Haruskah Diberlakukan Tes Masuk SD/MI/Sederajat?

23 Mei 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Selasa, 23 Mei 2023

MULYANI, M.Pd., M.TESOL, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Fasilitator PPG Universitas Bina Bangsa Gestempena (UBBG) Bidang Studi Pendidikan Bahasa Inggris, melaporkan dari Banda Aceh

PENDIDIKAN selayaknya dapat dirasakan secara merata oleh semua anak di Indonesia tanpa dibeda-bedakan latar belakangnya. Seperti bunyi Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ’45) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Seperti kita ketahui bersama bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, baik di kota maupun kabupaten di Aceh, satuan pendidikan sekolah dasar (SD)/madrasah ibtidaiah (MI)/sederajat melakukan seleksi atau tes masuk sekolah, termasuk tes baca, tulis, hitung (calistung) untuk menjaring calon peserta didik baru yang akan menimba ilmu di sekolahnya.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap tahun ajaran baru, sekolah dasar, terutama swasta dan madrasah ibtidaiah negeri (MIN), melaksanakan tes penerimaan murid baru, baik itu tes calistung, maupun tes pengetahuan agama.

Untuk tahun 2023 ini, yaitu dalam beberapa bulan ke belakang dan juga dalam satu hingga dua minggu ke depan, satuan pendidikan jenjang SD/MI/sederajat baik swasta maupun negeri melakukan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Hasil penelusuran saya, beberapa sekolah MIN di Aceh menerapkan “uji kesiapan” sebagai syarat untuk diterima di sekolah tersebut. Belum diketahui alasan maupun tujuan pelaksanaan tes jenis ini. Kita sama-sama berharap bahwa jenis tes ini dilakukan benar-benar untuk melihat apakah calon peserta didik baru sudah memiliki kesiapan untuk masuk SD.

Jika ditilik dari istilahnya, maka dapat kita pahami secara umum bahwa uji ini untuk melihat kesiapan mental atau psikologi calon peserta didik baru dan kesiapan/kematangan fisiknya. Jika begini adanya, maka tidak menjadi masalah. Namun, yang tidak kita harapkan adalah sekolah hanya mengganti istilah saja dari jenis tes calistung, tes pengetahuan agama, atau sejenisnya menjadi ‘uji kesiapan’, tetapi pelaksanaanya tidak seperti namanya.

Nah, jika seperti ini adanya, maka hal ini tidak boleh terjadi. Hal ini tentu memberikan tekanan bagi sebagian besar orang tua, seperti harus memasukkan anaknya ke les calistung saat usia dini sebagai persiapan masuk SD. Hal ini dapat memberikan efek bagi calon murid bahwa belajar itu bukanlah hal yang menyenangkan apabila mengharuskan anak menguasai calistung sebelum waktunya.

Gembar-gembor terkait pelarangan pelaksanaan tes untuk anak usia dini yang akan memasuki sekolah dasar sebenarnya sudah sejak lama diimbau oleh pemerintah. Calistung telah dilarang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB.

Berikut update berita yang terbaru, seperti yang dilansir Serambinews.com pada 29 Maret 2023 lalu bahwa, “Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim resmi minta agar sekolah-sekolah menghilangkan tes calistung. Tes calistung ini diminta dihapus dari proses PPDB pada SD/MI/ sederajat.”

Saat ini, telah diluncurkan Gerakan Transisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ke SD di mana ada tiga target perubahan yang diharapkan tercapai pada tahun ajaran baru, yaitu: 1) menghilangkan tes calistung dari proses PPDB di SD; 2) menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama di PAUD dan SD di mana sekolah dapat memfasilitasi peserta didik baru serta orang tuanya untuk berkenalan dengan lingkungan belajar sehingga peserta didik baru dapat merasa nyaman dalam kegiatan belajarnya; dan 3) menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak di PAUD dan SD.

