Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 18 April 2024
Pipi Murfiza, Mahasiswi Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, melaporkan dari Aceh Jaya
ACEH dikenal sebagai daerah yang memiliki berbagai keindahan alam, juga keberagaman budaya dan bahasa. Sumber daya alam dan tumbuh-tumbuhan yang dimiliki provinsi ini pun sangat banyak. Terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta hektare (ha) dan di kawasan Ulu Masen, bagian utara wilayah Aceh, sekitar 738.856 ha.
Aceh memiliki sejarah panjang tentang sawit, di samping karet, sejak masuknya Kolonial Belanda. Sawit secara komersial pertama kali dibudidayakan di kebun Sungai Liput, Aceh Tamiang, tahun 1911, disusul di Lae Butar, Singkil, tahun 1933.
Joko Supriyono, saat memberikan sambutan pada pembukaan Rapat Kerja Cabang Gapki Aceh di Sabang, 22 November 2021, berkisah bahwa dari kebun Sungai Liput di Tamiang, selanjutnya kebun sawit komersial menyebar ke wilayah Aceh lainnya.
Kelapa sawit (Elaeis guinensis jack) ini tergolong tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia tahun 1848, dibawa dari Mauritius, Amsterdam, oleh seorang warga Belanda. Masyarakat Aceh alhamdulillah semakin hari semakin banyak membudidayakan kelapa sawit.
Bicara kelapa sawit otomatis ikut terbicarakan tentang pengalaman hidup keluarga saya.
Saya berasal dari keluarga yang sederhana, dari keluarga petani. Orang tua saya yang dulunya memang seorang yang kurang mampu secara finansial, kegiatannya sehari-hari adalah bertani.
Hari demi hari dan masa demi masa berganti, orang tua saya fokus bercocok tanam biji sawit hingga jadi bibit dan laku dijual. Syukur alhamdulillah, sampai sekarang kami sekeluarga bisa menikmati hasilnya walau tidak banyak.
Bercocok tanam sawit sebetulnya tidaklah terlalu susah, juga tidak terlalu mudah. Dari pengalaman yang saya lihat di kampung saya, Aceh Jaya, banyak warga setempat bisa mengola bibit sawit hingga sampai bisa ditanam.
Dikutip dari Disbun Kaltimprov, cara menumbuhkan kecambah atau bibit sawit adalah dengan dimasukkan ke dalam polybag 12 x 35 cm atau 15 x 23 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan atas yang telah diayak sekitar 1,5–2,0 kg. Kecambah sawit atau bibit sawit lalu ditanam ke dalam polybag yang telah berisi tanah sedalam 2 cm.
Jangan lupa mengecek agar tanah di dalam polybag selalu dalam keadaan lembab. Jika tanahnya kering, kecambah bibit tidak akan dapat tumbuh dengan baik.
Kemudian, polybag disimpan pada bedengan berdiameter 120 cm. Setelah disimpan dan dirawat sekitar 3-4 bulan, kecambah bibit tersebut telah tumbuh daunnya sekitar 4-5 helai. Bibit yang telah berdaun 4-5 helai telah siap untuk dipindahtanamkan.
Kemudian, bibit dari pendederan tersebut dipindahkan ke polybag setebal 0,11 mm yang berukuran 40 x 50 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan bagian atas yang telah diayak sebanyak 15–30 kg.
Sebelum bibit dipindahkan, tanah pada polybag disiram terlebih dahulu menggunakan 0,5 tutup botol POC NASA atau 5 ml per 1 liter air. Kemudian polybag diatur ke posisi segitiga sama sisi dengan jarak antarpolybag 90 x 90 cm.
Ketika proses pembibitan, lakukan perawatan tanaman berupa penyiraman, penyiangan, penyulaman, dan pemupukan. Penyiraman dilakukan dua kali sehari setiap pagi dan sore. Penyiangan dilakukan dua sampai tiga kali dalam sebulan.
Penyulaman dalam dunia persawitan adalah menyeleksi bibit yang mati dan pertumbuhannya tidak normal. Seleksi bibit dilakukan ketika bibit berumur empat dan sembilan bulan. Bibit yang tumbuh tidak normal, terserang penyakit, dan memiliki kelainan genetik atau cacat fisik sebaiknya dibuang dan diganti dengan bibit yang baru.
