Bahasa Singkil dan Maknanya yang Mulai Hilang dari Peradaban

25 November 2019 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia

Muzirul Qadhi, Mahasiswa PBI STKIP BBG

Subulussalam Singkil adalah dua daerah yang memiliki banyak persamaan dari segi bahasa adat dan budaya, ya tentu saja, ini dikarenakan wilayah tersebut memang dahulunya adalah satu kesatuan, namun pada tanggal 2 januari 2007 kota Subulussalam resmi mekar dan pisah dari Kabupaten Aceh Singkil.

Kedua daerah ini mayoritas menggunakan bahasa Singkil yang penuturnya adalah suku Singkil, seperti peraturan Permendagri no.52 tahun 2007 tentang bahasa Singkil, namun seringkali terjadi kesalah pahaman di antara masyarakat Subulussalam Singkil mengenai makna serta artikulasi dari Singkil, tak jarang masyarakat Subulussalam Singkil menyebut bahwasanya bahasa yang digunakan saat ini adalah bahasa kampong (bahasa kampung) begitu juga dengan suku suku kampong (suku kampung), ada yang menyebut bahasa Pakpak Boang atau suku Pakpak Boang. Ada juga yang menyebut bahasa julu secara harfiah julu artinya ‘hulu’, dan masyarakat Subulussalam atau Singkil penyebutan julu itu biasanya orang pendatang dari Pakpak Barat yang telah berimigrasi ke Subulussalam Singkil, begitu juga untuk penyebutan para pedagang yang berasal dari Pakpak atau dari Dairi Sidikalang. Contoh kalak julu = orang hulu. Dan ada yang lebih aneh lagi bahasa kade-kade jika di artikan dalam dalam bahasa Indonesia maka maknanya adalah bahasa ‘apa-apa’.

Meskipun bahasa Singkil memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Kluet dan Alas bukan berarti sama Contoh kosa kata: Singkil – mangan = (makan) Kluet – mangan – (makan)

Pakpak – mangan = (makan), Pakpak – meroha = (jelek) Singkil – tengam = (jelek) Kluet – macik = (jelek), Pakpak – meridi – (mandi) Singkil- mekhidi = (mandi) Kluet – meridi = (mandi), Kluet – pigan = (kapan) Singkil – digan = (kapan) Pakpak – dahari = (kapan).

Dan banyak kosa kata lain yang memiliki kemiripan namun beda dalam dialek. Jika ada yang menyatakan masyarakat Subulussalam Singkil itu suku Pakpak maka itu salah besar, secara otentik tidak ada menunjukkan sejarah keberadaan Suku Pakpak dahulu kala di daerah  ubulussalam Singkil, tidak ada patung atau rumah yang berkaitan dengan suku yang memiliki kemiripan tersebut, jika orang Pakpak berasimilasi menjadi orang Singkil itu bisa jadi atau pun  erimigrasi.

Maka penulis bertujuan ingin mempertegas makna Singkil serta kosa kata yang mulai jarang digunakan dan bahkan terancam hilang dari peredaran sejarah dunia. Banyak artikulasi yang salah di artikan di masyarakat kita, sehingga keterbauran dengan bahasa masyarakat pendatang, isa saja keterikutan dialek contoh : dalam bahasa Singkil Sebenarnya tidak ada kata bantu we tapi saat ini sudah sering orang Singkil menggunakan we untuk kalimat Aitah we kebiasaan orang Singkil biasanya Aitah be kemudian kata Njuah-njuah kalimat ini sering di gunakan bahasa Pakpak dalam mengakhiri atau memulai percakapan/pidato yang artinya (sehat selalu) tapi di Subulusalam Singkil sudah sering kita dengar kata ini, sebenarnya dalam bahasa Singkil tidak ada penyebutan njuahnjuah dalam pembukaan atau penutup percakapan karena Singkil kuat dengan Islamnya, sehingga pada acara pembuka atau penutup lebih sering digunakan Assalamualaikum.

Penyebutan Njuah itu dalam bahasa Singkil hanya digunakan untuk ‘Luka’ terkecuali orang melahirkan, karena dalam bahasa Singkil seorang ibu yang sedang melahirkan atau bersalin biasa disebutkan Njuah “enggo njuah kalak sapo mu du” (udah sehat orang rumah mu ya) kemudian ada lagi kata Pa’en (kemari) sebenarnya orang Singkil dahulu untuk mengatakan kemari itu mi henda (kemari). Jika kita ulas lebih jauh banyak sekali bahasa Singkil yang mulai hilang dan jarang digunakan.

