Green Religion, Bukan Basa-Basi

19 Juni 2025 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 19 Juni 2025

Dr. Muhammad Iqbal, S.Pd, M.A, Dosen Pascasarjana, Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh.

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan bukan lagi isu masa depan. Ini adalah realitas yang sedang berlangsung, menghantui setiap detik kehidupan kita hari ini. Dunia menyaksikan kebakaran hutan yang merajalela, banjir bandang yang datang tak terduga, suhu bumi yang terus meningkat, dan biodiversitas yang menyusut drastis. Di tengah situasi ini, muncul sebuah pertanyaan besar: di mana posisi agama dalam menyikapi krisis ini? Jawabannya sederhana namun mendalam: agama harus hadir sebagai kekuatan transformatif dalam upaya penyelamatan lingkungan. Green religion atau agama hijau bukan sekadar wacana normatif yang indah di atas kertas, melainkan panggilan iman yang mendesak untuk diwujudkan dalam tindakan nyata.

Agama, dalam esensinya, tidak hanya mengatur relasi manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan dengan sesama manusia (hablum minannas), tapi juga dengan alam. Dalam Islam, misalnya, konsep khalifah (pemimpin/pengelola) bukan hanya terbatas pada aspek sosial, tetapi juga ekologis. Manusia diberi amanah oleh Allah untuk menjaga bumi, bukan mengeksploitasinya. Dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 56, Allah berfirman: ” Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik…”.

Namun, kenyataannya, praktik keberagamaan kita seringkali melupakan aspek ekologis. Masjid megah berdiri tanpa sistem pengelolaan air wudhu yang efisien, sampah plastik berserakan saat perayaan keagamaan, hingga pemborosan energi yang tidak terkendali. Semua ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis dalam praktik keagamaan kita masih rendah.

Green Religion Bukan Tren, Tapi Spirit

Istilah green religion bukan berarti menciptakan agama baru, melainkan menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual yang berakar pada kepedulian terhadap alam. Di banyak tradisi keagamaan, alam bukan hanya objek yang bisa dieksploitasi, tapi merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang suci. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai sosok yang sangat menghargai lingkungan: beliau melarang penebangan pohon secara sembarangan, memerintahkan hemat air meski saat berwudhu di sungai, dan melarang membunuh hewan tanpa alasan yang sah. Namun, pemahaman ini seringkali tereduksi hanya dalam teks suci, tanpa aktualisasi yang memadai dalam praktik. Inilah mengapa green religion harus ditekankan sebagai gerakan moral dan praksis yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), dunia hanya memiliki sedikit waktu untuk mencegah bencana iklim yang lebih parah. Laporan ini seharusnya menjadi seruan azan global bagi semua komunitas iman. Rumah ibadah, pemimpin agama, institusi keagamaan, harus berada di garis depan menyuarakan pentingnya perlindungan lingkungan.

Sayangnya, dalam banyak kasus, ceramah-ceramah agama lebih banyak fokus pada isu akidah, ibadah, atau kehidupan akhirat, dan jarang membahas tanggung jawab sosial-ekologis umat. Padahal, menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Kita tidak bisa berharap surga jika kita menjadi perusak bumi.

Di sinilah peran penting green religion sebagai paradigma baru keberagamaan yang mengintegrasikan iman dan aksi ekologi. Agama tidak hanya berbicara tentang kesalehan individual, tetapi juga kesalehan ekologis. Kita membutuhkan tafsir-tafsir keagamaan yang progresif, yang membumi, dan menjawab tantangan zaman, termasuk krisis lingkungan.

Green religion bukan untuk sekadar dibicarakan dalam seminar atau dikampanyekan saat Hari Lingkungan Hidup sedunia. Ia harus menjelma menjadi kebijakan dan kebiasaan. Contohnya, rumah-rumah ibadah harus menjadi model green building dengan penggunaan energi terbarukan, sistem daur ulang air wudhu, pengurangan sampah plastik, dan penghijauan lingkungan sekitar. Lembaga pendidikan berbasis agama harus menyisipkan pendidikan ekologi dalam kurikulum mereka, bukan sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi sebagai nilai yang mengalir dalam setiap mata pelajaran. Pondok pesantren, misalnya, bisa menjadi pelopor eco-pesantren yang mandiri energi, menanam sendiri bahan makanannya, dan mendidik santri menjadi aktivis lingkungan.

Lebih jauh, khutbah Jumat, ceramah, atau pengajian harus mulai memasukkan isu lingkungan sebagai bagian dari pesan moral. Masyarakat harus diyakinkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari iman. Tanpa kesalehan ekologis, kesalehan ritual bisa menjadi hampa.

Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, Aceh memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor gerakan green religion. Potensi ini bisa dimulai dari hal kecil: pengelolaan sampah di masjid, gerakan menanam pohon setiap selesai shalat Jumat, hingga program eco-santri dan green dakwah. Namun tantangannya juga besar. Masih banyak masyarakat yang menganggap isu lingkungan sebagai urusan aktivis, pemerintah, atau LSM. Padahal, setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, peran ulama, da’i, dan tokoh agama sangat krusial dalam membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya ekologi dalam perspektif Islam.

Untuk Generasi Masa Depan

Krisis iklim adalah ancaman lintas generasi. Jika kita gagal menjaga bumi hari ini, anak cucu kita akan mewarisi bencana, bukan berkah. Agama harus menjadi jembatan antara nilai-nilai spiritual dengan aksi penyelamatan bumi. Inilah saatnya menjadikan rumah ibadah bukan hanya tempat spritual, tetapi pusat perubahan sosial dan ekologis.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dan tindakan nyata, green religion menjadi jawaban atas tantangan besar abad ini. Bukan basa-basi, tapi komitmen iman yang harus diterjemahkan dalam langkah konkret. Karena menjaga bumi, pada hakikatnya, adalah menjaga titipan Tuhan.

Kita tidak bisa menunda lagi. Green religion harus menjadi gerakan kolektif umat beragama untuk menghadirkan dunia yang lebih lestari, adil, dan beradab. Karena bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Maka, menjaga lingkungan adalah amanah suci, bukan sekadar pilihan. Setiap langkah kecil, mulai dari mengurangi sampah plastik, menanam pohon, hingga hemat energi, adalah bagian dari ibadah. Mari jaga bumi dengan iman, rawat lingkungan dengan cinta, dan wujudkan agama yang bukan sekadar retorika, tetapi nyata dalam tindakan. Kita butuh masjid-masjid yang ramah lingkungan, pesantren yang mandiri energi, serta dakwah yang membangkitkan kesadaran ekologi umat. Inilah saatnya mengubah cara kita beragama dari yang pasif menjadi aktif, dari simbolik menjadi praksis. Green religion bukan tren sesaat, tetapi panggilan zaman yang harus dijawab dengan sepenuh hati. Green religion, bukan basa-basi!

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Green Religion, Bukan Basa-Basi”, https://aceh.tribunnews.com/2025/06/19/green-religion-bukan-basa-basi.

partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content