Memahami Praktik Islam Moderat Masa Kini

23 Agustus 2024 | BBG News

Dimuat di Serambi Indonesia edisi Jumat, 23 Agustus 2024

Melinda Rahmawati, Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan 1 Tahun 2021 di UBBG Banda Aceh dan Mahasiswi Pendidikan IPS, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta

Membuka pembicaraan mengenai moderasi beragama dan sejenisnya, tentu saja tidak lepas dari dua kata kunci yang familier digunakan, yakni: toleransi dan kesetaraan.

Saat ini, dalam dimensi kebinekaan global pada profil pelajar Pancasila begitu sering mengulang kata kunci tersebut. Meskipun Bapak Pluralisme kita, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan bahwa, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” benar adanya.

Namun, bahaya laten dari konflik sosial bermuatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) masih menjadi bom waktu di tengah masyarakat.

Menilik soal moderasi beragama, saya teringat dengan perjalanan panjang hidup yang bertumpu pada pendidikan agama yang moderat. Memang, saya bukanlah anak yang bertumbuh dalam lingkungan pesantren (bahasa Aceh: dayah). Saya bertumbuh dari sekolah dasar Islam, sekolah memengah pertama negeri, sekolah menengah atas Islam, bahkan hingga bergabung ke perguruan tinggi yang menghadirkan pembelajaran Islam moderat. Berangkat dari perjalanan pendidikan tersebut saya merasakan betapa kehadiran agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tersebut sudah seharusnya dibumikan.

Pada masa studi sarjana dahulu, saya teringat pada satu masa penting yang terulang dan tidak asing. Ujian Komprehensif Keagamaan sebagai syarat mutlak untuk mendaftar seminar proposal dan ujian akhir. Sebagai salah satu amal usaha Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka menjalankan aturan bagi para mahasiswa tingkat akhir untuk melampirkan sertifikat hasil Ujian Komprehensif Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (kini berubah menjadi Baitul Arqam Purnastudi) untuk mendaftarkan diri mengikuti seminar proposal dan ujian akhir. Sertifikat hasil uji tersebut menjadi syarat mutlak yang harus dilalui. Harapannya, setelah sepenuhnya terjun di tengah masyarakat dapat turut membumikan ajaran Islam yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin.

Praktik ibadah yang dinilai, antara lain, tata cara berwudu, membaca Al-Qur’an, memperagakan salah satu tata cara shalat fardu, memperagakan tata cara shalat jenazah, dan wawancara mengenai ideologi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.

Tentu saja, segala praktik ibadah tersebut harus sesuai dengan tuntunan dalam Himpunan Putusan Tarjih PP Muhammadiyah yang berlaku saat ini. Demikian juga saat masih di sekolah dasar dan menengah, praktik ibadah tersebut tetap menjadi materi uji yang harus kami hadapi sebagai murid.

Waktu yang terus bergulir kemudian menyadarkan saya tentang manfaat dari setiap praktik ibadah tersebut. Tidak hanya sekadar kewajiban sebagai manusia yang beragama, akan tetapi menjadi penuntun kita tatkala berada di lingkungan masyarakat yang tidak kental dengan dimensi keislamannya.

Bahkan, sekalipun saya tidak pernah khatam Qur’an dan hanya sekadar menjadi penghafal juz 30 saja semasa sekolah menengah atas, saya terbiasa untuk membaca kajian tafsir dan melihat dinamika perubahan dari paradigma keagamaan. Sehingga, terkadang setiap langkah saya tidak hanya sekadar berdasarkan pandangan keilmuan semata. Namun, terintegrasi antara pandangan keilmuan dan keagamaan.

Nilai dan norma yang saya jalankan menuntun pada pribadi yang terus berusaha dan bergerak sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah Swt. Hal yang menarik kini, saya baru menyadari betapa pentingnya memiliki pandangan yang saling terintegrasi di tengah perubahan sosial yang berjalan.

Pada era modernitas dan globalisasi yang mendorong masyarakat pada situasi yang cenderung melalaikan dan mudahnya untuk memfitnah dengan berita bohong, menjadi potret realitas yang nyata bagi saya bahwa ‘islamic worldview’ (pandangan hidup islami) sudah seharusnya mengakar di kalangan generasi muda.

