Oleh: Intan Kemala Sari
Suatu pagi beberapa menit menjelang jam masuk kantor, dalam suasana hujan rintik-rintik di sebuah perempatan lampu merah yang padat di Kota Banda Aceh, sebuah sepeda motor melaju kencang dan menerobos barisan kendaraan lain yang sedang menunggu aba-aba yang mempersilakan jalan dengan tanda hijau. Pemandangan ini tidak lagi menjadi langka terutama pada jam-jam kritis. Kalau kita ingin menanyakan alasan mereka sang penerobos satu per satu, mungkin akan ditemukan suatu jawaban yang mayoritas yaitu “saya buru-buru”. Mungkin alasan ini yang menjadi tameng pembenaran untuk tindakan-tindakan yang bersifat di luar aturan. Tak peduli mereka berseragam, atau sekali pun membawa anak-anak, tindakan ini bisa saja telah menjadi kebiasaan. Pernahkah kita berpikir sikap apa yang telah kita ajarkan kepada anak kita ketika melakukan pelanggaran itu?
Mungkin kita bisa berdalih, ah anak-anak pada usia itu belum mengerti. Katakanlah anak-anak ada usia tertentu memang belum dapat menyuarakan tindakan salah atau benar. Namun, di dalam sistem koordinasi otaknya ada semacam sensor yang merespon suatu tindakan apabila sudah biasa dilakukan, berulang-ulang, apalagi oleh orang dewasa, makabukan lagi suatu kesalahan alias sudah lumrah. Hanya saja, pada usia tertentu, anak-anak belum mampu say yes or no. Hari berganti, bulan berlalu, tahun bertukar, usia pun bertambah. Namun perbuatan terobos menerobos, mengerdilkan rasa sabar dan mengedepankan keegoisan belum berhenti. Pada saat itu apa yang mendarah daging pada si anak? Tanpa sadar akhirnya terbentuk pola pikir bahwa, mungkin tidak apa-apa menerobos asal ada alasannya, mungkin tidak apa-apa menerobos asalkan tetap berhati-hati.Tidak apa-apa asalkan, asalkan, dan asalkan. Yang pening ada alasan sebagai argument pembenaran.
Mungkin bagi orang tua yang tidak melanggar lampu merah agak sedikit lega karena setidaknya perbuatan ini tidak dialami oleh anaknya. Namun yakinkah kita bahwa sekali pun kita telah menjaga sikap agar anak tidak mengalaminya benturan aturan semacam itu, namun paling tidak pernah menyaksikan aksi tersebut di jalanan, anak kita tidak ikut terkontaminasi dengan pemandangan semacam itu?
Sederhana saja, memang menerobos lampu merah bukanlah tindakan kriminal berat. Namun, sadarkah kita bahwa ini merupakan masalah pembentukan karakter? Ini baru satu masalah saja. Masih banyak masalah-masalah yang disepelekan lainnya yang sebetulnya berpotensi menjadi pembentuk karakter yang menyimpang dan menjadi sikap pembiasaan di lingkungan masyarakat.
Padahal sebagai orang tua, tentunya kita mengharapkan memiliki anak-anak yang berkarakter baik. Berbagai cara kita lakukan, termasuk mendaftarkannya di sekolah-sekolah yang berbasis karakter. Di sana kita titipkan anak-anak kita dengan harapan guru-guru dapat membentuk karakter baik. Apapun bentuk pendidikannya, diserahkan kepada guru dan orang tua semestinya berhak “terima beres” karena sudah banyak mengucurkan dana untuk pendidikannya. Di sinilah kita lupa peran kita sebagai orang tua dan peran kita sebagai masyarakat. Pada akhirnya, apapun bentuk kesalahan pendidikan, maka yang mendapat “training” adalah gurunya, termasuk kesalahan karakter karena guru tidak membiasakan pembelajaran berbasis masalah yang menurut beberapa hasil penelitian dapat membangun sikap kerjasama, saling menghargai pendapat, gotong royong, mengayomi, memecahkan masalah, dan masalah-masalah karakter lainnya.
Dalam suatu studi penelitian pendidikan ditemukan bahwa karakter belajar siswa sekolah menengah di Banda Aceh banyak mengalami pergeseran. Padahal dalam penelitian pendidikan sedang maraknya diupayakan pembelajaran berbasis karakter. Bagaimana mungkin ini akan berhasil membangun karakter yang baik jika hanya 6-7 jam saja anak belajar di sekolah sementara selebihnya berada di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Sangat tidak adil bagi kita jika lepas tangan dan menutup mata dari keadaan ini. Apalagi menempatkan guru sebagai satu-satunya praktisi yang beranggung jawab atas semakin buruknya karakter anak didik.
Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?
Pada sisi pembuat kebijakan, banyak hal yangtelah dilakukan, mulai dari penyempurnaan kurikulum, penyesuaian sistem evaluasi nasional, bahkan acuan untuk prestasi-prestasi ditingkat nasional dan internasional. Pada sisi pemerhati pendidikan telah banyak dilakukan pengembangan disain-disain pembelajaran yang konstruktivis, kooperatif, berbasis masalah, dan lain sebagainya. Apa lagi pada tingkat guru, sudah kenyang dengan pelatihan, pembinaan, dan pengawasan baik administratif maupun operasional. Bagaimana dengan peran kita sebagai orang tua dan masyarakat? Apakah kita sudah mengambil bagian dalam keberhasilan pendidikan generasi muda kita? Apakah sikap kita misalnyaperilakudijalanansajasudahmencerminkantanah yang religius dan penuh dengan penjunjungan atas khazanah budaya berbasis islami?
Tahukah kita bahwa siswa kita kini cenderung ingin instan, ingin cepat bisa, ingin cepat siap, ingin nilai tinggi, tanpa harus bercapek-capek. Mereka bukan mengukur apa yang telah mereka pahami dari pembelajaran hari ini, tapi mereka mengukur berapa nilai yang dipontenhari ini. Karakter ini terbentuk bukan tanpa alasan, karena kebanyakan orang tua dirumah “menagih” hasil nilai hari ini untuk mengukur kemampuan anaknya. Padahal bisa saja nilai yang didapat bukan dari proses atau tahapan belajar yang semestinya dilalui anaknya pada hari ini.Mungkinsajasistemkoordinasi otaksudahmenjalartentang “yang pentingadaalasan” menjadi “yang pentingdapatnilaitinggi”.
Analisis ini bisa jadi masih pada tingkat asumsi “mungkin”. Namun pembentukan karakter excellence pada anak bangsa pelanjut cita-cita negara yang diisi dengan budi luhur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya adalah harga mati.
Apakah kita akan nyaman dengan keadaan ini?
Jawabannya ada pada kita, baik selaku pembuat kebijakan, praktisi pendidikan, guru, orang tua, bahkan mungkin masyarakat kecil. Bahwa anak-anak ini adalah amanah kita, begitu juga dengan pendidikannya adalah tanggung jawab kita.
Sebenarnya tanggung jawab pendidikan generasi muda ini dapat kita perbaiki besama. Asal setiap peran mengambil porsinya masing-masing sekali pun porsi itu kecil. Paling tidak kita bisa mengambil peran sebagai pelaku di jalan raya yang taat aturan baik ketika ada petugas atau tidak. Meski efeknya baru bisa dilihat dalam tempo waktu yang cukup lama, setidaknya tindakan ini dapat menjadi amal jariyah kita dan menenangkan hati pengendara lainnya.
Intan Kemala Sari, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Bina Bangsa Getsempena