Serambi Indonesia, edisi Kamis 27 Mei 2021
Intan Makfirah, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh dan Anggota Unit Kreativitas Mahasiswa (UKM) Jurnalistik kampus setempat, Melaporkan dari Takengon, Aceh Tengah.
Pada lebaran idul fitri beberapa waktu lalu, aku sekeluarga memutuskan untuk melaksanakan hari penuh kemenangan itu di Takengon, Aceh Tengah yang merupakan kampung halaman dari ibu. Akhirnya kamipun berangkat menuju Takengon beberapa hari sebelum lebaran tiba, dengan niat membantu nenekku untuk berkemas dan membersihkan rumah demi menyambut hari yang fitri. Perjalanan dari Banda Aceh menuju Aceh Tengah memakan waktu yang tidak sedikit. Dengan menaiki mobil, kami sekeluarga meluncur ke dataran tinggi Gayo. Keindahan panorama alam dari kota dingin ini memang tiada tara, mataku selalu saja terpana setiap kali menginjakkan kaki kesana. Setelah menempuh sekitar 8 jam perjalanan, akupun tiba di kampung Bale, salah satu desa yang terdapat di Takengon. Saat tiba, hari sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB pagi, kami disambut oleh nenek, Ama, dan sepupu-sepupuku. Ama, adalah panggilan untuk ayah dalam bahasa Gayo, namun kami juga memanggil abang dari ibuku dengan sebutan ini. Setelah sedikit bersih-bersih dan berbincang-bincang, aku segera menuju kamar untuk tidur, udara yang sangat sejuk membuatku menarik selimut yang sangat tebal dan mulai beristirahat.
Seperti niat awal, kami membantu nenek bebersih rumah, kami juga menyiapkan berbagai makanan khas lebaran yang nantinya akan di makan bersama. Setelah beberapa hari. akhirnya, tibalah hari nan fitri, semua terlihat sangat bahagia dan bersuka cita menyambut hari kemenangan. Setelah mandi, kami memakai baju baru, dan mukena untuk segera menuju ke lapangan luas tempat melaksanakan shalat i’ed. Takbir berkumandang, sepanjang jalan terlihat orang-orang muslim memakai mukena, ada pula yang berbaju koko dan menggunakan sarung, semua menuju tempat yang sama. Usai shalat i’ed, seluruh keluarga besar dari ibuku berkumpul di rumah nenek, kami mulai sungkem dan memohon maaf, lalu dilanjutkan dengan makan lontong bersama. Kopi Gayo juga tak ketinggalan di hidangkan, aromanya menyeruak memenuhi dapur, semua terlihat sangat bahagia.
Keesokkan harinya, saat hari raya kedua, para abang sepupuku pergi membeli ikan mujahir, tidak sedikit, mereka membeli sampai berbaskom-baskom. Hal ini memang rutin kami lakukan setiap kumpul keluarga, membeli ikan yang banyak lalu memasaknya bersama-sama dan selanjutnya dinikmati bersama. Ikan mujahir yang besar-besar itu lalu mereka bersihkan, para ibu dan anak gadis menyiapkan bumbu untuk memasaknya. Siang ini kami akan memasak Asam Jing, makanan khas Gayo yang sangat nikmat untuk disantap, terlebih saat bersama-sama. Bumbunya sangat sederhana, bahkan mudah ditemui, yakni terdiri dari cabe rawit, cabe merah, bawang merah, bawang putih, belimbing wuluh, kunyit, dan daun jeruk. Bahan tersebut kemudian dihaluskan dan dimasak bersama ikan mujahir tadi. Selagi para ibu-ibu menyiapkan bumbu, aku dan kakak sepupu menyiapkan berbagai peralatan makan, semua berbaur dan bercengkerama ria sambil mengerjakan pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar suara tawa atau suara para keponakanku yang sibuk bermain kesana-kemari.
