Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Senin 29 November 2021
Melinda Rahmawati, Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA yang mengambil Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di kampus Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh. Melaporkan dari Aceh Besar. Email: melinda.rahmawati7@gmail.com
Satu bulan telah berlalu, ketertarikan saya untuk mempelajari dan menelusuri kultur sosial masyarakat Aceh semakin memuncak dalam hasrat dan pikiran. Satu bulan tersebut memang waktu yang panjang untuk saya lalu sebagai mahasiswa pertukaran yang belum pernah sekalipun merantau ke daerah lain. Namun, dalam kurun waktu tersebut saya dapat mengetahui banyak tempat di Kota Banda Aceh ini dan mengunjungi berbagai tempat menarik yang berada di kota ini. Perjalanan saya juga tidak terhenti di Kota Banda Aceh saja, melainkan saya sudah jauh berjalan hingga daerah Kota Cot Glie, Aceh Besar sana. Tentunya perjalanan tersebut saya lakukan untuk kepentingan penelitian sejarah sekaligus memenuhi hasrat saya untuk mengetahi rentang sosial-budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Tidak berhenti sampai di Kota Cot Glie saja, bahkan saya memutar dari sana ke Lamreh yang posisinya di pinggir laut wilayah Aceh Besar. Sungguh sebuah perjalanan menyenangkan dan sangat berkesan bagi saya.
Teringat perjalanan itu, saya melewati satu perkampungan yang sangat terkenal menyimpan salah satu pusaka milik masyarakat Aceh. Gampong Baet Lamphuot namanya, berlokasi di Kecamatan Suka Makmur – Aceh Besar. Di kampung ini Rencong (Senjata Khas Masyarakat Aceh). Gampong Baet Lamphuot ini sudah sejak lama dikenal sebagai “Kampung Rencong” sebab masyarakatnya memang bekerja sebagai pengrajin rencong. Beragam jenis rencong dapat dibuat disini diantaranya ; Rencong Meupucok, Rencong Meucugek, Rencong Pudoi, dan Rencong Meukuree. Secara umum masyarakat aceh mengenal rencong sebagai simbol keperkasaan dan keberanian ureung Aceh sejak zaman kerajaan dahulu.
Kolaborasi yang menarik antara Program Studi Pendidikan Sejarah UHAMKA dan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dari Universitas Bina Bangsa Getsempena, tidak hanya memberikan pengalaman berharga bagi saya yang berasal dari Program Studi Pendidikan Sejarah, tetapi juga menghadirkan pengalaman dan kesan baru bagi saya dan teman-teman mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Bina Bangsa Getsempena. Saya dan teman-teman melakukan kunjungan langsung ke “Kampung Rencong” ini. Perjalanan kami mulai dari kampus. Dengan mengendarai mobil perjalanan bisa memakan waktu 30 menit.
Setibanya kami di Gampong Baet Lamphuot, kami memang melihat aktivitas masyarakat yang sedang membuat rencong. Ada yang sedang memilah antara besi putih dan besi hitam, ada yang sedang memanaskan besi untuk ditempa menyatukan antar besi yang menjadi bahan baku lalu ditempa agar dapat menyatu secara sempurna, ada yang sedang memanaskan kembali besi yang telah ditempa untuk kembali ditempa membentuk badan rencong yang diinginkan, ada yang sedang menempa kembali untuk membentuk besi panas tersebut untuk membentuk badan rencong yang sudah ditentukan, ada yang sedang menghaluskan batang kayu atau tanduk yang akan digunakan sebagai sarung dan kepala dari rencong ini, ada yang sedang mengukir kayu atau tanduk tersebut sebagai hiasan sesuai jenis rencongnya, dan masih banyak lagi aktivitas masyarakat yang berjalan saat itu.
