Harapan Baru Pelindungan Anak di Sektor Pendidikan

16 Agustus 2023 | BBG News

Visi ”Indonesia Emas 2045” tidak akan terwujud jika anak-anak Indonesia tidak dibekali dengan pendidikan yang berkualitas dan proses pembelajaran yang aman dari kekerasan. Berbagai riset global menunjukkan dampak kekerasan yang dialami anak terhadap kesehatan, kesejahteraan, termasuk hasil pembelajaran di sekolah. Studi global yang dilakukan Fry dkk (2018), misalnya, menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan memiliki kemungkinan 13 persen tidak lulus dari sekolah.

Menariknya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) baru saja menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Peraturan ini hadir di tengah maraknya kasus kekerasan di sekolah yang mencuat di publik, serta fenomena kekerasan di sektor pendidikan yang semakin kompleks dan mengkhawatirkan.

Data Asesmen Nasional Pendidikan di tahun 2021, misalnya, menunjukkan bahwa sebanyak 24,4 persen peserta didik di jenjang pendidikan dasar dan menengah berpotensi mengalami perundungan (Kemendikbudristek, 2023). Survei yang sama menunjukkan 22,4 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual di sekolah. Hal ini senada dengan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) di tahun 2021 yang menunjukkan lebih dari sepertiga laki-laki dan hampir separuh perempuan usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami satu bentuk kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya (KPPPA, 2021).

Permendikbudristek PPKSP berisi 12 bab dan 79 pasal, mengatur secara terperinci definisi dan bentuk kekerasan, pencegahan, tata cara penanganan, sanksi, hingga pengelolaan data. Secara substansi, peraturan ini selaras dengan rekomendasi global dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 yang mengusulkan pendekatan menyeluruh atau whole-school approach dalam mencegah kekerasan. Tak hanya itu, peraturan ini selaras dan memperkuat peraturan perundang-undangan yang mengatur hal serupa, misalnya UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Aturan ini mencabut Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. Berbeda dari peraturan sebelumnya, Permendikbudristek PPKSP memiliki berbagai aspek khusus yang menjadi angin segar bagi pelindungan anak dari kekerasan di sekolah.

Kompleksitas Kasus

Permendikbudristek PPKSP berupaya merespons kompleksitas kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Kekerasan yang diatur mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi, hingga kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang terjadi di ranah digital juga disebutkan secara khusus dalam peraturan ini.

Dari bentuk-bentuk kekerasan tersebut, kebijakan yang mengandung kekerasan didefinisikan lebih lanjut sebagai kebijakan tertulis maupun tidak tertulis yang mengandung atau berpotensi menimbulkan tindak kekerasan. Kebijakan yang dimaksud dapat diterbitkan oleh sekolah hingga dinas pendidikan. Kebijakan ini dapat melindungi peserta didik dari kekerasan yang diakibatkan aturan yang diterbitkan sekolah.

Tak hanya itu, peraturan ini melingkupi pencegahan dan penanganan kekerasan yang dialami baik oleh atau terhadap peserta didik, maupun pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya. Aturan ini berupaya merespons kompleksitas kasus kekerasan yang tidak hanya melibatkan peserta didik, tetapi juga guru dan tenaga kependidikan, yang terjadi di dalam maupun luar sekolah dalam lingkup kegiatan pembelajaran.

Diterbitkannya aturan ini memperkuat pelindungan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan, seperti yang diatur melalui Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 yang fokus mengatur pelindungan hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Peran Sekolah dan Pemda

Peraturan ini mendorong sekolah untuk menjadi garda terdepan penanganan kasus kekerasan. Dalam enam bulan hingga satu tahun sejak disahkan, aturan ini memandatkan sekolah untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang akan didampingi oleh satuan tugas berisi beberapa perwakilan dinas di tingkat daerah. TPPK akan ditugaskan untuk menerima laporan kekerasan, memfasilitasi pendampingan, memeriksa kasus, hingga melakukan pemulihan terhadap korban.

Dengan koordinasi yang dilakukan antara TPPK dan satgas, sekolah diharapkan mampu terhubung dengan berbagai layanan di daerah untuk membantu penanganan kekerasan secara lebih holistik, seperti melalui Unit Pemberdayaan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian, sekolah dapat menjadi institusi penghubung berbagai layanan yang dikelola secara lintas-sektor.

Penanganan kekerasan akan diimbangi dengan berbagai upaya pencegahan kekerasan, khususnya terkait edukasi mengenai kekerasan dan perlindungan, pelatihan, penguatan sarana dan prasarana, serta tata kelola pelaksanaan pencegahan dan penanganan di sekolah. Keterhubungan antara pencegahan dan penanganan dapat membuat warga sekolah, terutama peserta didik mampu mengidentifikasi kekerasan dan melaporkannya langsung kepada pihak yang ditugaskan di sekolah.

Tantangan Implementasi

Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan, termasuk mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan. Untuk melaksanakan peraturan ini secara efektif, perlu ada dukungan politik dari kepala daerah, termasuk dalam pembentukan satgas, menyelaraskan agenda pelindungan anak di sekolah dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya memastikan pendanaan yang memadai untuk pelaksanaan di sekolah.

Di sisi lain, Kemendikbudristek perlu segera menyusun instrumen pelaksanaan kebijakan, seperti petunjuk teknis, sosialisasi kebijakan dan pelatihan berkala, mekanisme pemantauan dan evaluasi kebijakan, serta peta jalan pelaksanaan kebijakan baik di jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Pemerintah Indonesia telah sukses meningkatkan angka partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Hal ini menjadikan sekolah sebagai tempat di mana sebagian besar anak Indonesia menghabiskan banyak waktunya di sekolah. Kompleksnya kasus kekerasan, baik di sekolah maupun luar sekolah, perlu ditangani oleh pihak yang terlatih dan terhubung dengan layanan yang memadai. Melalui peraturan ini, sekolah bukan hanya menjadi aktor penting yang berperan untuk membangun karakter generasi mendatang, tetapi menjadi aktor strategis untuk melindungi anak dan memberikan dukungan profesional yang dibutuhkan ketika kekerasan terjadi.

Ryan Fajar Febrianto, Peneliti Senior di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia

Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Harapan Baru Pelindungan Anak di Sektor Pendidikan”, https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/15/harapan-baru-pelindungan-anak-di-sektor-pendidikan.

Bagikan
Skip to content