Telah dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 15 November 2024
Dr. Muhammad Iqbal, S.Pd, MA, Dosen Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh
Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) disingkat AI telah membawa umat manusia ke ambang revolusi teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, bagaimana kita sebagai umat Islam menyikapi perubahan drastis ini? Apakah ajaran Islam yang berusia lebih dari satu milenium masih relevan dalam menghadapi tantangan etis di era digital?
Sebagai seorang akademisi yang telah mengabdikan dekade untuk meneliti persinggungan antara etika Islam dan kemajuan teknologi, saya meyakini bahwa kita berada di titik kritis yang memerlukan reformulasi pemahaman kita tentang hubungan antara spritualitas dan teknologi. Mungkinkah ada jalan tengah antara ketaatan pada nilai-nilai Islam tradisional dan adopsi inovasi teknologi?
Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan sebuah kerangka pemikiran baru yang saya sebut “Paradigma Techno-Spiritual”. Bagaimana paradigma ini dapat menjembatani kesenjangan antara ajaran Islam klasik dan realitas dunia digital? Dan yang lebih penting, dapatkah pendekatan ini membantu umat Islam tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di era AI?
Paradigma Techno-Spiritual yang saya usulkan berangkat dari premis bahwa teknologi, khususnya AI, bukanlah entitas yang terpisah dari spritualitas Islam. Sebaliknya, ia merupakan manifestasi dari potensi intelektual yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya” (Al-Jasiyah: 13). Ayat ini, yang sering disebut sebagai konsep ‘taskhir’, dapat diinterpretasikan sebagai mandat ilahi bagi manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam dan intelektual untuk kemaslahatan umat.
Dalam konteks ini, pengembangan AI dapat dipandang sebagai bentuk ibadah, selama dilakukan dengan niat yang benar dan untuk tujuan yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Namun, paradigma ini juga mengakui adanya potensi penyalahgunaan teknologi yang dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka etis yang kokoh untuk memandu perkembangan dan implementasi AI.
Paradigma techno-spiritual
Sebagai seorang pemikir muslim yang telah lama mengamati perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap umat, saya meyakini bahwa implementasi Paradigma Techno-Spiritual bukanlah sekadar opsi, melainkan sebuah keharusan yang mendesak. Kita berada di persimpangan sejarah di mana kegagalan untuk beradaptasi dengan era AI bisa berakibat fatal bagi relevansi Islam di masa depan.
Reformasi pendidikan Islam, menurut hemat saya adalah langkah pertama yang krusial. Bayangkan sebuah generasi muslim yang tidak hanya hafal ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga mahir dalam coding dan memahami implikasi etis dari setiap baris kode yang mereka tulis. Mata kuliah “Fiqh Teknologi” yang saya usulkan bukan sekadar tambahan kosmetik pada kurikulum yang sudah ada, melainkan sebuah revolusi dalam cara kita memahami interaksi antara syariat dan inovasi.
Namun, pendidikan saja tidaklah cukup. Kita membutuhkan sebuah gerakan ijtihad kolektif yang melibatkan tidak hanya para ulama tradisional, tetapi juga para pakar teknologi muslim. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam dikotomi antara “ilmu agama” dan “ilmu dunia”. Lebih jauh lagi, saya berpendapat bahwa pengembangan standar etis AI yang Islami adalah sebuah keniscayaan. Tanpa standar ini, kita berisiko menjadi objek pasif dari teknologi yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kita. Organisasi Islam lainnya harus bangun dari tidur panjang mereka dan mengambil peran proaktif dalam membentuk lanskap teknologi global.
Tak kalah pentingnya, inkubasi startup teknologi islami adalah jalan kita untuk memastikan bahwa umat Islam tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen teknologi. Mengapa kita harus puas dengan aplikasi yang dikembangkan di Silicon Valley ketika kita memiliki potensi untuk menciptakan solusi teknologi yang berakar pada worldview Islam?
Akhirnya, kampanye kesadaran publik adalah kunci untuk memastikan bahwa paradigma ini tidak hanya menjadi wacana elite, tetapi benar-benar meresap ke dalam kesadaran kolektif umat. Implementasi Paradigma Techno-Spiritual bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah imperatif moral bagi umat Islam di era digital. Ini adalah panggilan untuk kebangkitan intelektual dan spiritual yang akan menentukan apakah Islam akan tetap menjadi kekuatan yang relevan dalam membentuk masa depan umat manusia, atau sekadar catatan kaki dalam sejarah evolusi teknologi. Pilihan ada di tangan kita dan waktunya adalah sekarang.
Interaksi antara Islam dan AI membuka peluang bagi pengembangan wacana intelektual yang dinamis dalam tradisi pemikiran Islam. Paradigma Techno-Spiritual yang saya usulkan bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai keislaman, seraya memastikan bahwa umat Islam dapat berpartisipasi aktif dan etis dalam revolusi teknologi yang sedang berlangsung. Bayangkan sebuah masjid pintar yang menggunakan AI untuk mengoptimalkan penggunaan energi, menjadwalkan kegiatan ibadah dan pendidikan dengan lebih efisien, serta menyediakan layanan konsultasi syariah online yang dapat diakses 24 jam.
Dalam bidang keuangan syariah, AI dapat digunakan untuk mengembangkan sistem yang lebih canggih dalam mendeteksi dan mencegah transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bahkan dalam hal pelaksanaan ibadah haji dan umrah, teknologi AI dapat membantu mengoptimalkan manajemen kerumunan dan distribusi sumber daya, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan jamaah.
Semua ini menunjukkan bahwa integrasi AI dalam kehidupan muslim bukan hanya tentang mengadopsi teknologi baru, tetapi juga tentang memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas ibadah dan kehidupan spiritual secara keseluruhan. Tentu saja, gagasan ini masih memerlukan elaborasi dan diskusi lebih lanjut di kalangan akademisi, ulama dan praktisi teknologi.
Namun, saya yakin bahwa dengan pendekatan yang tepat, Islam tidak hanya dapat beradaptasi dengan era AI, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk lanskap etis teknologi masa depan.
Sebagai penutup, saya mengajak kita semua untuk merenungkan firman Allah dalam Surah Ar-Rahman ayat 33: Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Ayat ini bisa dimaknai sebagai dorongan bagi umat Islam untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap dalam bingkai ketauhidan dan kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta.
Dengan memadukan kecerdasan buatan dan kecerdasan spiritual, insya Allah kita dapat menghadirkan peradaban Islam yang maju secara teknologi namun tetap kokoh dalam spritualitas dan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Islam dan Teknologi Kecerdasan Buatan”, https://aceh.tribunnews.com/2024/11/15/islam-dan-teknologi-kecerdasan-buatan.