Lebih lanjut Nadiem menyebutkan bahwa masih ada anak-anak yang belum pernah mendapatkan kesempatan belajar di satuan PAUD sehingga sangat tidak tepat apabila calon peserta didik baru diberikan tes calistung untuk dapat memeroleh layanan pendidikan dasar. Nadiem menekankan kepada satuan pendidikan bahwa, “Hargai proses anak yang berbeda-beda karena membangun kemampuan fondasi perlu dilakukan bertahap.”

Seperti kita ketahui bersama, tiap anak adalah unik dan berbeda sehingga tidak ada alasan bagi satuan pendidikan SD atau MI/sederajat untuk melakukan tes terhadap calon peserta didik baru yang akan memasuki sekolah pada tahun ajaran baru dengan dalih apa pun.

Anak-anak yang tidak normal saja memiliki satu kelebihan yang dibawanya sejak lahir, apalagi anak-anak normal pastilah mereka juga memiliki kemampuan, bakat, dan bawaan baik yang diturunkan secara genetik dari orang tuanya ataupun yang tidak. Artinya, jika terus diasah kemampuan dan bakatnya, maka akan semakin berkembang dengan baik. Anak-anak itu berkembang seperti kebiasaan di lingkungannya, baik keluarga, sekolah, lingkungan pertemanan, dan masyarakat di mana mereka berada.

Kita mungkin pernah mendengar istilah sistem ‘zonasi’ yang sudah diterapkan oleh pemerintah untuk semua satuan pendidikan guna menghindari membeludaknya calon peserta didik baru pada satu sekolah tertentu atau sekolah favorit. Kiranya hal ini masih menjadi bahan pertimbangan untuk dapat dilaksanakan oleh semua sekolah baik negeri maupun swasta.

Jangan jadikan sekolah sebagai ajang untuk menjaring para peserta didik yang pintar saja demi mendongkrak status sekolah atau menaikkan akreditasi sekolah atau hanya menjaring para peserta didik dari keluarga dengan pendapatan ekonomi tinggi saja ataupun hanya menjaring para peserta didik dari latar belakang cerdas/berprestasi sekaligus mapan saja. Hal ini pasti akan menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat kita.

Di antara beberapa target capaian yang harus dicapai adalah satuan pendidikan di PAUD dan SD/ MI/sederajat perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi peserta didik, yaitu 1) mengenal nilai agama dan budi pekerti; 2) keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi; 3) kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar; 4) kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti memiliki dasar literasi dan numerasi; 5) pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri; dan 6) pemaknaan terhadap belajar yang positif (Serambinews.com, 29 Maret 2023).

Pada hakikatnya, sekolahlah sebagai level kedua setelah orang tuanya yang bertanggung jawab untuk mengantarkan para peserta didik di SD/madrasah pada pintu kesuksesan baik secara IQ maupun ESQ. Sekolah dengan sistem manajemen yang baik dari segala sisi dan didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang andal dan profesional juga didukung dengan prasarana-sarana yang memadai tentunya tidak akan mengalami kesulitan untuk mencetak generasi-generasi yang tidak hanya pintar dan berprestasi, tapi juga cerdas secara emosional dan berkarakter.

Untuk memaksimalkan gerakan transisi tersebut, pihak terkait seperti Kemendikbud, dinas pendidikan daerah, serta Kementerian Agama yang mengawasi pendidikan di tingkat MIN perlu mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan PPDB dan menyesuaikan juga buku-buku teks yang akan digunakan siswa di tingkat SD/MI/sederajat agar tidak menekankan pada penguasaan teks bacaan yang panjang dan numerasi dengan tingkat kesulitan tinggi bagi siswa SD kelas 1 dan 2, sehingga siswa ini dapat memperoleh pembelajaran yang bermakna di usianya.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Haruskah Diberlakukan Tes Masuk SD/MI/Sederajat?”, https://aceh.tribunnews.com/2023/05/23/haruskah-diberlakukan-tes-masuk-sdmisederajat.

Bagikan
Skip to content