Dimuat di Serambi Indonesia, Senin, 14 Agustus 2023
Siti Rafidhah Hanum, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, juga penulis novel, melaporkan dari Banda Aceh
Ketika pertama kali mendengar program praktisi mengajar, benak saya langsung membayangkan tentang seorang tenaga pendidik dari luar. Setelah melewati seleksi, mereka berkesempatan mengajar di suatu universitas dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Hal kedua yang saya pikirkan adalah praktik. Jika selama satu semester saya dan rekan-rekan terus dicekoki materi, maka dosen praktisi akan mengajak kami menerapkan secara langsung materi yang akan kami pelajari.
Angkatan saya, angkatan 2022, memiliki kesempatan belajar bersama dua dosen praktisi, yaitu pada mata kuliah Dasar-Dasar Berbicara dan Dasar-Dasar Menulis. Secara teknis, dua mata kuliah ini merupakan pokok paling penting bagi calon guru bahasa. Seorang lulusan pendidikan bahasa Indonesia harus menguasai dua kemampuan tersebut. Jika tidak bisa berbicara dengan mahir di depan umum, paling tidak bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan melalui tulisan.
Mata, kuliah Dasar-Dasar Berbicara diampu oleh Ibu Yusrawati Jr Simatupang MPd bersama Pak Teuku Mahmud MPd. Kedua dosen tersebut akan mendampingi dosen praktisi saat mengajar. Pada pertemuan pertama dengan dosen praktisi tersebut, kami tersihir hingga tak mampu mengalihkan pandangan. Semangatnya menggebu-gebu, kemampuan berbicaranya pun sangat mencengangkan. Tak terdengar jeda sekalipun, bahkan saya tidak mendengar adanya nada kebingungan saat beliau berbicara.
Ibu Hajarul Aini MPd namanya. Melalui kobaran semangat itulah saya dan rekan-rekan terbakar untuk belajar. Biasanya terkantuk-kantuk, tetapi kala ini mata kami terbuka lebar-lebar. Apalagi pembahasan pada pertemuan pertama sangat menarik, yaitu tentang analisis SWOT. Semua mahasiswa diminta menuliskan kelebihan, kekurangan, peluang yang bisa didapat, dan ancaman yang kami rasakan. Bu Aini akan menelisik lebih dalam mengenai analisis yang kami lakukan terhadap diri sendiri. Dengan begitu, beliau lebih mudah menetapkan metode belajar yang cocok untuk kami.
Kegiatan tersebut membantu kami lebih mengenal diri kami secara mendalam. Apa saja yang menjadi kekuatan yang ada di dalam diri, kemudian apa kelemahan yang selama ini menghambat potensi yang seharusnya diasah lebih tajam. Setelah tahu apa kelemahannya kami coba menggali peluang apa yang kami miliki, lalu berakhir pada bentuk ancaman yang selama ini menghantui kami.
Bu Aini membuat bentuk SWOT menjadi empat kubikel, yang mana strengths dan opportunities berada dalam posisi sejajar, sedangkan weakness sejajar dengan threats. Beliau mencoret bagian kelemahan. Dengan begitu, kami hanya perlu fokus pada sisi kekuatan serta peluang kami saja. Analisis SWOT ini tidak hanya membantu kami sadar akan kelemahan masing-masing, tetapi juga membantu dosen praktisi paham apa kendala yang membelenggu kami. Proses pembelajaran pun menjadi lebih mudah.
Meskipun tidak sepenuhnya, Bu Aini akan membantu kami mengatasi segi negatif tersebut. Memang tidak mudah. Tidak ada perubahan yang terjadi dalam sekejap mata. Akan tetapi, dosen praktisi berharap ada sedikit kemajuan dalam kemampuan berbicara kami selama mata kuliah Dasar-Dasar Berbicara diajarkan oleh beliau.
Pada pertemuan kedua, kami mendapat kejutan. Bu Aini memberikan materi Etika Berbicara. Namun, kami tidak diminta mendengar materi, melainkan melakukan sebuah minidrama. Tujuannya ialah agar kami mengetahui apa itu etika dalam berbicara. Ada tiga peran yang dosen praktisi berikan, yaitu antagonis, protagonis, dan pengamat. Minidrama tersebut dimainkan secara berkelompok yang terdiri atas tiga orang.
