Kisah Persahabatan Mataram-Aceh Dalam Sebuah Gentong

3 November 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Kamis, 2 November 2023

Melinda Rahmawati, mantan peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Anggota Nasyiatul Aisyiyah DKI Jakarta, melaporkan dari Jakarta. 

Menuliskan tentang khazanah keacehan memang tidak akan pernah selesai. Menarasikannya saja bagaikan melakukan sebuah “keheningan” yang teramat dalam. Kini, dalam sebuah narasi yang sedang saya susun secara khusus untuk peringatan ulang tahun penobatan atau disebut “Tingalan Jumenengan Dalem” Sri Sultan Hamengkubuwono X, saya kembali menemukan jejak Kesultanan Aceh Darussalam di era Kerajaan Mataram. Tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo yang naik takhta pada tahun 1613.

Sejak awal kepemerintahannya, Kerajaan Mataram mengalami perkembangan yang sangat pesat dari pelbagai segi kehidupan. Pada pemerintahannya juga agama Islam semakin berkembang di tanah Jawa. Dengan menyandang gelar “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram”, Raja Mataram ini memperluas jejaring kerja sama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga Timur Tengah saat itu.

Dalam beberapa tulisan yang sedang saya cermati, terdapat satu upacara tradisi yang dikenal dengan “Nguras Enceh” (Enceh dalam bahasa Jawa berarti gentong) yang terdapat di Makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

Dalam situs resmi bantul.kab.go.id, terdapat empat gentong berukuran besar di sana, yakni: Kiai Danumaya yang berasal dari Kerajaan Palembang, Kiai Danumurti yang berasal dari Kerajaan Aceh, Kiai Mendung berasal dari Kerajaan Turki, dan Kiai Siyem yang berasal dari Kerajaan Siam (Thailand). Keempat gentong tersebut oleh masyarakat sekitar di percaya dapat membawa keberkahan.

Dalam lintasan sejarahnya pada situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, gentong-gentong tersebut merupakan hadiah dari para raja-raja tersebut kepada Sultan Agung yang datang bersilaturahmi dan menjalin kerja sama pada mereka.

Bagi masyarakat pada masa itu, gentong sendiri tidak hanya dapat dipergunakan untuk menyimpan air, tetapi juga sebagai tempat menyimpan padi. Hingga ketika Sultan Agung mangkat, gentong-gentong tersebut ikut dipindahkan ke Makam Imogiri dan diletakkan pada bagian kanan dan kiri pintu masuk kompleks pemakaman.

Saat mengetahui hal tersebut, saya merasa kembali masuk dalam sebuah keheningan “semadi”. Sering terjadi ketika ada pembahasan kronik sejarah yang mengusik rasa ingin tahu saya, dalam penelusuran datanya saya kembali menemukan jejak Aceh masa lalu di sana. Sebagai kerajaan Islam terbesar, Aceh banyak sekali meninggalkan jejak sejarahnya dalam berbagai bentuk. Termasuk salah satunya dalam wujud gentong Kiai Danumurti ini.

Saya coba menelusuri alasan atau makna tersirat lainnya yang menjadikan gentong tersebut sebagai hadiah untuk Sultan Agung. Sebagai sebuah karya kriya yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, gentong telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pada masa lalu. Dalam situs sambiroto-ngawi.desa.id, gentong atau kendi atau tempayan memang difungsikan untuk menyimpan air. Dalam filosofi masyarakat Jawa sendiri, benda berukuran besar tersebut memiliki arti sebagai simbol sumber kehidupan. Demikian juga dengan air yang tertampung di dalamnya juga diartikan sebagai sumber kehidupan bagi seluruh alam. Sebabnya juga upacara tradisi “Nguras Enceh” sebagai perlambang pembersihan diri untuk menampung keberkahan lainnya dan memberikan keberkahan tersebut kepada sesama manusia. Tentu saja melalui filosofi tersebut, persahabatan yang terjalin antara Kerajaan Mataram dengan keempat kerajaan lainnya tidak hanya sekadar hubungan bilateral dan multilateral semata, melainkan secara bersama dapat saling memberikan keberkahan hidup bagi masing-masing rakyat yang dipimpinnya.

