Bercermin dari Ketangguhan Laksamana Keumalahayati

10 September 2023 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia, edisi Minggu, 10 September 2023

Melinda Rahmawati, mantan peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Anggota Nasyiatul Aisyiyah DKI Jakarta, melaporkan dari Jakarta.

Seiring berjalannya waktu, saya masih terus mengamati pelbagai ‘outcome’ sejarah yang telah Aceh berikan kepada bumi Nusantara ini. Nyatanya sangat tidak terhitung warisan yang telah diberikan oleh “Tanoh Aulia” kepada persada tanah air.

Pada 1 September lalu, situs resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh mengabarkan, terdapat sebelas karya budaya Aceh yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kemdikbudristek. Bagi saya pribadi, masih sangat banyak warisan yang dimiliki oleh provinsi paling ujung barat  Pulau Sumatra ini yang belum didaftarkan. Bahkan, sangat tidak terbatas jumlahnya.

Meski demikian, selain perhatian pada kebudayaannya, saat ini saya masih melakukan pengamatan terhadap nilai teladan dari satu tokoh yang tidak asing untuk semua orang. Dialah Laksamana Keumalahayati, seorang panglima laut (admiral) tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam pada era kepemimpinan Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV yang memerintah sekitar tahun 1585-1604. Ketangguhannya menjadi pemimpin tertinggi pasukan kesultanan, kegemilangan prestasinya sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis, dan warisan ketangkasannya yang ditularkan kepada pasukan Inong Balee (laskar para janda), baru hanya segelintir dari sederet nilai yang ia tinggalkan.

Rasa penasaran saya tentang sosok Keumalahayati semakin mengusik pikiran. Selain itu, saya memang menyesalkan bahwa saat kunjungan saya ke Aceh dua tahun lalu, sekali pun saya belum pernah menziarahi makam perempuan tangguh ini di kawasan Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Sebagai seorang perempuan di masa itu, tentunya menjadi satu hal yang tidak lazim saat seorang perempuan memimpin pasukan perang. Apalagi berjaya di laut. Bahkan, untuk mengenyam pendidikan saja di masa itu, belum tentu bisa. Kesetaraan gender dan kebebasan atas persamaan hak belum terwujud secara global serta memiliki dasar hukum yang jelas.

Namun, berbeda dengan Kesultanan Aceh Darussalam, bahkan hingga para pendahulunya di Kerajaan Samudera Pasai hal tersebut sudah diwujudkan dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Pengamatan saya tidak sia-sia, saat ini mulai bermunculan literasi ilmiah yang menjelaskan mengenai nilai yang diwariskan oleh laksamana perempuan tangguh ini. Malah, sudah hadir novelnya dengan judul “Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala” yang terbit pada tahun 2018. Dalam novel tersebut tentunya kita akan dapat lebih jelas melihat sosok Laksamana Keumalahayati dan semua perjuangannya. Meskipun ia  hidup di era sekitar abad ke-16–saat jalur perdagangan rempah mulai hidup dan memberikan warna tersendiri–sosoknya tumbuh dengan semangat yang berbeda dengan anak perempuan lain di masanya. Malahayati muda memiliki keberanian, ketangkasan, dan rasa ingin tahu yang mendalam. Dengan dasar religiositas yang kuat sebagai perempuan Aceh, tentu dirinya sangat menyadari betapa setaranya perempuan sesuai yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 13 dan Surah Ad-Dzariyat: 56.

Sebuah laporan penelitian yang ditulis oleh Eka Nasha Putri Dewi Yani, dkk. tahun 2022 berjudul “Menganalisis Karakter Laksamana Malahayati dalam Novel Sang Perempuan Keumala”, menyatakan bahwa Malahayati muda tumbuh sebagai putri bangsawan dengan sangat berkecukupan dan mendapatkan segala yang ia butuhkan. Dengan mengikuti jejak ayahnya, seorang laksamana terkemuka yang bernama Laksamana Mahmud Syah, dirinya masuk ke pendidikan militer laut di Kesultanan Aceh Darussalam Ma’had Baitul Maqdis. Jiwa kepemimpinan, tanggung jawab, dan nasionalismenya semakin terbentuk dan mengantarkannya menjadi lulusan terbaik dari pendidikan militer laut tersebut. Sebuah karakter khas yang memang sejak awal saya temukan dalam diri masyarakat Aceh. Dengan melihat ketangguhannya melawan pasukan dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, citra kepemimpinannya dalam memimpin pasukan para janda yang dinamakan dengan “Inong Balee”, hingga jiwa nasionalisme yang dicontohkan memunculkan gambaran bahwa dalam setiap zaman perempuan itu memiliki kontribusi besar bagi masyarakat dan negerinya.

