Dimuat di Serambi Indonesia edisi Kamis, 24 April 2025
Melinda Rahmawati, Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Mahasiswi Pendidikan IPS, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta
Tenggelam dalam aktivitas riset yang beraneka ragam membuat saya hampir lupa untuk berbagi cerita. Waktu yang berjalan seolah lewat begitu saja tanpa terdokumentasikan dalam sebuah tulisan.
Namun, seorang sejarawan tetap punya cara tersendiri untuk merefleksikan diri di tengah perputaran waktu yang berlangsung cepat itu. Kali ini, saya akan coba menggambarkan sebuah refleksi dari salah satu kajian penelitian saya yang sudah berlangsung.
Terdapat sebuah ketertarikan yang intensif saat saya pertama kali bertemu kata “Toponimi”. Dalam KBBI Daring VI, kata tersebut bermakna sebuah cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat atau dapat secara tersirat mengarah pada sebuah kajian mengenai asal-usul nama tempat.
Kajian tersebut mengantarkan saya pada sebuah ide penelitian yang hemat saya harus diupayakan pembumiannya. Melalui kajian toponimi ini, saya melihat adanya peluang pengenalan budaya lokal pada peserta didik di lingkungan sekolah.
Tidak semua peserta didik mengetahui atau mendapat informasi mengenai asal-usul dari penamaan sebuah tempat. Contoh sederhana yang dapat saya angkat di Kota Banda Aceh adalah adanya sebuah lokasi bernama “Gampong Jawa”.
Contoh lainnya mungkin cukup banyak ditemukan nama kawasan yang menggunakan kata “Lam” di Aceh. Contoh sederhana lainnya yang serupa berada di sekitar kita.
Kajian yang saya lakukan di Jakarta secara eksplisit mengenai adanya kawasan Pejokan dan Pecinan (atau umum di Jakarta dikenal dengan nama Glodok). Dalam penggalian data historis, hadirnya dua tempat tersebut tidak lepas dari hadirnya para pedagang Tionghoa dan Arab-India yang bermukim di Kota Batavia sekitar tahun 1621.
Demikian juga dengan keberadaan Gampong Jawa di Kota Banda Aceh yang berangkat dari kedatangan pasukan Kerajaan Demak untuk keperluan perang melawan Portugis sekitar abad ke-15. Juga masih banyak lagi fakta menarik yang tersirat dari terbentuknya sebuah kawasan. Termasuk nama Blower atau Lamteumen yang justru berasal nama nama orang non-Aceh.
Toponimi dari sebuah wilayah tentu saja tidak hanya sekadar menghadirkan fakta menarik yang menyenangkan untuk ditelusuri. Lebih jauh, kita dapat mengetahui lebih banyak lagi warisan budaya takbenda atau ‘intangible cultural heritage’ yang ditinggalkan ‘indatu’ (nenek moyang) untuk generasi masa depan.
Demikian kecintaan saya pada warisan budaya takbenda yang ditinggalkan indatu bangsa Aceh untuk generasi masa depan mereka. Tidak hanya sekadar menyadarkan saya akan arti penting sebuah kesetaraan dan keteguhan dalam memegang prinsip hidup berdasarkan ajaran Islam. Namun, menyadarkan saya pada satu peribahasa “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri”.
Nilai kecintaan pada tanah kelahiran dan membela tanah kelahiran menjadi hal yang sepatutnya diperjuangkan hingga napas terakhir. Masyarakat Aceh sudah memiliki Hikayat Prang Sabi, salah satu karya bernilai tinggi yang telah merekam semuanya untuk kita semua. Kemudian, ada lagi Hikayat Aceh dan syair-syair Hamzah Fansuri yang sudah diakui Unesco sebagai Memory of the World (MoW).
Dalam riset ini, kajian toponimi yang saya jadikan acuan, di antaranya, laporan penelitian dari Retno Lisa Sari dan Kasriwan tahun 2022 berjudul “Toponimi Daerah Metro sebagai Sumber Belajar IPS di Sekolah”. Pada laporan penelitian tersebut disampaikan bahwa toponimi dari beberapa kawasan di Kota Metro, Lampung, secara eksplisit mengandung kekhasan budaya dan historis yang dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran.
