Meluruskan Makna Bahasa Singkil yang Mulai Memudar

12 Juli 2019 | BBG News

Oleh: Muzirul Qadhi

Subulussalam dan Singkil adalah dua daerah yang memiliki banyak persamaan dari segi bahasa adat dan budaya. Kedua wilayah tersebut dahulu memang satu kesatuan. Namun pada tanggal 2 januari 2007 Kota Subulussalam resmi mekar dan pisah dari Kabupaten Aceh Singkil.

Mayoritas penduduk di daerah ini adalah suku Singkil sehingga bahasa Singkil merupakan bahasa daerah dominan. Namun seringkali terjadi kesalah pahaman di antara masyarakat Subulussalam Singkil mengenai makna serta artikulasi dari Singkil.

Sebagian masyarakat Subulussalam Singkil menyebut bahwa bahasa yang digunakan saat ini adalah bahasa “Kampong” (bahasa kampung, milik suku “suku Kampong” (suku kampung). Sebagian lagi menyebutnya bahasa Pakpak Boang milik suku Pakpak Boang.

Selain itu, ada juga yang menyebut bahasa Singkil sebagai bahasa Julu. “Julu” secara harfiah berarti Hulu. Penyebutan “Julu” dalam masyarakat Subulussalam atau Singkil biasanya juga dialamatkan kepada para pendatang dari Pakpak Barat yang telah bermigrasi ke daerah Subulussalam Singkil. Dalam konteks ini pula para pedagang yang berasal dari Pakpak atau dari Dairi Sidikalang disebut “kalak Julu” (orang hulu).

Yang agak aneh adalah penyebutan bahasa Singkil dengan “bahasa Kade-Kade”, karena jika diartikan dalam Bahasa Indonesia makna “bahasa Kade-Kade” adalah “bahasa apa-apa”.

Meskipun bahasa Singkil memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Kluet dan Alas, namun bukan berarti bahasa Singkin sama dengan bahasa-bahasa tersebut.

Perbedaan tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh kosakata berikut.

  • Singkil –  mangan = (makan); Kluet –  mangan – (makan); Pakpak – mangan = (Makan).
  • Pakpak – Meroha = (jelek); Singkil – Tengam = (jelek); Kluet –  Macik = (Jelek).
  • Pakpak – meridi – (mandi); Singkil – mekhidi = (mandi); Kluet – meridi = (Mandi).
  • Kluet –  pigan = (kapan); Singkil – digan = (kapan); Pakpak – dahari = (kapan).
Baca juga:   SAAT DI PUNCAK GEURUTEE

Masih banyak kosakata lain yang memiliki kemiripan namun berbeda dalam dialek. Jadi, jika ada yang menyatakan bahwa masyarakat Subulussalam Singkil itu suku Pakpak maka itu salah besar.

Secara historis, sulit menunjukkan keberadaan Suku Pakpak dahulu kala di daerah Subulussalam Singkil. Tidak ada patung atau rumah yang berkaitan dengan suku tetangga tersebut. Yang paling mungkin adalah orang Pakpak bermigrasi lalu berasimilasi menjadi orang Singkil.

Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud menunjukkan eksistensi Singkil-Subulussalam sebagai satu entitas suku dan bahasa yang berbeda dari beberapa suku dan bahasa lain yang selama dianggap identik. Caranya adalah dengan mempertegas perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang dimilikinya dengan bahasa-bahasa terdekat.

Tidak dapat dimungkiri, bahasa-bahasa sekitar Singkil-Subulussalam telah meninggalkan banyak pengaruh pada bahasa lokal (mungkin begitu juga sebaliknya).

Sebagai contoh: dalam bahasa Singkil sebenarnya tidak ada kata bantu “we”, tetapi saat ini orang Singkil seringkali menggunakan “we” untuk kalimat “aitah we” dengan sedikit perubahan lafal menjadi “aitah be”.

Contoh lain: Ungkapan “njuah-njuah” (semoga sehat selalu) yang semakin marak digunakan oleh masyarakat Subulussalam-Singkil ketika memulai dan mengakhiri percakapan/pindato. Padahal ungkapan ini merupakan salam pembuka dan penutup khas orang Pakpak.

Sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan pengaruh Islam, salam pembukan dan penutup pembicaraan yang lazim digunakan oleh masyarakat Singkil-Subulussalam adalah “Assalamualaikum”, bukan “njuah-juah”.

Penyebutan “njuah” dalam bahasa Singkil hanya digunakan ketika menanyakan kondisi perempuan bersalin: “Enggo njuah kalak sapo mu du?” (udah sehat orang rumah mu ya?).

Selanjutnya, kata “pa’en” (kemari) yang seolah-olah berakar pada bahasa Singkil. Sebenarnya orang Singkil dahulu untuk mengatakan kemari itu “mi henda” (kemari).