Saya sendiri sudah menuliskan kajian ilmiah kepustakaan dengan judul “Islamic Worldview: Meneroka Pemikiran Syech Muhammad Naquib Al-Attas” tahun 2020 lalu yang berkesimpulan bahwa “Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin harus terus menebarkan rahmat pada seluruh makhluk-Nya dan menyerukan kebenaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt kepada siapa pun.” Dan, pada kalimat lain menyebut, “Jangan sampai hanya karena kita menginginkan tatanan hidup yang modern, kita melupakan satu hal yang mendasar dan fundamental, yakni dunia ini hanya sementara dan ada tempat yang menjadi awal sekaligus akhir dari perjalanan seluruh umat manusia, yaitu akhirat. Sumber dari pengetahuan manusia sejatinya adalah wahyu lebih mencerminkan sebuah generalisasi yang bersifat supernatural bahwa Tuhan sebagai Sang Pencipta menganugerahi makhluk ciptaan-Nya akal dan indra untuk menelusuri sebuah kebenaran yang secara sederhana dapat dilihat dari dua sisi yang berseberangan, yakni secara rasionalis dan secara empiris. Sehingga, pada akhirnya pengetahuan yang ada tidaklah terbentuk atas dasar skeptisme serta tidak ada lagi otoritas yang mengekang hadirnya pengetahuan. Keraguan yang ada dapat terselesaikan dengan epistemologi kebenaran berdasarkan pada pedoman serta tuntunan yang semuanya terdapat dalam kitab suci (Al-Qur’an) sejak berabad-abad lamanya.

Kesimpulan tersebut yang kini semakin terang memotret wajah masyarakat yang Society 5.0 dengan segenap kemajuannya, justru rentan sekali termakan oleh pemberitaan hoaks dan pelbagai ujaran kebencian yang menyinggung ranah sensitif seperti SARA.

Kemajuan peradaban tidak serta-merta membuat agama Islam semakin terlihat konservatif dan intoleran pada perbedaan. Bahkan, hingga mengotak-ngotakkan masyarakat itu sendiri. Praktik ibadah yang menjadi tanggung jawab individu harus direfleksikan lebih mendalam sebagai penuntun yang mendorong pada kearifan dalam menyikapi setiap perubahan dan perbedaan.

Dinasti Abbasiyah yang sudah ada sejak 750 M dan berkuasa selama 500 tahun lamanya, telah menjadi bukti nyata ketika masyarakat menjalani praktik keseimbangan dan pengintegrasian antara agama dan pengetahuan. Jika kita memilih untuk lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan yang hadir, tentu berdampak pada terciptanya suasana harmonis di tengah masyarakat.

Indonesia yang terdiri atas pelbagai etnis dan kelompok masyarakat yang berbeda, sangat memerlukan keseimbangan sebagai salah satu nilai keindonesiaan.

Praktik Islam moderat pada masa kini, seharusnya dapat mempromotori hadirnya pengintegrasian antara agama dan pengetahuan yang pada tataran kompleksitasnya menjadi bagian dari fondasi kebangsaan.

Diskursus mengenai Islam dan keindonesiaan sejatinya sudah digaungkan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam pelbagai buku dan kajian ilmiahnya. Dalam beberapa bukunya yang berjudul “Membumikan Islam”, “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah”, “Indonesia Jelang Satu Abad: Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan”, dan “Masa Depan Bangsa dalam Taruhan” secara eksplisit menerangkan tentang agama, budaya, dan etnisitas bahwa tanpa adanya peleburan dalam pemahaman antara agama, budaya, dan etnisitas akan sangat sulit untuk menghadirkan sebuah peradaban maju. Karena, peradaban Dinasti Abbasiyah juga terbentuk dari peleburan antara budaya keilmuan dalam Islam dan warisan keilmuan dari peradaban Yunani Kuno. Sehingga, pelbagai praktik Islam moderat pada masa kini yang menekankan pada toleransi dan kesetaraan harus terus dibumikan melalui praktik ibadah yang direfleksikan sebagai penuntun dalam menyikapi setiap perubahan dan perbedaan.

Artikel ini telah tayang di Serambi Indonesia dengan judul “Memahami Praktik Islam Moderat Masa Kini”, https://aceh.tribunnews.com/2024/08/23/memahami-praktik-islam-moderat-masa-kini.

Bagikan
partner-1
partner-2
partner-3
partner-4
partner-5
partner-6
partner-7
partner-8
partner-9
partner-10
partner-11
partner-12
partner-13
partner-14
partner-15
partner-16
Skip to content