, dan berusaha menjadi sosok ibu pengganti bagi dua keponakannya yang piatu.
Baginya, sesibuk apa pun kegiatan sekarang, menulis adalah bagian dari kehidupan. Jika bagi orang lain menulis adalah pekerjaan sampingan, Hanum menganggapnya sebagai kebutuhan. Tiada hari tanpa ia menarikan jemari di atas kibord latopnya. Mau berapa ratus kata atau ribuan, ia tetap menyisihkan waktu untuk menulis.
Hanum juga membagikan tip untuk para pemuda- pemudi Aceh dan siapa saja yang ingin memulai karier sebagai penulis. Pertama, tidak boleh memandang tulisannya jelek. Siapa pun itu, mau penulis besar, terkenal di mana-mana, akan selalu merasa tulisannya tidak bagus. Penilaian bagus atau tidak sebuah tulisan berada di tangan pembaca, bukan penulis. Walaupun pemula tetap harus memandang tulisan itu bagus.
Kedua, tak perlu berpikir bahwa menulis harus memakai laptop. Menulis bisa saja menggunakan handphone. Handphone zaman sekarang sudah bisa menampung aplikasi dokumen seperti Word atau WPS, jadi menulis pun menjadi lebih mudah karena bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Hanum sendiri sering menulis menggunakan handphone karena merasa lebih nyaman.
Ketiga, seberapa keren ide sebuah tulisan tidak dinilai dari lama atau tidaknya dipikirkan oleh seorang penulis. Tulis saja apa yang ada di sekitar. Menemukan orang-orang berkepribadian unik, mengenakan gaya pakaian bertolak belakang dengan orang lain, dan menyaksikan sebuah peristiwa seperti kecelakaan, itu bisa dijadikan topik utama sebuah tulisan. Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Lihat dulu apa yang ada di sekeliling kita.
Kata kunci menjadi seorang penulis ialah tidak pernah berhenti mencoba dan tidak menolak kritik ataupun saran dari pembaca. Pasti ada komentar baik dan diiringi oleh komentar buruk. Hal baik harus diambil, yang buruk-buruk bisa dilupakan.
Ada banyak penulis pemula yang berhenti menulis karena mengalami fenomena ‘writers block’, yakni kondisi di mana kejiwaannya terguncang akibat serangan komentar bernada miring dari pembaca.
Selama hampir empat tahun menekuni dunia kepenulisan, Hanum berharap ada banyak sekali pemuda Aceh yang tertarik dengan literasi. Baik itu dari segi membaca, maupun menulis. Sehingga, Aceh semakin terekspos sebagai daerah yang agamis dan juga idealis.
Ada banyak manfaat menulis. Selain memiliki karya, menulis merupakan media berbicara. Bahkan bisa dijadikan sebagai media dakwah. Oleh karena itu, Hanum memimpikan ada banyak penulis muda lahir dari Aceh.
Menurut Hanum, menulis fiksi bukan sekadar mengarang kisah cinta saja, melainkan sisi terang dari kepiawaian seseorang untuk memasukkan ilmu-ilmu, termasuk ilmu agama, ilmu pemerintahan, dan ilmu pendidikan dan membungkusnya dengan fiksi.
Menurut Hanum, pemerintah harus menaruh perhatian lebih kepada mereka yang memiliki kemampuan lebih di bidang literasi. Tujuannya, supaya makin banyak sastrawan muda Aceh yang terpacu semangatnya dalam berkarya dan memublikasikan tulisannya.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mengenal Penulis Muda dari UBBG Banda Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2024/01/09/mengenal-penulis-muda-dari-ubbg-banda-aceh?page=all.