Dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 28 Maret 2025
NURUL HUSNA, S.Pd., alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh dan Anggota FAMe, melaporkan dari Labuhanhaji, Aceh Selatan
Reportase ini berisi kenangan saya tentang peristiwa gempa pada malam hari yang saya dan kakak saya alami dahulu dan hingga saat ini masih teringat namanya, yakni gempa Nias. Terjadinya pada 28 Maret 2025 malam, persis 20 tahun pada hari ini.
Pada malam itu, saya dan kakak saya tidur di kamar pertama. Di kamar kedua kakak ibu saya dan suaminya yang kami panggil Mak Sayang dan Pak Sayang. Sedangkan kakak sepupu dan adik saya tidur di kamar keempat.
Setiap ingin tidur, lampu dimatikan dan saya tidur nyenyak. Namun, kakak saya tidak demikian. Kak Ika namanya, dia malah terbangun karena bunyi derit tempat tidur besi akibat goyangan gempa.
Waktu terjadi gempa, bukannya dia membangunkan saya, tetapi tangan saya malah langsung ditariknya sehingga dengan gerak refleks saya pun berdiri sendiri. Beliau mencari pintu dalam kegelapan tanpa melepaskan tangan saya. Terus ditariknya.
Alhadil, kami ke luar kamar menuju halaman melalui pintu depan dalam keadaan tangan saya tetap dipegangnya.
Kain panjang yang saya jadikan selimut bahkan terbawa sekalian baju tidur lengan pendek dan celana panjang yang saya pakai saat itu. Sesudah melepaskan tangan saya, diajaknya saya duduk di jembatan depan pagar rumah kami. Saya menurutinya saja. Untung ada selimut, sehingga bisa dipakai untuk menutupi kepala, pengganti jilbab.
Kami melihat orang berbondong-bondong mengungsi ke dataran tinggi Dusun Kauman, Labuhanhaji, dengan kendaraan roda dua dan tiga, ada juga yang berjalan kaki. Saat itu, kakak saya berujar, “Ayo kita mengungsi juga.”
Jujur, saya sangat kaget mendengarnya dan berkata, “Mengungsi dengan kain panjang sebagai penutup kepala? Tidak bisa saya lakukan. Tunggu saya ambil jilbab dahulu.” Lantas saya meninggalkannya dan buru-buru menuju rumah. Entah apa yang diucapkan kakak saya waktu itu, saya tak begitu mendengarnya. Yang ada di pikiran saya adalah segera mengambil jilbab. Itu saja.
Dari pintu keluar Pak Sayang yang akan mengunci pintu rumah. Saya minta ditunggu karena mau mengambil jilbab. Beliau akhirnya menunggu dan menyuruh saya supaya cepat-cepat keluar rumah.
Tak ada pula jilbab yang tampak di kamar sehingga harus saya ambil yang di lemari. Kemudian, masih sempat saya ambil uang untuk modal membeli kue.
Saat itu di pikiran saya tidak tahu mengungsinya sampai kapan, bisa lama atau sebentar saja. Kalau lama, tentu saya akan bosan dan kelaparan.
Setelah itu, baru saya bergegas ke luar rumah dan bergabung dengan para kakak dan adik saya. Kami pun mengungsi ke Kauman, mengikuti orang banyak dengan berjalan kaki.
Seingat saya, Mak Sayang dan Pak Sayang saat itu pergi dengan mengendarai sepeda motor.
Saya sudah terbiasa berjalan kaki. Namun, pada malam itu menyedihkan dan membingungkan sekali, mengikuti orang-orang yang tidak tahu ke mana tujuannya, sebab di Kauman ada tiga bukit yang ada rumah penduduknya.
Dalam keraguan, saya tetap berjalan di malam bersejarah tersebut. Jika keluarga saya berhenti, berarti di situlah tempatnya kami mengungsi.
Dusun Kauman ini tidak jauh dari desa kami. Ruas jalan saat itu dipenuhi orang banyak dan kendaraan sehingga harus berjalan lambat.
Kami sampai di bukit pertama dan berhenti. Banyak rumah penduduk di situ. Tempat ini sudah tak asing bagi saya karena hari-hari biasa saya sering pergi ke sini. Jalannya juga sering saya lalui saat pergi ke rumah ayah sambung saya. Rumah teman sekolah saya pun adanya di situ.
Malam tersebut terasa sangat berbeda. Saya seperti pengungsi sesungguhnya. Tempat itu juga seperti pertama kali saya datangi. Kami berhenti di depan rumah orang yang masih saudara juga. Duduk di atas batu yang tersusun rapi sambil memperhatikan sekeliling dengan saksama, tak bersuara.
Saat ada orang menyapa dan bertanya, saya hanya tersenyum serta memberikan jawaban singkat saja.
