Kematian Jenderal Belanda di Krueng Lamnyong dalam Lintas Sejarah

11 Oktober 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 11 Oktober 2024

RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Lamnyong, Banda Aceh

Krueng Lamnyong, sungai yang membelah ibu kota Provinsi Aceh ini ternyata memiliki pesona di sepanjang air mengalir, dan masih terjaga keasriannya, mulai dari hulu hingga hilir.

Krueng Lamnyong yang proses normalisasi (pendalaman dan pelurusan)-nya dikerjakan oleh perusahaan Kukdong dari Korea Selatan berhulu di atas Seulimuem, Aceh Besar, dan bermuara di Alue Naga, Banda Aceh.

Sungai ini menjadi salah satu saksi sejarah kekejaman kolonialis Belanda di daerah Serambi Makkah, Aceh.

Di pinggir sungai ini terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan mujahid Aceh sebagai lanjutan dari aneksasi Belanda terhadap Kesultanan Aceh yang diawali pada 26 Maret 1873.

Perang Aceh berlangsung tiga dekade sehingga tercatat sebagai perang kolonial terlama di Nusantara. Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang berdaulat sejak 1511.

Ada empat jenderal Belanda yang tewas selama perang Belanda melawan Aceh. Mereka adalah Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler, Panglima Perang Belanda pada invansi pertama Maret 1873. Ia tewas ditembak mujahid Aceh di bawah pohon gelumpang di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh yang saat itu masish bernama Koetaradja.

Jenderal lainnya, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, tewas di pinggir Krueng Lamnyong pada 23 Februari 1876. Peristiwa ini menambah masyhur Krueng Lamnyong.

Berikutnya, Jenderal Henry Demmeni pada 1886. Dan terakhir, Jendral Jacob Charles Moulin pada 8 Juli 1896 yang tewas di Koetaradja.

Jenderal Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel merupakan Panglima Sipil dan Militer Belanda di Aceh, Ia jenderal Belanda kedua yang mati dalam perang Belanda melawan  Aceh. Ia tokoh militer Belanda yang menjadi komandan di Koetaradja dan sudah terlibat dalam perang ketika masih menjadi opsir pada awal mula perang Belanda melawan Aceh pada tahun 1873.

Pada tanggal 26 April 1874 saat kekalahan kedua perang Belanda di Aceh, saat itu tinggallah Jendaral Johannes Ludovicius JH Pel yang berada dalam posisi sulit karena harus mengurus dan memimpin keadaan pasukan Belanda yang amburadul dan morianya menurun.

Lalu, pada tanggal 24 Januari 1875, Jenderal Johannes Ludovicius JH Pel diberikan gelar komandan dalam Militaire Willems Orde, oleh Raja Willem III (Raja Belanda dan Adipati Agung Luksemburg,) barulah setelah itu bala bantuan datang,  Johannes LJH Pel baru dapat memimpin peperangan lanjutan di Aceh.

Untuk menghadapi perlawanan bersenjata para pejuang Aceh sejak akhir abad XIX dan awal abad XX pihak Belanda telah melakukan berbagai upaya atau taktik. Salah satu di antaranya adalah dengan membentuk sebuah pasukan elite yang diberi nama Het Korps Marechaussee (Pasukan Marsose).

Di buku De Krijsgeschiedenis van N.I. jilid III dinukilkan tentang kematian Jenderal Johannes LJH Pel. Dalam buku disebutkan bahwa pasukan bergerak pada tanggal 25 Februari 1876 tepat pada pukul 6 sore. Mereka berjalan tanpa satu hambatan, melintasi sepajang pinggir Pinang (Gampong Pineung) dan melalui Lamgugop juga sepanjang jalan Tonga (Prada) menuju Krueng Cut.

Mereka tiba jam setengah sepuluh malam. Sesampainya di sana dari sisi lain pihak musuh (pejuang Aceh)  langsung menyerang bagian depan pasukan Belanda yang telah diperkuat dua kompi dan satu seksi pasukan meriam.