Bicara tentang sawit tidak pernah habis-habisnya. Di kampung saya banyak warga yang tertarik pada kebun sawit karena alhamdulillah sawit bisa menyejahterakan kehidupan warga.
Abang saya pun selaku orang yang mengelola bibit kecambah sawit semakin hari semakin giat karena dari pekerjaan tersebut bisa membuahkan hasil yang lumayan. Hari demi hari proses kecambahnya pun makin baik dan alhamdulillah banyak warga sekitar yang membeli bibit sawit pada abang saya.
Kalau ayah, sudah sejak tahun 1999 menanam sawit di lahan kosong milik beliau. Ya, tidak terlalu luas. Hanya sekitar 6 ha.
Setelah tiga tahun sejak sawit tersebut ditanam, ayah dan ibu saya bisalah menikmati hasilnya walau tidak banyak. Pendeknya, dapatlah menghidupi keluarga kami.
Seiring dengan barjalannya waktu, semakin giat ayah mengelola kebun sawitnya, yang mana tiap enam bulan sekali dilakukan pemupukan. Kata ayah, kalau kita serius merawat sawit pastilah akan membuahkan hasil. Waktu demi waktu, ayah yang fokus bertani sawit bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi, berkat dari hasil budi daya sawit tersebut.
Alhamdulillah, saya kini sudah lulus kuliah di UBBG Banda Aceh berkat doa orang tua dan juga support dari modal sawit yang mencukupi. Kami sangat mensyukurinya.
Setelah lulus kuliah, sambil menunggu-nunggu waktu wisuda, ayah langsung mengajak saya turun ke lapangan untuk mendalami bagaimana teknik mengelola kebun sawit. Termasuk belajar bagaimana proses menanam kecambah sawit.
Terlibat intens kini di kebun sawit ayah, sangat menyenangkan bagi saya karena kegiatan tersebut tidaklah terlalu melelahkan. Alhamdulillah, saya sekarang sedikit demi sedikit sudah bisa mengelola bibit kecambah sawit walau tidak terlalu pandai.
Namun, dari abang saya yang sudah berpengalaman mengelola kecambah tersebut saya terus belajar memahami bagaimana cara mengelola sawit secara benar sejak masa pembibitan.
Setelah tiga bulan, bibit-bibit sawit tersebut semakin besar dan layak jual. Karena abang membudidayakannya dengan cara yang baik, banyak masyarakat yang berminat membelinya. Beliau menjual bibit sawit yang superjumbo tersebut sekitar Rp25. 000 per polybag/batang. Alhamdulillah, banyak yang terjual. Abang dapat uang, saya dapat ilmu tentang pembibitan sawit tanpa harus kuliah di fakultas pertanian.
Sejauh yang saya amati di kampung saya, dampak ekonomi dari aspek pengelolaan kebun-kebun sawit ini juga dapat memperkuat perekonomian lokal. Kehadiran perkebunan yang besar di suatu daerah dapat pula mendorong tumbuhnya bisnis-bisnis kecil dan menengah di sekitarnya, seperti usaha penjualan makanan dan minuman, atau toko-toko kecil. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan amatan saya, perkebunan kelapa sawit, termasuk kehadiran pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (CPO), dapat memberikan dampak positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat di sekitarnya. Itu yang saya amati di Aceh Jaya, bahkan di Nagan Raya.
Dampak ini terlihat dari meningkatnya taraf hidup dan kemampuan ekonomi masyarakat, serta adanya peluang usaha kecil yang berkembang di sekitar perusahaan. Hal ini tentu memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Dan syukurnya, saya kini termasuk salah seorang yang bergiat di sektor persawitan ini sambil menunggu waktu wisuda dan insyaallah kelak mengabdi sebagai guru bahasa Indonesia, sesuai dengan disiplin ilmu saya saat kuliah.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Bergiat di Kebun Sawit Sambil Menunggu Waktu Wisuda”, https://aceh.tribunnews.com/2024/04/18/bergiat-di-kebun-sawit-sambil-menunggu-waktu-wisuda?page=all.