Kalau tak salah, teman saya mengajak masuk ke rumahnya, tetapi saya menolak. Keluarga sambung pun mengajak ke rumahnya, tapi saya menolak juga dengan sopan. Saya berpikir, waktu mengungsi sama-sama susah, maka susah dan senang pun harus dirasakan bersama.
Saya lupa mengapa dari mulut saya bisa terucap pertanyaaan, “Sampai kapan kita duduk di sini dan menunggu sesuatu yang tidak pasti?”
Ada seseorang yang menjawab, tetapi saya tidak ingat siapa. Katanya, “Sampai situasi aman.” Setelah mendengar jawaban itu, saya kembali diam sambil memperhatikan kerumunan orang. Udara semakin dingin, untungnya kain panjang masih saya pakai. Namun, akibat kelamaan menunggu, saya akhirnya bosan.
Lalu saya pergi ke kios di bawah bukit di seberang jalan yang masih buka. Tampak banyak orang membeli kue kering, kemudian saya bertemu dengan guru saya. Beliau awalnya menyapa, selanjutnya bertanya, “Mengungsi juga, Na?” sambil tersenyum.
Bapak tersebut sering memanggil saya “Husna” yang disingkatnya lagi menjadi dua huruf saja: Na. Saya menjawab, “Ya Pak, karena disuruh ikut mengungsi.” Beliau tertawa. Saya hanya tersenyum ke arahnya.
Setelah membayar kue tersebut, saya pamitan pada guru saya, lalu ke luar dari kios. Ketika hendak menyeberang terlihat keluarga saya sedang menuruni bukit, pertanda kami akan kembali ke rumah. Kami pun akhirnya pulang dengan berjalan kaki juga.
Orang-orang yang pulang ke rumah masing-masing desanya dekat dengan Dusun Kauman, sehingga bisa berjalan cepat sampai ke rumah.
Waktu di kamar, Kak Ika menyuruh saya agar tetap waspada. Saya pun menjawab “ya” dan memintanya supaya tidak lagi menarik tangan saya. Kenapa nggak bagunkan saja saya dengan cara baik-baik atau panggil nama saja seandainya gempa susulan terjadi. Alhamdulillah, beliau paham dan menyetujuinya.
Kami kembali tidur dengan lampu menyala dan saya benar-benar tidur tanpa memedulikan situasi apa pun. Seolah-olah tak pernah terjadi hal buruk dan saya baru terbangun waktu azan subuh berkumandang.
Saya dan Kak Ika memiliki pola pikir yang berbeda seperti adik kakak kandung pada umumnya. Kami pernah berselisah pendapat, berdebat, kemudian akur lagi.
Dari kejadian itu saya mengetahui bahwa beliau menyayangi saya, tetapi tidak pernah dia ungkapkan dengan kata-kata. Saya memiliki banyak adik kandung: ada laki-laki dan perempuan, tetapi tidak punya abang kandung sehingga perasaan sayang terhadap kakak saya menjadi lebih.
Dahulu, Kak Ika hanya seorang kakak bagi saya dan sekarang sesudah ayah kandung kami meninggal, saya menganggapnya juga sebagai pengganti ayah, sebab saya melihat ada sosok ayah kami dalam dirinya.
Malam mengungsi tersebut menjadi sejarah untuk masyarakat Labuhanhaji, Aceh Selatan. Bagi yang mengalaminya kapan saja bisa teringat dan sulit untuk dilupakan.
Setelah malam gempa Nias itu orang-orang masih membahasnya pada pagi dan siang hari. Teman yang melihat saya mengungsi waktu berjumpa di sekolah dia berkata hal lucu, lantas dia tertawa, saya pun ikut tertawa mendengar guyonannya.
Seingat saya, ada orang bercerita bahwa warga desa kami ada yang tetap tinggal di rumah setelah gempa, tetapi ia tetap waspada. Hal yang dilakukannya adalah memperhatikan anak sungai di dekat rumahnya. Selama airnya tidak kering (surut) setelah terjadi gempa, berarti aman. Dia tak ikut lari ke dataran tinggi.
Dari peristiwa itu kita mendapat pelajaran berharga bahwa menyelamatkan diri saat bencana itu wajib. Di sisi lain, kita juga harus tetap tenang dan sabar saat gempa terjadi serta waspada di mana pun kita berada.
Mengurangi risiko bencana itu adalah kewajiban kita semua. Mari terus membangun kesadaran tentang itu, sebab yang namanya gempa, bahkan tsunami, cepat atau lambat pasti berulang.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Kenangan di Malam Hari Saat Gempa Nias”, https://aceh.tribunnews.com/2025/03/28/kenangan-di-malam-hari-saat-gempa-nias?page=all.