Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Rabu, 8 November 2023
Melinda Rahmawati, mantan peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Anggota Nasyiatul Aisyiyah DKI Jakarta, melaporkan dari Banda Aceh
Tidak ada yang menyangkal tentang sejarah Kepulauan Nusantara sebagai “tanah harta karun” incaran para pedagang internasional era abad ke-5 Masehi. Selanjutnya, kesadaran para raja dan penguasa di Pulau Jawa mengenai perdagang antarpulau membuat geliatnya semakin meningkat.
“Harta karun” incaran para pedagang internasional itu yang awalnya hanya berada di wilayah timur Nusantara, lalu meluas hingga ke wilayah tengah, barat, dan Semenanjung Malaka saat itu. Saat Kapulauan Nusantara menjadi hidup berkat lalu lintas perdagangan internasional, selanjutnya menghidupkan pertukaran budaya melalui berbagai cara hingga akhirnya membentuk akulturasi dan asimilasi budaya di antara mereka turut menambah catatan sejarah di persada ini.
“Harta karun” incara mereka seperti cendana, lada, pala, cengkih, dan bermacam rempah lainnya menjadi titik awal hadirnya keinginan untuk menguasai “lumbungnya”. Kehendak manusia untuk menguasai membuka babak baru dalam sejarah Kepulauan Nusantara ini yang disebut masa imperialisme dan kolonialisme.
Di masa itu, darah manusia bercucuran dan mengalir sangat deras untuk membebaskan tanah kepunyaannya dari penguasaan bangsa asing yang licik. Perpecahan terjadi di mana-mana dan akhirnya “lumbung rempah-rempah” itu telah dikuasai selama berabad-abad lamanya.
Sejalan guliran waktu, narasi sejarah tentang rempah-rempah yang menjadi harta karun itu mulai memudar dan hanya tersimpan saja sebagai sebuah catatan sejarah belaka. Kemerosotan moral dan kesadaran nilai nasionalisme tentang bangsa yang kaya ini menurun akibat generasinya enggan untuk berkaca dari sejarah dirinya. Padahal, hakikat fundamental dari sejarah adalah melihat masa lalu untuk memperbaiki diri di masa kini, dan kemudian menyiapkan masa depan dengan lebih baik. Demikian motivasi saya untuk terus membumikan sejarah dan memberikan potret refleksi diri dari cermin sejarah untuk masa depan yang lebih baik.
Dalam kesempatan saya menempuh studi Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, saya kembali berupaya untuk membumikan dan menghidupkan kembali layar perjalanan tentang sebuah tumpukan harta karun dari abad ke-5 tersebut.
Kota Jakarta yang dulunya bernama Batavia, hidup sebagai kota perdagangan hingga selanjutnya juga berperan sebagai pusat pemerintahan. Sejak VOC menguasai perdagangan di Kepulauan Maluku Utara pada abad ke-15, kemudian merebut Kota Jayakarta pada tahun 1619, maka seluruh barang dagangan dan proses sirkulasinya dijalankan di Batavia.
Kota Batavia sejak saat itu hidup dengan kemegahan bangunan bercorak Eropa, pola hidup Bangsa Eropa hingga bermacam pembauran budaya yang terjadi antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal menambah warna yang hidup di tanah ini. Hingga hari ini, warna-warni dan hiruk-pikuk kesibukan masa lalu dapat kita rasakan ketika kita berkunjung ke kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Sama halnya yang terjadi di daerah lain yang berkedudukan sebagai lumbung rempah, salah satunya adalah Aceh.
Melalui perhelatan akbar lima tahunan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8 tahun ini, saya serasa seperti sedang membuka kembali gulungan demi gulungan catatan sejarah mengenai Kepulauan Nusantara sebagai lumbung rempah yang amat besar.
Tidak habis terpikirkan oleh saya kemegahan tanah ini di masa lalu. Termasuk kemegahan Kesultanan Aceh Darussalam yang sangat memiliki kontribusi besar dalam bentangan catatan jalur rempah Nusantara.
Sebagai negeri penghasil lada, pala, cengkih, nilam, serai wangi, hingga kemenyan India membuat kesultanan yang berada di paling ujung dari Pulau Sumatra ini semakin dikenal dalam lintasan perdagangan internasional.
