Telah dimuat di Serambi Indonesia edisi Rabu, 20 November 2024
NURUL HUSNA, S.Pd., alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) dan Anggota FAMe, melaporkan dari Banda Aceh
Saat istirahat siang di rumah, masuk sebuah pesan ke WhatsApp (WA) saya. Muncul niat untuk segera melihat dan membacanya. Pesan yang masuk ternyata berisi pembahasan tentang plagiarisme.
Kata plagiat atau plagiarisme sudah tidak asing lagi di telinga kita dewasa ini. Arti sederhana dari plagiat adalah menjiplak atau mencuri karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri, tanpa menulis nama pencipta yang sebenarnya.
Saya punya beberapa pengalaman terkait “godaan” plagiarisme ini yang alhamdulillah dapat saya hindari. Berikut kisahnya.
Setelah banyak karya jurnalisme warga (JW) saya terbit di Harian Serambi Indonesia, beberapa orang menginginkan agar saya setuju mereka melakukan plagiat terhadap karya tulis saya. Orang pertama menyuruh saya memberikan sebuah karya JW saya untuk anak didiknya, tetapi saya tidak memberikannya.
Orang kedua menyuruh saya membuat artikel yang pembahasannya lebih rumit daripada JW, tetapi saya tidak menurutinya. Alasan saya, saya belum pernah menulis tulisan seperti itu.
Orang ketiga menyuruh saya menulis kata-kata dalam bahasa Aneuk Jamee pada hasil penelitiannya. Tawaran ini pun tidak saya turuti, sebab cara pelafalan bahasa kami berbeda.
Orang keempat menyuruh supaya saya menolong keponakannya yang masih SMA untuk menulis seribu kata. Awalnya saya kaget, tetapi memahaminya. Saya tanyakan apa manfaatnya sesudah itu, lalu ia jelaskan bahwa keponakannya disuruh oleh gurunya membuat karya tulis.
Saya katakan kepadanya bahwa saya tidak dapat menolongnya karena banyak tugas kuliah yang harus saya kerjakan.
Saya juga pernah disuruh membuat dua puisi oleh pendidik yang bertugas di sebuah sekolah negeri. Puisi pertama memakai nama beliau sebagai pengaranya. Puisi kedua barulah nama saya penulisnya, tetapi temanya dari guru tersebut.
Jujur, saya turuti permintaannya demi memperoleh nilai praktik A. Selanjutnya, satu puisi saya difotonya. Saya sangat tidak rela dengan tindakan beliau, lalu saya perlihatkan karya tersebut di Facebook dan Instagram milik pribadi.
Setelah itu saya disuruh membuat dua tugas atas namanya melalui Canva. Ini syarat bagi beliau selaku pengajar untuk memperoleh sertifikat, sedangkan saya mengerjakannya demi nilai.
Saya juga disuruh melengkapi tugas temannya, lalu seterusnya berlanjut membuat tugas temannya yang lain lagi. Beliau suruh saya menolong temannya tersebut karena alasan kasihan setelah tugasnya selesai dikirim ke WhatsApp pribadi sang pendidik.
Saya menolongnya bukan karena kasihan, melainkan semata-mata demi saya mendapat nilai bagus. Biasalah, untuk memperoleh nilai A kita harus berusaha maksimal.
Saya terpaksa setuju dengan perbuatan “setengah plagiat” ini, sebab sangat takut mendapat nilai praktik yang tidak bagus. Semua praktikan saat PPL menginginkan nilai bagus, bahkan banyak orang yang melakukan hal tidak terpuji, termasuk melakukan plagiarisme, demi mendapat nilai bagus.
Di salah satu kampus swasta saya dapati mahasiswanya melakukan plagiat tulisan opini, untuk mendapatkan nilai bagus saat ujian akhir semester (UAS).
Mereka meniru karya opini orang lain melalui Google dan membuat hak cipta atas namanya sendiri. Untuk kasus seperti ini saya hanya dapat menegur mereka dengan kata-kata yang mudah dipahami supaya mereka mengerti dan tidak mengulaginya.
Setelah saya amati dan renungkan, penyebab para siswa dan mahasiswa melakukan plagiat, banyak faktornya. Pertama, pengetahuannya di bidang tulis-menulis sangat kurang. Tidak pandai merangkai kata-kata. Tidak juga pernah berlatih menulis di sekolah, di rumah, atau di komunitas menulis, seperti FAMe, meski rutin mendapat pekerjaan rumah (PR).