Jika kita ulas lebih jauh banyak sekali bahasa Singkil yang mulai hilang, baik karena jarang digunakan maupun berganti dengan unsur-unsur bahasa lain karena pembauran etnis dan budaya. Itulah yang menyebabkan eksistensi Singkil sebagai suku dan bahasa mulai kabur.

Baca juga:   Cerita dari Patani (2): Diperiksa di Pos Askar

Ada yang mengatakan orang Singkil itu adalah Pakpak karena kemiripan marga. Padahal marga itu bisa saja sama tetapi ia tidak bisa menunjukkan identitas suku secara utuh. Contoh: orang bermarga Munthe di Alas tidak mau di katakan orang Singkil atau Pakpak. Begitu juga marga Lingga di Subulusalam. Mereka tidak mau disebut orang Karo. Fenomena ini mungkin lebih tepat disebut sebagai rumpun etnis.

Makna Singkil kini memang mulai menyempit karena hanya dipahami sekedar nama Kecamatan dan Ibukota Kabupaten Aceh Singkil. Kebetulan nama ibu kota kabupaten Aceh Singkil adalah Singkil. Padahal sejatinya Singkil merupakan entitas kebudayaan suku bangsa, termasuk di dalam nya adat, suku, bahasa dan Budaya yang disebut dengan Singkil.

Kebiasaan yang keliru ini ternyata bukan hanya terjadi di daerah Singkil Subulussalam saja, tetapi sering juga kita dengar di tempat lain. Ada orang misalnya menyebut bahasa Jakarta padahal maksudnya bahasa Betawi. Ada juga yang menyebut bahasa Padang, padahal maksudnya adalah bahasa Minangkabau.

Saya ingin mengutip H. A. Aslym Combih, SH, Msi, PIA. dalam Kajian Sejarah Suku Singkil. Katanya, dahulu seseorang dari Aceh yang hendak pergi ke Jakarta dan  Bandung sering kali ketika di tanya: “Hendak kemana kamu?”, akan menjawab: “Hendak ke Jawa”. Lalu saat dia berada di Bandung ia mendengar kebiasaan orang Sunda jika mau berangkat ke Solo, Semarang atau Jogja. Orang Sunda di Bandung biasa  menyatakan “hendak berangkat ke jawa” sehingga membuat pelancong asal Aceh tadi merasa heran, karena itu artinya Jawa itulah adalah suku dan nama Jawa itu dilabelkan menjadi nama sebuah pulau. Tetapi mereka tetap mampu memisahkan dan memahami makna tersebut.

Baca juga:   Pulkam? Berbahagialah!

Kekeliruan seperti ini banyak yang tak peduli, sehingga menjadi hal yang biasa. Padahal contoh demikian dapat menimbulkan kerancuan dan kesalahpahaman di masa mendatang

Penulis merasa pemahaman masyarakat tentang arti sebuah identitas masih rendah. Tidak ada bahasa Kampung atau suku Kampong yang terdaftar di Wikipedia. Yang ada hanyalah bahasa Singkil dan Suku Singkil. Penamaan tersebut tentunya melalui pengkajian sejarah oleh tokoh dan para akademisi bahasa.

Namun banyak generasi muda kita gagal paham akan hal ini. Dalam pandangan penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan tergerusnya makna Singkil dewasa ini: (1) hilangnya rasa kepercayaan diri tentang suku Singkil; (2) lemahnya kebanggaan masyarakat terhadap adat budayanya: (3) kurangnya sosialisasi dari pemerintah maupun pegiat budaya Singkil; dan (4) belum terealisasinya wacana pemerintah Kota Subulussalam terkait muatan lokal bahasa Singkil di sekolah.

Sesungguhnya Singkil adalah entitas suku dan budaya yang besar. Selain di Kabupaten Singkil dan Kota Subulussalam, orang Singkil juga tersebar di luar dua daerah tersebut.

Di Kabupaten Aceh Tenggara terdapat komunitas Singkil lebih kurang 18.000 jiwa sesuai informasi yang pernah penulis terima dari kepala Gampong  Salim Pipit kecamatan Leuser Aceh Tenggara.

Meskipun mereka berada ditengah-tengah masyarakat suku Alas, Gayo, dan Karo, mereka begitu bangganya  menggunakan bahasa suku Singkil. Oleh karena itu, generasi muda Singkil hendaknya belajar kembali tentang sejarah dan identitasnya dan budayanya, karena budaya adalah modal dan aset dalam suatu kemajuan Bangsa.

Oleh: Muzirul Qadhi, Mantan  Ketua BEM & Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris STKIP BBG

Bagikan
Skip to content