Mahasiswi PMM asal Ternate Kagumi Khanduri Laot di Aceh

20 Desember 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Rabu, 20 Desember 2023

AINAYA RAHAYAU, Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara, sedang ikut Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 3 di Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Gampong Jawa, Banda Aceh.

Sebagai mahasiswa Pertukaran Merdeka dan sekaligus pendatang di Aceh, saya sangat penasaran akan kebudayaan Aceh. Saya juga sangat senang bisa ikut dalam kegiatan khanduri laot (kenduri laut) di Gampong Jawa, yang dikenal sebagai titik 0 Km Banda Aceh.

Kegiatan ini merupakan salah satu acara untuk memeriahkan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 8 Tahun 2023. Khanduri laot merupakan salah satu kebudayaan Aceh yang masih hidup di Gampong Jawa dan terus dipertahankan agar tidak punah.  Tradisi ini juga diperkenalkan kepada kaum muda Aceh, bahkan kepada tamu seperti kami yang kini menjadi mahasiswa tamu di Aceh.

Luar biasa sekali pengalaman yang saya dapatkan dalam mengikuti kegiatan ini, karena saya berasal dari Kota Ternate, Maluku Utara, yang notabene pekerjaan masyarakatnya adalah nelayan. Jadi, saya sangat tertarik dan penuh antusias saat melihat langsung prosesi khanduri laot di Gampong Jawa.

Saya dan teman-teman kelas B Rencong melakukan kelas Modul Nusantara di Gampong Jawa, Banda Aceh. Saya  melihat langsung kegiatan khanduri laot ini, yang para nelayan setempat menangkap ikan menggunakan pukat atau jaring.

Kami juga terjun langsung dan ikut serta menarik pukat darat bersama para nelayan dan masyarakat di titik 0 Km Banda Aceh.

Proses menarik pukat berlangsung sangat meriah dan mengundang antusiasme dari Mahasiswa Pertukaran dan masyarakat setempat.

Tentunya penarikan pukat darat ini merupakan momen paling berkesan yang pernah saya rasakan. Ternyata menarik pukat tidak semudah yang saya bayangkan. Menarik pukat ini, harus mempunyai tekad yang kuat, juga fisik yang kuat. Karena pukat yang ditarik sangatlah panjang. Jadi, dibutuhkan usaha yang kuat.

Pada saat menarik pukat, telapak tangan saya sakit dan sangat merah. Hal ini mungkin karena saya tak terbiasa melakukannya. Oleh karena itu, saya sangat salut pada kaum nelayan di 0 Km Banda Aceh yang bekerja dengan senang hati dan tak banyak mengeluh atas pekerjaan mereka.

Saya sangat bersyukur dengan adanya para nelayan, karena kami bisa dengan sangat mudah memakan ikan segar dari laut. Kalau bukan karena jasa mereka mungkin akan sangat sulit bagi kita bisa makan ikan segar.

Setelah selesai menarik pukat, kami mendapatkan banyak ikan segar. Ikan ini dibagi-bagi kepada kami mahasiswa dan warga lainnya yang ikut serta dalam menarik pukat darat ini.

Sebelum proses menarik pukat darat ini, ada beberapa ritual yang dilakukan para nelayan.  Mereka harus berdoa kepada Allah untuk meminta perlindungan dari marabahaya yang mngancam di laut. Selain itu, hal ini juga merupakan cerminan dari keimanan para nelayan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Setelah melakukan ritual doa ini, para nelayan pun berlayar ke laut untuk melepaskan pukat atau jaring. Kemudian pukat atau jaring didiamkan beberapa jam. Setelah sudah cukup lama berada di lautan, pukat itu pun ditarik nelayan bersama-sama ke daratan.

Penarikan pukat ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan punya cara yang unik dan menarik. Yaitu, gaya tarik yang dilakukan para nelayan hampir semuanya sama. Pukat ditarik dengan gerakan kaki dan tangan yang bersamaan. Awalnya saya merasa aneh melihatnya, tapi ternyata inilah salah satu keunikan sekaligus kunci keberhasilan pukat dapat didaratkan di pantai Gampong Jawa.