Konflik yang akan diangkat dibebaskan sehingga rekan-rekan dapat bebas berimajinasi dan menentukan sendiri masalahnya. Kreativitas bermunculan. Kisahnya bermacam-macam. Lalu, di akhir drama, pengamat menunjukkan perannya di dalam tim. Seorang pengamat harus mampu menjelaskan mengapa rekannya ditunjuk menjadi antagonis dan protagonis dari cara mereka memainkan perannya.
Tujuan minidrama ini dibuat ialah agar kami mengetahui apa itu etika dalam berbicara. Pertemuan selanjutnya, kami mendapat kesempatan debat dengan mosi bebas. Pasangannya boleh ditentukan sendiri asal benar-benar menyiapkan performa terbaik. Lalu setelah debat berakhir, tugas selanjutnya ialah berpidato secara bergiliran hingga pertemuan terakhir. Sebagai project atau tugas akhir, lagi-lagi harus ada sebuah penampilan. Baik itu drama, pidato, atau debat.
Dosen praktisi kedua tak kalah hebat dari praktisi pertama. Beliau bernama Ibu Raudhatul Jannah MPd, memegang mata kuliah Dasar-Dasar Menulis bersama dosen pengampu, Pak Hendra Kasmi MPd. Pada pertemuan pertama, beliau sudah mengajarkan banyak hal mendasar dalam dunia kepenulisan, tetapi sering diremehkan. Hal-hal semacam tanda baca, kalimat efektif, dan kesesuaian paragraf harusnya kami pelajari dari awal selaku mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia.
Apalagi saya sudah mulai mencicip pinggiran dunia baru sebagai seorang novelis sebelum memutuskan masuk kuliah. Namun, sayangnya selama ini saya dan rekan-rekan cenderung abai. Di dalam pikiran kami, yang penting menulis dan si pembaca paham.
Kami juga diajarkan cara menulis daftar pustaka menurut sumbernya. Ternyata, materi yang diambil dari koran, skripsi, jurnal, buku, internet, majalah, atau dari mana saja harus disertakan sumbernya serta tidak boleh asal jiplak saja. Tulisannya pun harus diubah agar tidak sama persis. Selama ini, saat mendapat tugas, saya dan rekan-rekan tidak peduli pada hal demikian. Padahal, ada Undang-Undang Hak Cipta yang melindungi sebuah karya tulis.
Sama halnya dengan mata kuliah Dasar-Dasar Berbicara, Bu Raudhatul pun meminta sebuah tugas akhir, yaitu menulis karya ilmiah populer. Nantinya, tulisan kami akan dicek pada sebuah aplikasi untuk membuktikan keaslian karya tersebut. Tidak sekadar memberikan materi, kami mendapatkan kesempatan menulis sembari mendapatkan koreksi langsung dari dosen praktisi. Ada banyak kesalahan yang ditemukan pada tulisan saya. Padahal, selama ini saya merasa sudah bisa menulis. Ternyata tidak. Hampir saja saya mencampuradukkan antara fiksi dengan opini.
Kehadiran Bu Aini dan Bu Raudhatul membuat saya menyadari pentingnya menguasai elemen dalam berbahasa. Jika saya tidak suka berbicara, paling tidak saya harus bisa melakukannya saat diminta. Lalu sebagai penulis baru yang masih mentah, saya menyadari pentingnya terus belajar ilmu kepenulisan. Tidak hanya menulis apa yang ingin ditulis saja, tetapi harus diimbangi dengan keahlian dasar. Dengan demikian, saya akan menghasilkan sebuah tulisan yang menarik perhatian, indah, rapi, dan mudah dipahami oleh pembaca.
Saya yakin, kehadiran para dosen praktisi memberikan ilmu baru bagi setiap mahasiswa. Oleh karena itu, saya sangat berharap bisa menikmati kembali proses belajar bersama dosen praktisi. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh agar program ini akan terus berlanjut. Dengan demikian, akan banyak generasi berbakat yang lahir dari universitas setelah mendapatkan gemblengan intens dari dosen tetap dan dosen praktisi.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mengasah Keterampilan Berbahasa Bersama Praktisi di UBBG”, https://aceh.tribunnews.com/2023/08/14/mengasah-keterampilan-berbahasa-bersama-praktisi-di-ubbg.