Kami mencoba mengikuti prosesi pembuatannya dari awal hingga menjadi satu rencong yang utuh sembari dijelaskan secara satu per satu makna dari proses yang dijalani dan bermacam filosofi yang dikandung dalam rencong tersebut. Diantara Rencong Meupucok, Rencong Meucugek, Rencong Pudoi, dan Rencong Meukuree memiliki fungsi dan filosofinya tersendiri, begitupun dengan ukiran dan hiasan yang disematkan pada bagian sarung dan gagang rencong tersebut. Rencong Meupucok ternyata sebuah rencong dengan gagang yang terbuat dari emas murni. Rencong Meupucok ini umumnya dipakai oleh Sultan pada masa Kerajaan dahulu. Sarung rencong ini juga tidak berbahan sama seperti sarung rencong lainnya, Sarung untuk Rencong Meupucok ini terbuat dari gading dan besi nya sendiri terbuat dari emas murni yang berukirkan lafazh ayat – ayat dalam Al-Qur’an. Rencong Meupucok kini hanya dipergunakan pada acara upacara adat atau perihal adat lainnya dan kesenian. Selanjutnya Rencong Meucugek, merupakan sebuha rencong yang gagangnya berbentuk seperti panahan (Bahasa Aceh : Cugek). Rencong ini umum dipakai oleh para Ulee Balang dan para Laksamana/Bentara sebagai senjata yang terselip di samping pinggang atau tertutup lipatan kain. Ini menjadi salah satu strategi menikam tubuh musuh tanpa disadari oleh musuh tersebut. Selanjutnya ada Rencong Pudoi yang tampak berbeda dengan rencong-rencong sebelumnya. Rencong Pudoi (Bahasa Aceh : kurang atau belum sempurna) memiliki bentuk gagang yang lebih pendek dan lurus. Bentuk seperti ini menunjukkan kalua rencong pudoi terlihat belum sempurna bentuknya sebagai sebuah rencong. Terakhir adalah Rencong Meukuree, rencong ini memang terdapat ragam ukiran bermotif hewan atau bunga. Rencong jenis ini biasanya hanya menjadi hiasan saja.
Sejak dahulu, hingga saat ini, rencong menjadi identitas sosial dari masyarakat aceh. Suatu identitas kuat dari rencong ini sendiri adalah gambaran bentuk yang menyerupai lafazh “Bismillahirahmanirahim”, jika diperhatikan dari ujung gagang hingga ke mata pisau. Hal ini yang menyebabkan rencong pada masa dahulu hanya dipergunakan untuk tujuan kebaikan (membela kebenaran) dan terbatas orang-orang tertentu yang memilikinya. Begitupula dengan ukiran potongan ayat suci Al-Qur’an yang diukir pada rencong Meupucok bahwa seorang raja harus mampu memimpin rakyatnya berdasar pada tuntunan Al-Qur’an dan menegakkan hukum berdasarkan adat dan segala yang telah diatur dalam Al-Qur’an serta ‘Ijtima. Tidak dapat dipungkiri bahwa Aceh berjuluk “Negeri Seramoe Mekkah” sebab rakyatnya sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan adat yang juga bersumber dari Al-Qur’an. Bahkan masuk meresap secara mendalam hingga ke seluruh segi dimensi kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Rencong adalah simbol perlawanan masyarakat Aceh dalam membela kebenaran. Dalam retasan sejarah, senjata tajam ini menjadi bukti keperkasaan para pahlawan Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Tgk Chiek Ditiro dalam menghadapi penjajahan. Betapa, rencong telah menghujamkan ketakutan sampai ke tulang sum-sum musuh saat itu yang persenjataannya jauh lebih canggih. Keberanian dan semangat membara untuk berjihad timbul saat tangan para pejuang mengancungkan rencong. Rencong sebagai identitas kultul budaya masyarakat Aceh yang sudah sepantasnya untuk dilestarikan.
Semoga dengan program pertukaran mahasiswa merdeka ini akan lebih banyak lagi perguruan tinggi luar Aceh yang dapat mengeksplorasi budaya, tradisi, adat-istiadat, serta sejarah dari masyarakat aceh. Karena tanggung jawab menjaga itu semua tidak semata-mata tanggung jawab masyarakat aceh saja, tetapi tanggung jawab seluruh generasi muda Indonesia dimanapun kita berada.