Tarik pukat darat dilakukan dengan gaya tarik yang tidak terburu-buru. Ya, seperti ada irama yang ritmis dalam proses penarikan ini: tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat.  Sungguh betapa luar biasanya para nelayan dalam melakukan pekerjaan mereka, bekerja keras dan tidak mudah mengenal kata lelah dan menyerah. Meski matahari begitu terik dan cuaca yang sangat panas tidak menjadi kendala bagi mereka untuk tetap semangat mencari nafkah dari laut.

Hal ini manjadikan saya lebih bersyukur atas nikmat hidup yang diberikan kepada saya, memberikan saya pengalaman baru, bahwa hidup butuh perjuangan dan kerja keras agar apa yang kita inginkan bisa tercapai.

Setelah mendapat ikan dari hasil tarik pukat ini, dilanjutkan dengan khanduri laot oleh para nelayan dan masyarakat, yakni makan-makan bersama dari hasil tangkapan. Ikannya dimasak di tempat secara langsung untuk bekal makan bersama. Selain gulai dan goreng ikan, ada juga menu lain yang dihidangkan, yakni kuah beulangong (gulai kari daging).

Khanduri laot ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih para nelayan atas rezeki berupa aneka ikan yang diberikan Allah, juga atas keselamatan selama melaut.

Khanduri laot ini juga merupakan wahana untuk mempererat tali silaturahmi antara para nelayan dan masyarakat setempat melalui acara makan bersama.

Hal ini menjadikan pembelajaran juga bagi kaum muda, khususnya bagi pemuda Aceh agar tetap menjaga dan melestarikan tradisi khanduri laot ini agar tak punah pada generasi berikutnya.

Dari kegiatan khanduri laot ini saya banyak sekali mendapat pengetahuan baru, wawasan baru, dan pengalaman baru tentunya. Yaitu, dapat mengetahui budaya dari khanduri laot di Titil Nol Kilometer Banda Aceh.

Saya melihat langsung para nelayan bekerja keras dalam menangkap ikan. Saya juga mendapatkan pengetahuan baru dan pengalaman pertama dalam menarik pukat darat. Saya juga mendapatkan pengalaman pertama makan bersama dengan masyarakat di Gampong Jawa, Banda Aceh.

Selain kegiatan khanduri laot, ada juga kegiatan pendukung lain yang ditampilkan, yakni tarian tarik pukat yang ditampilkan oleh pemuda-pemudi Aceh. Tarian ini dipentaskan dengan sangat memikat dan kompak antara anggota tim. Ada juga penampilan pantun-pantun, nasihat, syair-syair, atau gurindam dalam bahasa Aceh. Ini merupakan pengalaman pertama saya mendengarkan nasihat-nasihat dalam bahasa Aceh, yang dilantunkan dengan sangat indah didengar. Saya sampai terkagum-kagum pada beberapa fragmen budaya Aceh yang ditampilkan di pantai Gampong Jawa itu.

Pesan saya kepada seluruh masyarakat Aceh dan juga generasi muda seluruh Indonesia, marilah kita jaga kebudayaan dan tradisi masing-masing daerah, dengan mempertahankan budaya tersebut agar tidak punah. Hal ini menjadikan salah satu identitas dari suatu daerah.

Jaga dan lestarikanlah budaya khanduri laot ini agar anak cucu kita kelak bisa mengetahui, menyaksikan, dan merasakannya, di samping bisa menjadi hal yang pantas kita banggakan kepada masyarakat di daerah lain.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Mahasiswi PMM asal Ternate Kagumi Khanduri Laot di Aceh”, https://aceh.tribunnews.com/2023/12/20/mahasiswi-pmm-asal-ternate-kagumi-khanduri-laot-di-aceh?page=all.

Bagikan
Skip to content