Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Jumat, 26 Mei 2023
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh, serta novelis, melaporkan dari Sukamakmur, Aceh Besar
Setiap kita melewati jalan lintas Medan-Banda Aceh, pasti ada satu pemandangan gagah yang menakjubkan. Tak ada seorang pun tak melihatnya. Tepat di depan simpang Gampong Aneuk Galong Titi, berdiri sebuah replika pesawat tempur berjenis Hawk 200 di atas sebuah tiang beton.
Pesawat tersebut merupakan milik TNI Angkatan Udara yang menjadi saksi bisu atas kehebatan salah satu putra Aceh kelahiran Aneuk Galong, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Aceh Besar, pada tanggal 14 Mei 1929.
Berjarak sekitar 10 km dari jantung Kota Banda Aceh, pesawat itu berdiri kokoh sejak 15 tahun lalu.
Sebelum menelusuri lebih lanjut terkait asal-usul monumen itu dibangun, masyarakat Aceh harus terlebih dahulu mengenal sosok yang mengharumkan nama Aceh lewat kemampuannya di dunia penerbangan. Maimun Saleh, namanya. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara, buah cinta dari pernikahan antara Teungku HM Saleh dan Aisyah. Empat saudaranya bernama Hasballah, Abasyah, Hadisyah, dan Teungku Faisal.
Maimun Saleh kecil tumbuh di sebuah rumah panggung sederhana di Gampong Aneuk Galong Titi. Sejak kecil, ia telah digembleng melalui pendidikan agama di surau (meunasah) setempat. Setelah cukup usia, Maimun Saleh dimasukkan ke Taman Siswa di Koetaradja untuk pendidikan dasarnya. Begitu dinyatakan lulus, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Islam. Tak ingin berhenti belajar, Maimun Saleh mencoba peruntungan dengan mendaftar di Sekolah Penerbangan Koetaradja.
Tak lama belajar di sana, Maimun Saleh dipindahkan ke sekolah penerbangan yang berada di Kalijati, Subang, Jawa Barat, pada tahun 1950 hingga selesai. Maimun Saleh menerima ijazah sebagai penerbang kelas tiga pada tanggal 1 Februari 1951. Saat itu hanya ada lima siswa yang dinyatakan lulus, yakni Maimun Saleh, Abu Bakar, Muchtar, Teuku Zainal Abidin, dan Teuku Iskandar.
Rekannya, Teuku Ali Zainal Abidin melanjutkan pendidikan penerbangan ke Amerika Serikat, sedangkan Maimun Saleh memilih bergabung dengan Skuadron IV (pengintai darat).
Usianya masih muda, semangat di dalam diri membara tak habis-habisnya sehingga Maimun Saleh melakoni semua tugas di kesatuan dengan amat sangat baik.
Pada hari Jumat, 1 Agustus 1952, Maimun Saleh yang masih berpangkat Sersan Udara dinyatakan gugur pada usia 23 tahun, tepat setahun setelah ia bergabung di kesatuan tersebut.
Pesawat intai Auster IV R-80 yang dia kemudikan mengalami kecelakaan di Pangkalan Udara Semplak, Bogor, Jawa Barat. Kecelakaan yang menewaskan pilot muda berbakat asal Aceh ini terjadi saat latihan rutin atas komando Pangkalan Udara Semplak. Pangkat Maimun Saleh saat meninggal adalah Mayor Udara. Namun, karena gugur dalam tugas, ia dianugerahi kenaikan pangkat luar biasa menjadi Sersan Mayor Udara.
Sehari setelah kecelakaan, jenazah almarhum Maimun Saleh dibawa dengan pesawat dari pangkalan udara Cililitan ke Aceh, dan dimakamkan di sana. Lokasi makam Maimun Saleh terletak di Gampong Aneuk Galong Titi, menuju arah jembatan Aneuk Galong yang merupakan perbatasan antara Kecamatan Sukamakmur dengan Kecamatan Montasik. Menjelang HUT TNI-AU, biasanya diramaikan oleh TNI Angkatan Udara yang melakukan ziarah. Kegiatan itu bertujuan untuk mendoakan serta meluapkan rasa terima kasih terhadap jasa para pahlawan. Siawali penghormatan, kemudian dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga, lalu diakhiri dengan tabur bunga.