Pemetaan yang ditemukan terkait kajian toponimi tersebut, di antaranya, penamaan lokasi berdasarkan asal penduduk yang mendiami wilayah tersebut, serta penamaan lokasi yang sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.
Hadirnya kegiatan pembelajaran yang berbasis toponimi tidak sekadar memberikan suasana baru bagi peserta didik dalam aktivitas pembelajaran.
Lebih jauh, peserta didik memiliki pengalaman yang bermakna dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan hingga terstimulus dalam belajar sambil berkreasi. Peserta didik tidak hanya sekadar mengenal, tetapi dapat berlatih menghasilkan karya yang mendukung pelestarian nilai sejarah dan budaya di lingkungan sekitarnya.
Sumber lainnya adalah laporan penelitian yang ditulis Sigit Widiatmoko, dkk., tahun 2023 berjudul “Refleksi Nilai Kultural dalam Toponimi sebagai Peluang Pengembangan Wisata di Desa Medalsari, Kabupaten Karawang”.
Dalam laporan penelitian tersebut, dinyatakan toponimi yang terdapat di sebuah wilayah nyatanya secara implisit dapat menstimulus refleksi sebagian atau seluruh kehidupan masyarakat dalam perspektif sosial hingga kepercayaan.
Upaya refleksi pada perspektif nilai kultural dari toponimi Desa Medalsari membantu memvisualkan pandangan terkait sistem nilai yang selama ini dipegang oleh masyarakat desa.
Melalui sistem nilai yang terdiri dari unsur alam, kekeluargaan, hingga kelestarian budaya yang sudah diwariskan antargenerasi, potensi untuk mengembangkan desa sebagai desa wisata semakin terbuka luas.
Berdasarkan kedua laporan penelitian tersebut, nyata terlihat manfaat dari kajian toponimi sendiri yang berpeluang mengantarkan pada lestarinya warisan indatu hingga beberapa generasi mendatang. Keberlanjutan dari warisan indatu ini perlu kita perhatikan secara saksama demi generasi masa depan yang mengenal jati dirinya.
Kita jangan selalu menyalahkan dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini. Perubahan tersebut tidak bisa dicegah maupun ditolak kehadirannya. Karena hakikat dasarnya masyarakat itu selalu berubah setiap waktu.
Kemampuan beradaptasi dengan perubahan yang berlangsung dan upaya refleksi diri yang mampu membawa setiap kelompok masyarakat tidak melupakan jati dirinya.
Jauh, sebelum adanya pengobatan modern, ‘indatu’ kita sudah mengenal pelbagai macam rempah yang dapat digunakan sebagai ramuan obat-obatan.
Masyarakat Aceh mengenalnya dalam Kitab Tajul Muluk dan Kitaburrahman Fitthibbu Walhikmah. Pengobatan yang minim efek samping bahan kimia dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar.
Sebelum adanya bangunan modern, masyarakat Aceh sudah memiliki panduan khusus dalam membangun sebuah tempat tinggal dan/atau bangunan lainnya. Bahkan, sebelum dikenal kalender penanggalan seperti saat ini, masyarakat Aceh sudah mengenal siklus menanam padi dan melaut dengan melihat tanda-tanda alam di sekitarnya.
Sudah seyogianya warisan ‘indatu’ semacam itu tidaklah sirna tergerus zaman dan menguap seiring guliran waktu. Mengkombinasikan antara modernisasi dan khazanah budaya lokal menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan agar warisan tersebut tidak hilang tak bersisa.
Pada akhirnya, saya melihat sudah saatnya pembelajaran berbasis toponimi ini hadir dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Setiap tempat di sekitar kita berpeluang menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa sejarah atau menyimpan fakta menarik yang patut kita ketahui. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat warisan indatu yang tersimpan seperti sebuah harta karun yang terkubur masa.
Agar generasi masa depan tidak lupa dengan jati dirinya, sudah saatnya mengenalkan warisan tersebut melalui pembelajaran yang bermakna, seperti pembelajaran berbasis toponimi. Ingatlah bahwa warisan tersebut adalah persembahan dari ‘indatu’ moyang Aceh untuk generasi masa depannya.
Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Pembelajaran Berbasis Toponimi untuk Keberlanjutan Warisan Indatu”, https://aceh.tribunnews.com/2025/04/24/pembelajaran-berbasis-toponimi-untuk-keberlanjutan-warisan-indatu?page=all.