Ada yang mengatakan orang Singkil itu adalah Pakpak karena kemiripan marga, Marga itu bisa saja sama karena marga tidak bisa menunjukkan identitas suku secara utuh, contoh marga Munthe di Alas meraka tidak mau di katakan orang Singkil atau Pakpak, begitu juga marga Lingga di Subulusalam mereka tidak mau disebut orang Karo, inilah yang disebut etnis serumpun.

Makna Singkil kini memang mulai menyempit, hanya dipahami sekedar nama kecamatan dan ibukota Kabupaten Aceh Singkil, karena memang kebetulan nama ibu kota Aceh Singkil adalah Singkil, sejatinya Singkil merupakan entitas kebudayaan suku bangsa, termasuk didalam nya adat, suku, bahasa, budaya yang disebut dengan Singkil. Kebiasaan yang keliru ini ternyata bukan hanya terjadi di daerah Singkil Subulussalam saja, tetapi sering juga kita dengar di tempat lain, misalnya seseorang menyebut bahasaJakarta padahal maksudnya bahasa Betawi, ada juga yang orang menyebut bahasa Padang, padahal maksudnya adalah bahasa Minangkabau. Saya ingin memberikan sebuah terminologi yang saya kutip dari buku nya H. A.Aslym Combih, SH, Msi,PIA dalam judul “Kajian Sejarah Suku Singkil” ada cerita dahulu seseorang dari Aceh yang hendak pergi ke jakarta dan Bandung sering kali ketika di tanya (hendak kemana kamu, jawab nya hendak ke Jawa) lalu saat dia berada di Bandung ia mendengar kebiasaan orang Sunda jika mau berangkat ke Solo, Semarang atau Jogja, Sunda di Bandung biasa menyatakan “hendak berangkat ke Jawa” sehingga membuat pelancong asal Aceh tadi merasa heran, ini artinya jawa itulah adalah suku dan nama Jawa itu dilebelkan menjadi nama sebuah pulau, mereka mampu memisahkan dan memahami makna tersebut.

Kekeliruan seperti ini banyak orang yang tak perduli, sehingga kekeliruan itu menjadi hal yang biasa, padahal contoh-contoh di atas dapat menimbulkan kerancuan dimasa mendatang.

Penulis merasa masih rendah nya pemahaman masyarakat tentang arti sebuah identitas, tidak ada bahasa kampung atau suku kampong yang terdaftar bila kita cari di Wikipedia yang ada hanyalah bahasa Singkil dan Suku Singkil, penamaan tersebut tentunya melalui pengkajian sejarah oleh tokoh dan para akademisi Bahasa.

Namun banyak generasi muda kita gagal paham akan hal ini, ada beberapa faktor menurut penulis hilangnya makna Singkil ini, hilangnya rasa kepercayaan diri tentang suku Singkil, lemahnya isme masyarakat terhadap adat budaya, kurang nya sosialisasi dari pemerintah maupun penggiaat budaya suku Singkil dan terakhir belum terealisasikan nya wacana pemerintah kota Subulussalam terkait muatan lokal bahasa Singkil di sekolah.

Secara penerapan masyarakat kita kebanyakan menggunakan adat serta penuturan bahasa Singkil, terlebih lagi masyarakat yang berada di pinggiran aliran sungai Lae Sokhaya (Lae Alas) terlihat kental culture dan etnik yang digunakan, memang kebanyakan yang kurang memahami makna Singkil tersebut ialah kalangan generasi muda sedangkan para tetua yang berumuran lanjut paham betul tentang identitas suku Singkil itu.

Di Kabupaten Aceh Tenggara terdapat komunitas masyarakat yang berasal dari suku Singkil tercatat lebih kurang 18.000 jiwa sesuai informasi yang pernah kami terima dari kepala Gampong Salim Pipit kecamatan Leuser Aceh Tenggara. Meskipun mereka berada ditengah-tengah masyarakat suku Alas, Gayo dan Karo meraka begitu bangganya menggunakan bahasa suku Singkil, oleh karena itu mari kita belajar kembali tentang sejarah dan identitas bangsa kita, karena budaya adalah modal dan aset dalam suatu kemajuan Bangsa. Tulisan saya ini mungkin banyak kekurangan ataupun ada yang tidak sesuai kami memohon saran agar dapat meluruskan sejarah yang mulai hilang ini.

Sumber:https://aceh.tribunnews.com/2019/11/24/bahasa-singkil-dan-maknanya-yang-mulai-hilang-dari-peradaban

Bagikan
Skip to content