Satu hal yang perlu dicatat baik-baik oleh masyarakat sekitar, yaitu Aceh merupakan satu-satunya daerah yang mendapatkan pesawat tempur sebagai monumen sekaligus penghargaan atas jasa-jasanya pada Indonesia. Rasa bangga akan tumbuh semakin besar, jika menyadari Maimun Saleh merupakan seseorang yang berasal dari Aceh, salah satu daerah yang dianggap terpencil dan terbelakang. Namun, ia mampu menjadi penerbang pesawat tempur kelas nasional. Tentu saja prestasi itu mampu mengangkat nama daerah. Meskipun dianggap daerah yang tidak maju, nyatanya pesawat tempur tersebut menjadi bukti fisik kehebatan rakyat Aceh pada masa itu.
Usut punya usut, nama Maimun Saleh tak hanya melekat kuat pada burung besi tersebut. Nama harumnya juga diabadikan sebagai nama Lapangan Terbang Militer Lhoknga dan Database AURI Banda Aceh pada tanggal 9 April 1954. Namun, setelah pembangunan Bandara Sultan Iskandar Muda rampung, lapangan Lhoknga mulai ditinggalkan. Selain itu, nama Maimun Saleh juga menjadi landasan udara di Cot Bak U, Sabang. Slogan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan tak hanya sekadar ucapan kosong belaka. Rasa cinta tanah air beserta para pejuang diwujudkan dalam berbagai rupa, salah satunya penggunaan nama mereka di berbagai fasilitas negara.
Fakta menariknya adalah pesawat tempur yang telah purna dari dunia penerbangan itu bukanlah tiruan atau replika, melainkan pesawat asli. Diletakkan pada bulan Januari 2008, tetapi baru diresmikan oleh Marsekal Muda Edy Suyanto ST pada 24 September 2010. Sebelum dijadikan sebagai tugu, pesawat ini masih aktif digunakan. Namun, akibat mengalami kecelakaan di Pekanbaru pada tahun 2003, beberapa bagian tubuhnya retak. Meskipun terlihat masih bagus, keretakan tersebut menyebabkan malfungsi sehingga tidak bisa diterbangkan lagi.
Ide membawa pesawat tempur itu ke Aceh dan dijadikan monumen dicetuskan oleh Marsekal Udara Teuku Syahril, Komandan Operasi Udara I. Berkat kerja sama antara Pemkab Aceh Besar dan rakyat Aceh, gagasan itu berhasil diwujudkan. Prosesi peletakan pesawat tempur yang merupakan buatan Inggris tahun 1980-an memakan waktu tiga jam lebih. Dilakukan oleh sejumlah personel dari Landasan Udara Sultan Iskandar Muda serta dipimpin langsung oleh Danlanud SIM, Letkol Pjb Fachry Adamy. Pukul 17.30 WIB pesawat itu terpasang sempurna.
Telah lama sekali benda itu menjadi saksi bisu berbagai jenis kendaraan berlalu lalang dari Medan ke Banda Aceh. Pun berbagai aktivitas warga Sukamakmur dan Montasik yang melewatinya. Ada efek positif akibat adanya keberadaan pesawat tempur itu. Akibat tikungannya yang tajam, sering terjadi kecelakaan setelah dibuai oleh jalanan lurus selama beberapa saat. Terutama para sopir dam truk, minibus berjenis L300, dan Hiace. Keberadaan keberadaan pesawat ini mampu mengurangi persepsi negatif ‘simpang maut’ terhadap tempat itu.
Meskipun terlihat kokoh dan gagah, Pemerintah Aceh diharapkan memberikan perhatian lebih terhadap tugu pesawat tersebut. Selain itu, makam Sersan Mayor (Anumerta) Maimun Saleh harus senantiasa dijaga agar keberadaan kedua tempat bersejarah tersebut tetap lestari. Alangkah bagusnya jika nama Maimun Saleh diabadikan sebagai nama jalan menggantikan nama jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dengan begitu bukti nyata betapa berjasanya Aceh terhadap Indonesia bisa dilihat oleh anak cucu sampai kapan pun.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Maimun Saleh, Pilot Pesawat Tempur Pertama dari Tanah Rencong”, https://aceh.tribunnews.com/2023/05/26/maimun-saleh-pilot-pesawat-tempur-pertama-dari-tanah-rencong.