Sejalan dengan narasi tersebut, Nurliza Erfinawati, dkk. tahun 2023 menuliskan laporan penelitiannya mengenai novel tersebut dari sisi sosiokulturalnya. Nurliza menyebutkan bahwa pada era tersebut, Kesultanan Aceh Darussalam jelas telah memiliki pengaruh besar dan ketangguhan dalam pertahanan, kehidupan bernegara, pengembangan ilmu pengetahuan, dan aspek lainnya.

Melalui karakter dalam diri Laksamana Keumalahayati, kita dapat melihat budaya masyarakat Aceh yang anggun dalam beretika sosial, memiliki rujukan kuat dalam bertindak, moralitas dan jiwa sosial yang baik, dan pelbagai nilai tradisi masyarakat Aceh lainnya yang sebenarnya harus terus ditanamkan serta dilakukan oleh para generasi muda. Keyakinan, pola pikir, dan cara bersikap masyarakat Aceh yang digambarkan oleh Laksamana Keumalahayati memperlihatkan sebagian dari nilai sosiokultural yang menjadi identitas etnis ini.

Sebagai etnis yang menorehkan sejarah penyerbaran agama Islam di Nusantara, tentu saja tidak hanya dua surah yang telah disebutkan sebelumnya yang diimplementasikan. Dari sosok laksamana perempuan setangguh Malayahati saja kita dapat melihat bentuk implementasi dari Surah Al-An’am: 165, Surah Ali-Imran: 195, Surah Al-Baqarah: 190 dan 194, dan Surah At-Taubah: 122. Secara nyata sejarah telah menuliskan mengenai kesetaraan gender yang dilakukan dalam lingkup sosiokultural masyarakat Aceh dari masa ke masa. Jauh sebelum sosok Kemalahayati, kita mengenal sosok Sultanah Nahrisyah yang merupakan keturunan dari Sultan Malik as-Shaleh, sang pendiri Kerajaan Samudra Pasai. Kehadiran perempuan sebagai pemimpin bukanlah baru untuk masyarakat Aceh. Dan sejarah kepemimpinan perempuan dalam kesultanan terus berlanjut hingga setelah era kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Kekaguman saya yang mungkin sebagian orang melihatnya didominasi secara emosional tidak sepenuhnya benar. Nilai yang diwariskan dari semangat perjuangan Laksamana Keumalahayati benar-benar membuat saya melihat sisi perempuan yang berbeda. Dalam dirinya, saya juga melihat bahwa keseimbangan antara hak, tanggung jawab, dan peran sosial perempuan yang diajarkan dalam Islam begitu kompleks. Namun, dapat dijalankan dan secara nyata memuliskan sejarah dirinya sebagai perempuan yang tangguh. Perempuan mungkin saja memiliki keterbatasan dalam kodratnya, akan tetapi tidak membatasi kesempatannya untuk menjadi pemimpin atau berkontribusi dalam membela tanah air yang dicintainya dan masa depan negerinya.

Perjuangan perempuan di era sekarang ini memang jauh lebih berat. Saat saya mencoba untuk bercermin dari ketangguhan yang dicontohkan oleh Laksamana Keumalahayati, serasa seperti menampar diri sendiri dalam sebuah kesadaran tentang hakikat perempuan sebenarnya.
Tentunya, saya merindukan refleksi atau cerminan dari tokoh-tokoh perempuan Aceh lainnya. Sekaligus berharap nilai dan segala legasinya masih terus dijaga, dipertahankan, dan diteruskan oleh perempuan Aceh sepanjang masa.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Bercermin dari Ketangguhan Laksamana Keumalahayati”, https://aceh.tribunnews.com/2023/09/10/bercermin-dari-ketangguhan-laksamana-keumalahayati.

Bagikan
Skip to content