Siti Rafidhah Hanum, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh serta novelis.
Globalisasi telah membawa banyak pengaruh pada berbagai aspek di tiap-tiap negara, khususnya Indonesia. Ibarat pintu yang terbuka lebar, semua informasi masuk dan merasuki setiap individu. Ada banyak sekali kasus pergeseran budaya asli yang digantikan oleh budaya luar.
Globalisasi merupakan suatu perubahan yang terjadi pada suatu daerah akibat terlalu mengikuti trend yang dibuat oleh dunia global. Virus-virus kecanduan kebudayaan asing telah menjangkiti banyak orang, terutama remaja. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan kontrol diri di usia belia yang memiliki semangat meluap-luap.
Ada banyak sekali penyebab remaja mudah disusupi budaya luar. Entah itu budaya Korea, Amerika, Jepang, Malaysia, dan negara-negara lain yang tengah diminati dari segi musik, film, serta pakaiannya.
Globalisasi telah membawa ‘angin segar’ bagi anak-anak remaja yang mendambakan kehidupan lain karena dinilai lebih gaul dan menyenangkan dari kehidupan di Indonesia.
Penggunaan gadget yang berlebihan menjadi salah satu pemicunya. Banyak sekali aplikasi menawarkan berbagai kemudahan dalam mengakses film, musik, atau cerita berbau luar negeri.
Bermodalkan kuota dan harga murah untuk berlangganan saja, remaja bisa menikmati hiburan internasional melalui streaming dan media sosial. Namun, ada beberapa penyebab hiburan internasional mampu mempengaruhi remaja secara mendalam. Di antaranya, pemasaran mereka cukup masif serta menarik.
Budaya yang ditampilkan dalam film serta bahasa negara mereka yang digunakan secara konsisten lambat laun juga akan menyusupkan pengaruh terhadap penikmatnya.
Misalnya, Korea sangat menjaga bahasa yang digunakan dalam film mereka. Sangat minim ditemukan penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Proses syuting filmnya sebagian besar di negara Korea sendiri, khususnya di tempat-tempat bersejarah, tempat wisata, atau gedung-gedung penting yang sekiranya bisa dijadikan destinasi para turis. Mereka kerapkali menggunakan hanbok—baju tradisional Korea.
Contoh lainnya, film Malaysia juga sangat menjaga bahasa mereka. Tak jarang adat pernikahan, kebiasaan sehari-hari di perkampungan atau perkotaan, pakaian khas seperti baju kurung perempuan atau kain songket laki-laki, makian, peribahasa, makanan, bahkan sampai tradisi pun ditunjukkan melalui filmnya.
Akhirnya, budaya luar dianggap lebih modern dan trendy dibandingkan budaya sendiri. Stigma bahwa mengikuti budaya luar akan membuat seseorang terlihat lebih gaul dan diterima komunitas semakin membuat remaja menggandrungi hiburan internasional.
Pengaruh tekanan sosial juga membuat remaja cenderung mengikuti arus agar diterima oleh kelompok sosial yang sudah lebih dulu fanatik terhadap suatu budaya.
Indonesia bisa saja lebih mampu membuat masyarakatnya mencintai budaya sendiri. Sayangnya, minim sekali pembaruan dalam penyajian budaya tradisional. Upaya mengemas budaya lokal dalam dunia hiburan pun masih kurang.
Bahkan di beberapa film Indonesia, sering sekali didapati penggunaan bahasa asing serta menonjolkan sisi remaja yang menyukai budaya luar. Film-film Indonesia yang menonjolkan budaya sendiri dari berbagai aspek sangat sedikit akibat mengikuti selera remaja. Banyak sekali musik atau film yang cenderung kebarat-baratan atau mengikuti negara-negara lain.
Padahal tak ada salahnya, memperlihatkan Indonesia bagian pelosok dengan kualitas rekaman yang bagus serta dipadukan bersama dunia modern. Dengan begitu, remaja tidak akan ‘menolak’ karya negeri sendiri.
Teknologi dan globalisasi harus dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya Indonesia. Kualitas pengambilan gambar, video, dan audio perlu diperhatikan. Sistem pemasaran harus lebih terorganisir, inovasi kontennya juga terus berkembang.
Tidak masalah jika memadukan unsur tradisional dan modern dalam membuat konten budaya, karena itu akan membantu proses penerimaan budaya itu sendiri kepada remaja.
Agar budaya Indonesia tidak semakin terkikis, pemerintah seharusnya bekerja sama dengan para influencer dan perfilman Indonesia untuk secara konsisten menampilkan budaya Indonesia. Baik itu dari segi musik, film, penggunaan fashion, dan berbagai aspek lainnya.
Jika konsistensinya terjaga, maka lambat laun para remaja yang tadinya sudah kecanduan budaya asing, perlahan akan turut mencintai budayanya tanpa harus menolak budaya luar yang bisa digunakan sebagai proses literasi budaya.
Sumber: https://www.kompasiana.com/rafidhahhanum7901/67a6d01434777c715a36a1d2/benarkah-globalisasi-mengikis-budaya