Kembali melansir dari situs resmi bantul.kab.go.id, tradisi “Nguras Enceh” ini rutin dilakukan setiap tanggal 1 Sura dalam penanggalan Jawa. Terlebih lagi dikhususkan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Prosesi ini dilakukan oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta secara bersama-sama. Prosesi tersebut tentunya dilakukan di Makam Raja-Raja Mataram yang berlokasi di Pajimatan, Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Dalam rangkaian kegiatannya, upacara ini dimulai dengan menyediakan sesaji dan memanjatkan doa bersama-sama (tahlilan). Sebelumnya juga diadakan kirab budaya yang difasilitasi Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul dan masyarakat Imogiri.

Acara berikutnya dilanjutkan dengan membacakan doa dan permohonan yang diawali dari abdi dalem Keraton Surakarta dipimpin oleh Bupati Juru kunci dari Keraton Surakarta. Kemudian dilanjutkan dengan menguras dua buah enceh (gentong) yakni: Kiai Mendung dan Kiai Siyem. Selanjutnya, giliran abdi dalem Keraton Yogyakarta dipimpin Bupati Juru kunci Purulaya yang melakukan ritual menguras dua buah enceh (gentong) lainnya yakni: Kiai Danumaya dan Kiai Danumurti.

Setelah gentong tersebut dikuras, kembali lagi diisi dengan air bersih secara bergiliran, dimulai dari peserta upacara yang memiliki pangkat atau kasta tertinggi hingga kelompok masyarakat biasa.

Acara pengisian gentong ini menjadi momen yang paling ditunggu oleh masyarakat yang turut menyaksikan prosesi khidmat tersebut. Dalam prosesi pengisian kembali gentong-gentong tersebut, secara di sengaja pengisiannya di buat hingga meluap keluar. Sehingga air yang meluap tersebut dapat diambil atau digunakan oleh siapa saja atau hanya untuk sekadar membasuh wajah. Adapun sebagian masyarakat, khususnya warga di sekitar Imogiri meyakini air luapan dari setiap gentong tersebut memiliki manfaat dan keberkahan.

Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri ini sendiri memang sengaja dibuat oleh Sultan Agung. Tepatnya sejak pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke Kerto pada tahun 1616 M.

Dalam situs resmi jogjacagar.jogjaprov.go.id, disebutkan bahwa Babad Momana menyebutkan pembangunan Kompleks Makam Imogiri di mulai tahun 1554 Saka (1632 Masehi). Kemudian selesai pada tahun 1566 Saka (1645 Masehi). Penggunaan lokasi tersebut sebagai makam dilakukan pertama kali tahun 1644 Masehi, tepat pada saat Sultan Agung mangkat. Sejak saat itu Kompleks Makam Imogiri digunakan sebagai makam Raja-Raja Mataram dan keturunannya.

Secara keseluruhan Kompleks Makam Imogiri di bagi menjadi delapan bagian yang disebut dengan “Astan/Kedhaton”. Seluruh Astana terdiri atas Astana Sultan Agungan, Astana Pakubuwanan, Astan Suwargan, Astan Besiyaran, Astana Saptorenggo, Astana Kaswargan, Astana Kaping Sangan, dan terakhir Astan Kaping Sedasan. Pada Astan Sultan Agungan dan Astana Paku Buwanan terdapat makam raja-raja yang memerintah Mataram sebelum kerajaan tersebut terbagi dua oleh Perjanjian Giyati tahun 1755. Kemudian pada keenam Astana lainnya dibedakan menjadi dua: untuk raja-raja Surakarta yang berada di sayap barat dan untuk raja-raja Yogyakarta yang berada di sayap timur.

Keheningan “semadi” keilmuan saya dalam mengulas kembali jejak-jejak masa lalu era Kerajaan Mataram, hingga kembali menemukan jejak persahabatan mereka dengan Aceh seakan membuat waktu yang berjalan ini terhenti seketika.

Dalam keheningan terlintas pandangan subjektif bahwa Aceh tidak hanya menyertai perjalanan sejarah Indonesia dari masa ke masa, akan tetapi juga menyertai perjalanan hidup saya. Seperti persahabatan Kerajaan Mataram dengan Kesultanan Aceh, persahabatan saya dengan Tanoh Aceh semoga dapat menjadi keberkahan bagi seluruh alam.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Kisah Persahabatan Mataram-Aceh Dalam Sebuah Gentong”, https://aceh.tribunnews.com/2023/11/02/kisah-persahabatan-mataram-aceh-dalam-sebuah-gentong.

Bagikan
Skip to content