Kedua, setiap ada tugas menulis ia selalu meniru dari Google atau menyuruh orang lain membuatkan tugasnya, sesudah itu dia bayar.
Ketiga, tidak ada minat menulis dan malas belajar.
Keempat, malas membaca sehingga tidak menguasai banyak kosakata sehingga menjadi kendala saat membuat tulisan.
Kelima, penggunaan telepon selular (ponsel) di masa sekarang mempermudah orang untuk menemukan banyak tulisan dan materi ilmu pengetahuan. Mudahnya melihat karya yang dibuat orang lain di Google membuat orang malas berpikir.
Banyak orang memilih cara mudah daripada sulit karena untuk menulis ini susah, tidak semudah meniru karya orang lain yang modalnya hanyalah salin tempel (copy paste). Fitur yang digunakan untuk menyalin dan menempelkan teks atau gambar pun tersedia di Microsoft Word atau Microsoft Office Word (Word).
Keenam, saat sejumlah siswa atau mahasiswa mendapat tugas kelompok, biasanya yang bekerja serius itu paling hanya satu sampai tiga orang. Selebihnya tidak bekerja, tetapi juga mendapat nilai dari dosen atau guru yang malas mengecek keaslian karya muridnya.
Orang yang setuju dengan tindakan plagiat dan plagiator keduanya tidaklah baik. Menurut saya, ada saatnya kondisi yang membuat kita terpaksa melakukan kesalahan, tetapi tidak seharusnya plagiat itu dilakukan berkali-kali.
Seandainya terpaksa mengambil atau mengutip karya orang lain, haruslah menyebutkan sumbernya atau minta izin kepada penulis atau penerbit yang memuplikasikan karya tersebut.
Cara lain adalah dengan melakukan ‘paraphrase’ (menuliskan kembali ide atau gagasan orang lain dengan bahasa sendiri) dan ditulis nama pengarangnya di daftar pustaka supaya karya tulis ilmiah kita tidak tergolong plagiat.
Plagiat yang sebenarnya terjadi saat seseorang menulis kembali karangan orang lain, tetapi ia tidak menulis nama pemilik karya, melainkan menulis nama dirinya sendiri. Hal ini sering dilakukan oleh orong-orang yang tidak mampu membuat karya sendiri, menginginkan sesuatu yang mudah tanpa perlu bersusah payah.
Plagiat sudah ada sejak zaman dahulu, tetapi individu yang melakukannya tidak sebanyak seperti sekarang. Meningkatnya plagiarism, terutama di kalangan generasi Z (Gen Z), terjadi karena diri sendiri tak menghargai karya orang lain dan tak memiliki kejujuran ilmiah, ditambah faktor kemajuan teknologi yang memudahkan proses salin rekat (copy paste).
Mereka melakukannya berkali-kali sehingga menjadi kebiasaan. Hal ini kerap terjadi di tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi di Aceh.
Perubahan kurikulum di setiap sekolah serta perguruan tinggi, membuat banyak pelajar tidak siap mental menjalankannya. Tuntutan literasi yang disuruh oleh pemerintah terhadap pendidikan, membuat para pelajar kewalahan dengan tugasnya sendiri.
Sebenarnya, pemerintah mempunyai niat yang baik untuk kemajuan negeri. Namun, kenyataan di lapangan tidak sama dengan yang diharapkan. Menyamaratakan proses dan hasil belajar siswa kota dan desa, misalnya, dapat mendorong para siswa desa melakukan plagiat, sebab minat belajar setiap murid tidak sama serta kemampuan menyerap ilmu setiap anak pun berbeda.
Orang yang mampu menghentikan tindakan plagiat adalah orang itu sendiri. Setiap perbuatan yang kita kerjakan tentu memiliki risiko terhadap diri sendiri dan orang lain. Peniruan karya orang lain tanpa izin dapat menimbulkan gugatan pidana dan perdata oleh si pemilik karya, sebab dialah pemilik sah hak kekayaan intelektual atas karya tersebut. Jangan sampai kita dipenjara dan diharuskan membayar denda karena kedapatan menjiplak karya orang lain.
Jadi, sebelum terlambat sebaiknya kita perbaiki diri, tidak melakukan, apalagi menngulangi lagi tindakan plagiat di Bumi Serambi Mekkah ini. Akhirnya, selamat berkarya, tanpa menjiplak.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Gen Z, Berkaryalah Tanpa Menjiplak”, https://aceh.tribunnews.com/2024/11/20/gen-z-berkaryalah-tanpa-menjiplak?page=all.