Ahmad Nasriadi, M.Pd., Dosen Pendidikan Matematika UBBG
Pendidikan adalah jantung dari pembangunan bangsa. Namun, hingga hari ini, pertanyaan besar masih menggema di ruang-ruang kelas, ruang guru, bahkan meja kebijakan: apakah pendidikan kita sudah benar-benar merdeka? Dengan hadirnya Kurikulum Merdeka, pemerintah membawa semangat baru untuk menjawab tantangan zaman, menjanjikan kebebasan belajar bagi siswa dan otonomi yang lebih luas bagi guru. Tapi dalam praktiknya, apakah semangat itu sungguh-sungguh hidup? Ataukah “kemerdekaan” ini masih setengah hati?
Kurikulum Merdeka adalah transformasi dari kurikulum sebelumnya yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di era Menteri Nadiem Makarim. Kurikulum ini menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, diferensiasi pembelajaran, dan pengembangan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila.
Guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkan metode, materi, dan asesmen sesuai dengan kebutuhan murid dan konteks lokal. Secara teori, ini adalah langkah besar menuju pendidikan yang lebih manusiawi, relevan, dan inklusif. Namun, teori di atas kertas dan praktik di lapangan seringkali berjalan pada rel yang berbeda.
Semangat “Merdeka Belajar” memang terdengar indah. Ia membawa nuansa pembebasan dari belenggu kurikulum yang kaku dan seragam. Namun, apakah guru benar-benar merasa merdeka mengajar? Apakah siswa sungguh-sungguh diberi ruang untuk belajar sesuai minat dan bakat mereka?
Banyak guru di daerah melaporkan bahwa meski diberi kebebasan secara formal, mereka tetap dibebani oleh target-target administratif yang mengekang kreativitas. Platform-platform digital seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) memang membantu, tapi tidak semua sekolah memiliki akses teknologi memadai. Akibatnya, guru kembali pada cara-cara lama, bukan karena tidak mau berubah, tapi karena tidak bisa.
Di sisi lain, tidak semua guru siap dengan peran barunya sebagai “desainer pembelajaran”. Banyak dari mereka belum mendapatkan pelatihan yang cukup mendalam, atau malah hanya mengikuti pelatihan formalitas yang tidak aplikatif. Maka, otonomi yang diberikan justru menjadi beban baru: guru dituntut merdeka, tapi tak dibekali cukup untuk merdeka.
Pendidikan di Indonesia masih sangat timpang. Sekolah-sekolah di kota besar mungkin bisa menerapkan Kurikulum Merdeka dengan maksimal, didukung oleh SDM dan infrastruktur yang memadai. Namun, bagaimana dengan sekolah di pelosok, di pulau-pulau kecil, atau daerah-daerah tertinggal?
Ketika filosofi Kurikulum Merdeka adalah memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan konteks masing-masing, realitasnya justru memperlebar kesenjangan. Sekolah yang sudah kuat menjadi semakin kuat, sementara yang lemah semakin tertinggal. Merdeka Belajar, tanpa pemerataan akses dan peningkatan kapasitas, bisa menjelma menjadi Merdeka untuk yang mampu.
Dari sisi siswa, Kurikulum Merdeka berusaha membebaskan mereka dari tekanan akademik semata, dengan lebih menekankan pada kompetensi, proyek penguatan profil pelajar, serta pembelajaran kontekstual. Namun, dalam implementasinya, banyak siswa justru merasa bingung dengan perubahan ini. Kurangnya kejelasan tujuan pembelajaran, variasi pendekatan dari guru yang satu ke guru lain, serta perubahan pola penilaian membuat mereka kesulitan menyesuaikan diri.
Perubahan besar memerlukan transisi yang terencana dan berkesinambungan. Jika tidak, yang terjadi bukanlah pembebasan dalam belajar, melainkan kebingungan dalam perjalanan akademik.
Kurikulum Merdeka adalah langkah berani yang patut diapresiasi. Ini adalah pergeseran dari sistem yang seragam menjadi sistem yang adaptif, dari penyeragaman menjadi personalisasi. Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal memberikan pilihan, tetapi juga soal memastikan semua pihak memiliki kemampuan untuk memilih dengan sadar.
Pendidikan yang merdeka seharusnya memerdekakan semua pihak: guru dari tekanan administratif, siswa dari tekanan akademik yang tak relevan, serta sekolah dari keterbatasan sistemik. Tapi untuk itu, diperlukan lebih dari sekadar kurikulum: kita butuh ekosistem pendidikan yang mendukung. Pelatihan guru yang berkelanjutan, pendampingan yang nyata, penyediaan sumber belajar yang merata, hingga evaluasi yang manusiawi.
Lalu, apakah pendidikan kita sudah merdeka? Jawabannya: belum sepenuhnya. Kurikulum Merdeka adalah langkah awal yang penting, tapi belum cukup. Kemerdekaan pendidikan bukan hanya tentang kurikulum, tapi juga tentang kesetaraan, keadilan, dan keberdayaan semua pelaku pendidikan.
Pemerintah perlu menyadari bahwa perubahan kurikulum bukanlah satu-satunya solusi. Tanpa pembenahan pada sistem pendukung lainnya—terutama distribusi sumber daya dan peningkatan kualitas guru—kemerdekaan itu hanya akan dinikmati oleh segelintir.
Guru, sebagai ujung tombak, perlu didengar dan diberdayakan. Mereka bukan sekadar pelaksana, tapi pemikir dan pelaku utama dalam proses belajar. Siswa, sebagai subjek utama pendidikan, harus diajak bicara. Apakah mereka merasa bahagia belajar? Apakah mereka merasa dihargai sebagai individu?
Kurikulum Merdeka membawa harapan besar bagi pendidikan Indonesia. Tapi harapan itu hanya bisa tumbuh jika kita semua bergerak bersama: pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan, yang menumbuhkan rasa ingin tahu, dan yang menyiapkan generasi bukan hanya untuk bekerja, tapi juga untuk hidup. Mari kita kawal bersama proses ini. Jangan biarkan Kurikulum Merdeka hanya menjadi nama, tapi jadikan ia sebagai gerakan menuju kemerdekaan sejati dalam pendidikan.