Abang-abangku masih dengan kesibukannya, membersihkan ikan yang sangat banyak itu. Aku dan kakak sepupu sesekali mengganggu pekerjaan mereka, lalu berlalu pergi saat sudah merasa jenuh. Usai ikan dibersihkan, mereka menyiapkan kayu bakar dan wajan yang sangat besar, kegiatan ini di lakukan di belakang rumah Pak Kul ku, sebutan untuk abang pertama ibuku. Ya, kami tidak memasak di rumah nenek, karena halaman pak kul jauh lebih luas, dan menyediakan pemandangan indah danau Lut Tawar, terlihat jelas dari halaman belakang rumah pak kul. Kami mengambil bumbu yang telah disiapkan dan mulai mencampurnya dengan ikan, lalu memasaknya diatas api yang membara, tak lupa air juga dimasukkan sebagai kuah bagi masakan ini. Aroma nikmat tercium, membuat rasa lapar di perutku, terlebih dengan kesejukan kota ini. Sambil menunggu ikan masak, kami menghabiskan waktu dengan berbagi kisah masing-masing, tentang abang sepupuku yang telah bekerja, kakak sepupu yang telah selesai kuliah, tentang aku yang sedang menunggu jadwal sidang, sampai tentang keponakanku yang baru tiba di dunia sembilan bulan lalu. Selama kurang lebih setahun tidak berjumpa, tentu banyak kisah yang bisa dibagikan.
Tak terasa, Asam Jing telah siap, kami membawa masuk masakan berkuah kuning tersebut ke dalam rumah, dan mulai menghidangkannya ke dalam wadah-wadah kecil. Tak ketinggalan, aku juga mengulek terasi sebagai pembangkit selera dan penambah kenikmatan. Bahkan sepupuku menggoreng ikan asin yang aromanya membuat perut keroncongan. Nasi hangat telah ada di piringku, lalu ku siram dengan kuah Asam Jing yang menggiurkan, tak ketinggalan ikan mujahir yang besarnya menutupi setengah piringkupun ikut ku sajikan. Lalu aku mengambil pucuk jipang, sayur yang dimasak oleh ibu dan sedikit terasi yang ku ulek dengan sepenuh hati tadi. Aku tak menambahkan ikan asin, karena ikan mujahir ini sudah lebih dari cukup untukku.
Aku mengambil posisi ternyaman untuk makan, dan mulai menyuapkan makanan ke mulut. Rasa asam segar dari belimbing wuluh berbaur dengan pedas dan asin menyentuh lidahku, di tambah ikan mujahir yang dagingnya lembut dan manis, sungguh sangat nikmat. Udara dingin kini sedikit tertangkis dengan hangatnya makanan yang kami santap. Aroma Asam Jing menyelimuti seluruh ruangan. Makanan khas Gayo yang satu ini memang tiada duanya, rasanya yang nikmat membuatku tidak bosan untuk terus menikmatinya. Makanan ini menjadi makanan wajib bagi masyarakat Gayo dan para tamu yang berkunjung ke kota ini. Usai menikmati makanan, abang sepupuku minta dibuatkan kopi hitam khas Gayo, akupun membuat dan menyajikannya. Mereka memang pecinta kopi, apapun suasana, situasi, dan acaranya, kopi Gayo harus selalu disajikan. Aroma Asam Jing kini berganti dengan aroma nikmat kopi Gayo.
Ikan mujahir yang amat banyak masih disisakan, para abang-abang tersayangku itu berencana untuk bakar-bakar nanti malam, kamipun mengiyakan. Benar saja, malamnya kami melaksanakan aksi bakar ikan, para abang-abangku yang melakukannya, kami hanya menyaksikan dan membuat bumbu ikan juga kecap pedas sebagai pelengkap, tentu tak ketinggalan, kopi Gayo kembali kami suguhkan untuk para pemuda yang bekerja keras membakar ikan ini. Sama seperti tadi siang, kami kembali menyantap makanan bersama-sama. Sangat membahagiakan bisa kembali berkumpul dan bertemu dengan keluarga besarku. Kegiatan masak-masak ini rutin kami lakukan setiap berkumpul, selain untuk menikmati makanan khas Gayo, kegiatan ini juga sebagai ajang mempererat keakraban.