Namun, mereka (pasukan Belanda) tidak mampu menghentikan serangan lawan, meskipun Belanda sudah diperkuat dengan berbagai senjata. Namun, tetap saja mereka tidak dapat membungkam tembakan lawan.

Tak ada tempat yang bisa dilewati untuk menghindari serangan dari pihak pejuang Aceh. Di sana hanya terdapat sebuah jembatan setengah rusak di bagian selatan. Pasukan Belanda kemudian terus bergerak melalui kanal (alue) di sisi Krueng Lamnyong. Akan tetetapi mereka baru bisa sampai ke tenda yang terletak di dua pinggir teluk tepat pukul 4 sore. Di sanalah Jenderal Johannes LJH Pel meninggal secara mendadak.

Jendral Johannes Pel meninggal di bivak Tunggai, Lamnyong. pada tengah malam antara tanggal 24 dan 25 Februari 1876 tepat pada pukul 11 malam.

Menurut Belanda, Jendral Johannes Pel meninggal karena menderita putus dan pecah urat nadi. Namun, sebaliknya pejuang Aceh mengatakan bahwa Johannes Pel tewas di tangan para pejuang Aceh disebabkan terkena sabetan kelewang dari panglima militer Kesultanan Aceh, yaitu Tuwnku Hasyim Banta Muda. Johannes Pel tewas terkena sabetan kelewang di urat nadinya.

Jasad Jenderal Johanes Pel dikuburkan di salah satu sudut Peucut Kerkhof Koetaradja, tanpa diberi tanda apa-apa. Namun, monument makamnya dibuat sangat megah dibandingkan dengan monumen-monumen lainnya, bahkan lebih besar dan lebih tinggi daripda monumen kuburan Jendral Johan Harmen Rudolf Kohler tahun 1873.

Hal itu disebabkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Aceh sengaja merahasiakan kematian Johanes Pel, karena pada saat itu perang masih berkecamuk.

Selain monumen di Kerkhof untuk mengenang kematian Jendral Pel, Belanda juga turut membuat sebuah tugu di hulu Krueng Lamnyong, tempat lokasi ia lumpuh melawan gempuran pejuang Aceh.

Adapun di bivak tempat tewasnya Jenderal Johannes Pel masyarakat Aceh menyebutnya dengan sebutan Kuta Kaphe, yang artinya benteng kafir. Banteng tersebut sampai kini masih bisa kita jumpai dan lihat di sisi kiri dan kanan kanal sebelah barat Krueng Lamnyong.

Perjuangan rakyat Aceh dalam melawan kolonialis Belanda, sebagaimana dikatakan seorang penulis dari kalangan Belanda sendiri, yakni Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog, lamanya perang tersebut dapat dibandingkan dengan perang 80 tahun (1568-1648) yang pernah berlangsung di negeri Belanda, yakni perang antara Belanda dengan Spanyol. Bahkan, perang yang terjadi di Aceh pada akhir abad XIX dan awal abad XX korbannya jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan perang 80 tahun tersebut.

Perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh ini diakui oleh Belanda sebagai suatu perlawanan yang hebat dan sangat menyulitkan pihak Belanda saat menghadapinya.

Agar generasi Aceh senantiasa mengingat bagaimana gigihnya perjuangan para pejuang Aceh dahulu, sudah semestinya dari diri kita sendiri muncul rasa syukur dan bangga terhadap para pejuang yang sudah berhasil mengalahkan dan mengusir kolonialisme Belanda dari Aceh. Termasuk upaya taktis dan strategis pejuang Aceh mengundang masuknya Jeopang ke Aceh untuk membantu mereka mengusir Belanda.

Semakin banyak kita tahu tentang masa lalu maka semakin siap kita untuk menjalani masa depan. Karena, dengan mengingat masa lalu, kita makin menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab  besar untuk membangun bangsa sambiil menjaga warisan sejarah bagi generasi di belakang kita.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Kematian Jenderal Belanda di Krueng Lamnyong dalam Lintas Sejarah”, https://aceh.tribunnews.com/2024/10/11/kematian-jenderal-belanda-di-krueng-lamnyong-dalam-lintas-sejarah?page=all.

Bagikan
partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content