Dilansir dari situs resmi pekankebudayaanaceh.com, pagelaran kebudayaan yang mengusung tema “Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” ini akan diisi dengan pelbagai lomba seni, seminar internasional, dan peragaan kebudayaan dari 23 kabupaten se- Aceh. Tentu saja dengan mengusung tema mengenai jalur rempah, peran negeri yang kental dengan syariat Islamnya ini menunjukkan catatan yang telah dituliskan sebagai salah satu negeri perniagaan rempah terbesar. Termasuk juga dengan kemegahan budayanya yang beragam, sangat menambah kekayaan khazanah bumi para syuhada ini.
Sungguh, saya secara pribadi sulit mengungkapkan kemegahan tersebut dalam rangkaian kata-kata. Karena, betapa kuatnya budaya mengajar dalam diri masyarakat Aceh, membuat warisan para indatu tersebut tidak lekang meski telah berganti zaman sekalipun.
Rangkaian kegiatan yang berlangsung dari tanggal 4 hingga 12 November 2023 ini sangat beragam dan menarik, di antaranya, pawai budaya, seminar internasional, business matching, pertunjukan/perlombaan seni, pameran dan ekspo, pasar tradisional dan produk budaya, festival kuliner, lomba permainan rakyat, festival adat budaya, festival busana, dan anugerah budaya untuk para pelaku kebudayaan di Provinsi Aceh.
Saya sangat bersyukur akhirnya dapat ikut serta dalam pesta besar lima tahunan yang semakin memperkenalkan warisan indatu moyang ini. Saya semakin terus dapat merefleksikan diri dan bercermin dari setiap peninggalan tersebut. Sekalipun memang saya tidak ada garis keturunan dari etnis Aceh, akan tetapi setelah saya melakukan kajian terhadap salah satu peninggalan indatu moyang yang monumental, yakni meneliti Hikayat Prang Sabi untuk skripsi saya, telah mengubah pandangan saya tentang Aceh.
Saya sangat setuju jika pergelaran budaya ini tidak hanya sekadar untuk menaikkan nilai pariwisata Aceh di level Nusantara dan internasional. Lebih daripada itu, PKA hadir sebagai bentuk konsistensi antargenerasi dalam menjaga, melestarikan, dan memperkenalkan setiap warisan indatu moyangnya. Merasa bangga dengan identitas budaya yang sudah mengakar kuat dan terus merefleksikan diri dari setiap nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
Sebuah gulungan sejarah kemegahan sebuah kerajaan besar yang telah berdiri berabad-abad silam bersama dengan kejayaan perdagangan rempah-rempah dari berbagai daerah di Nusantara. Hingga pada akhirnya rempah-rempah tersebut bagaikan “harta karun” paling berharga yang saling diperebutkan hingga terjadinya kolonialisme.
Betapa rasa syukur tidak terhingga kepada Allah Swt. yang telah mengantarkan saya untuk mengenal tentang kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Dan, kini dapat turut serta menikmati gemerlapnya kemegahan dan keanggunan pusaka yang ditinggalkan dan dilestarikan hingga kini.
Setelah gulungan sejarah jalur rempah dan kemegahan Kesultanan Aceh Darussalam selesai saya baca, semakin saya mengerti betapa pentingnya menjaga budaya dan merefleksikan Sejarah, khususnya mengenai Jalur Rempah Nusantara.
Sesuai dengan kalimat terakhir dalam lagu tema PKA ke-8 ini, “Lestarikanlah budaya, majukan pariwisata. Pekan Kebudayaan Aceh dari Aceh untuk dunia, dari Aceh untuk semua”. Dengan melestarikan budaya lokal, kita semua dapat terus memajukan industri pariwisata. Dari Pekan Kebudayaan yang dihelat sejak tahun 1958 ini, Aceh mempersembahkan wajah yang sesungguhnya kepada masyarakat dunia .
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Membuka Gulungan Jalur Rempah di PKA Ke-8”, https://aceh.tribunnews.com/2023/11/08/membuka-gulungan-jalur-rempah-di-pka-ke-8?page=all.